Apakah Kau Tlah Bahagia? #Bagian 2
Apakah kau tlah bahagia? #Bagian 2
Baca sambungan cerita sebelumnya: Apakah kau tlah bahagia? #bagian 1
Baca sambungan cerita sebelumnya: Apakah kau tlah bahagia? #bagian 1
Apakah Kau Tlah Bahagia?
Bagian 2
Ketika matahari perlahan turun menyentuh cakrawala, hari
mulai merangkak malam, Maria sepenuhnya menyadari bahwa hidup yang dijalaninya
semakin mendekat pada sebuah titik akhir. Hidup adalah garis lurus. Tak pernah
ia kembali ke titik sebelumnya yang telah ditempuh hingga akhirnya akan
berhenti di ujungnya. Ia pun sepenuhnya menyadari wajahnya semakin keriput, dan
tak mungkin kembali halus, kencang, dan bercahaya. Dan ini sangat-sangat
mengganggu pikirannya. Ia menjadi sering melamun, meski dalam aktivitasnya
sehari-hari di tengah padang Maria tak pernah memikirkan hal itu. Kesenangan
dan semangatlah yang telah melupakannya sementara.
Setiap kali merebahkan badan dan menata selimut hendak
terlelap, Maria melontarkan sebuah pertanyaan yang berulang kepada Fallev,
“Apakah kita telah bahagia?” Selalu saja begitu. Tidak hanya menjelang menutup
mata, mengawali pagi pun Maria seringkali melontarkan pertanyaan yang sama.
“Kita terpisah dari kehidupan, Maria. Dan di sini aku tak
ingin di antara kita jatuh sakit nantinya sebab memikirkan hal ini saja.”
“Aku tak pernah berpikir penyakit akan datang menggangguku,
Fallev. Jika itu terjadi, biarlah, aku akan sanggup menanggungnya.”
“Namun kau harus tetap memperhatikan kesehatanmu, Maria. Dan
kuharap kau jangan mengartikan perkataanku ini sebagai ketaksanggupanku untuk merawatmu
andai kau benar-benar jatuh sakit.”
“Aku mengerti, Fallev. Aku pun tak mungkin menyangsikan
kesungguhanmu padaku. Namun, sungguh! Aku akan baik-baik saja.”
“Mungkin saat ini pengalaman tak selamanya tepat untuk kita
perbincangkan, yang memang kita tak pernah terserang penyakit seumur hidup
kita. Namun, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan, Maria.
Mengertilah!”
“Ya, ya, ya. Aku mengerti,” Maria mengangguk. “Aku hanya
bertanya apakah kita telah bahagia selama ini, itu saja.”
Entah mengapa Fallev tak begitu menyukai pertanyaan Maria
itu.
Kebahagiaan kadang sukar untuk dirumuskan. Sebab itu, amat
sulit untuk menjelaskannya. Mungkin kebahagiaan baginya adalah terlepasnya
segala beban dengan tak pernah memusingkan diri memikirkan apakah kebahagiaan
itu sendiri. Kebahagiaan adalah saat ketika ia bisa tertawa lepas, bisa
menghirup udara dalam-dalam, dan sebagainya. Kebahagiaan dalam hati memang tak
pernah konsisten. Hati selalu saja berubah-ubah. Beberapa saat ia bahagia,
tertawa lepas, dan keluar air mata suka, tetapi sedetik kemudian tak ada yang
dapat menjamin keadaan itu tak akan berubah menjadi kesedihan yang mendalam, dan
tawa berubah menjadi tangis air mata sendu.
Dan hari-hari berlalu, Fallev dan Maria seringkali
menghabiskan waktu mereka hanya untuk menjawab pertanyaan ini saja.
Satu kesempatan Fallev berkata, “Aku tlah cukup bahagia,
Maria. Andai pun aku dapat mengakhiri kehidupan ini di sini bersamamu. Ya, di
sini bersamamu.”
Maria pun berujar, “Rasanya kebahagiaan hidup tak akan pernah
sempurna tanpa anak kita. Bagaimana pun kebahagiaan kita, satu saat akan
berakhirlah. Pertanyaannya, siapakah penerus kebahagiaan itu, Fallev?”
Jika tak khawatir akan mengganggu perasaan Maria, Fallev
ingin sekali berteriak. Ia tak habis mengerti mengapa Maria selalu saja membolak-balik
hatinya. Beberapa waktu yang lalu ia mengatakan bahwa ia sudah ikhlas menerima
keadaan, tak akan pernah mempermasalahkan soal keturunan, meski ia masih
senantiasa berharap dan akan bersyukur andai suatu saat ia benar-benar
dikaruniai seorang anak.
“Mengapa kau persoalkan itu lagi, Maria?” Fallev bertanya
dengan nada sungguh sedih.
Setelah terdiam dan memejamkan mata cukup lama, seolah-olah
sedang menguatkan hatinya, Maria kemudian menjawab, “Sebab hal itu adalah
pencapaian kebahagiaan yang tertinggi dalam hidup, Fallev.”