Ketenangan yang Terusik, Bagian 1

rifanfajrin.com - Ketenangan yang Terusik
Bagian 1

rifanfajrin.com



___________________________

Suatu hari Fallev sedang berjalan-jalan menyusuri bukit-bukit. Berjalan-jalan memang telah menjadi kebiasaan baru baginya. Saat ia tak lagi memikirkan apa pun, ia menjadi gemar berjalan-jalan pada pagi atau sore hari, menghabiskan waktu dan masa tua.
Ia tak mengerti alasannya ketika menyadari mengapa ia menjadi begitu mencintai burung-burung yang terbang, meski ia tak tahu apa nama dan jenis burung itu. Namun, indah, pikirnya. Ia juga mencintai pohon-pohon yang ditemuinya, yang hijau membawa pesan kedamaian. Sungai-sungai terlihat dari tempatnya berdiri yang membentang menyerupai benang emas yang berkilauan diterpa cahaya matahari pagi dan senja. Sangat-sangat menyenangkan. Apalagi dengan semilirnya angin sore yang membelai rambut putihnya, memberikan kesejukan.

“Hmm...,” ia menghirup napas dalam-dalam.
Sebenarnya akan lebih menyenangkan andai Maria juga mau turut serta berjalan-jalan. Apalagi yang mesti diperbuat di rumah? Bukankah lebih mengasyikkan berjalan-jalan menghabiskan waktu? Lagipula tak ada lagi yang didambakan pada hari tua. Namun, Maria memang tak terlalu menyukai pergi-pergi. Sesekali saja ia baru mau beranjak saat ia benar-benar menginginkannya, atau ketika Fallev pada akhirnya memaksanya pergi keluar sekadar menghirup udara selain kesumpekan dan kebosanan di dalam rumah.
Setidaknya bagi Fallev ia dapat mencari suasana baru. Bagi nalurinya sebagai seorang penjelajah, jelas merupakan suatu kebosanan jika terus berdiam diri melakukan kegiatan yang sifatnya rutinitas.
Sesekali ia mencoba berlari, mengukur kembali kecepatannya berlari. Ditanggalkannya terompahnya. Rumput-rumput dan semak-semak basah menyentuh telapak kakinya, meresap ke dalam pori-pori kulitnya. Alangkah seru andai ada lawan berlari.
Ia memandang ke sekeliling. Tak ada apa pun yang dapat menjadi lawannya. Semua benda yang ada di sekelilingnya adalah benda-benda tak bergerak. Semak dan belukar hanya bisa bergoyang, namun tak dapat berpindah tempat, batinnya.
Fallev menengadah. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada burung yang terbang rendah. Ia bisa berlari secepat burung terbang. Ya, mungkin saja.
“Bagus!” ia berseru kegirangan.
Seekor burung putih melintas di atas kepalanya. Aku akan berlari mengejarnya. Tanpa melakukan pemanasan terlebih dahulu, dan tanpa mengambil aba-aba, Fallev langsung berlari. Napasnya adalah napas tua. Namun, kecepatan berlarinya hanya sedikit saja menurun. Ia berlari dengan membagi pandangannya ke atas, mengawasi ke arah manakah arah burung itu terbang, dan cermat memandang ke bawah, agar langkah-langkah kakinya tak terperosok.
Fallev terus berlari, hingga akhirnya sampailah ia di jalan setapak yang menyempit. Namun saat ia sedang bersemangat, tiba-tiba langkahnya terhenti.
“Sial!” ia menggerutu.
Burung itu terbang ke arah menyamping dan meninggalkannya. Fallev tak mungkin berlari dengan arah yang sama. Sebab, ia tak mungkin memotong ke samping saat ia menyadari tempatnya berpijak adalah jalan setapak yang lurus kini.
“Ah, tapi kecepatanku masih cukup lumayan. Aku merasa aku masih bisa berlari dengan cepat,” katanya menghibur diri.
“Andai burung itu terbang lurus saja dan tahu kalau ia sedang adu cepat denganku, pasti akulah yang jadi pemenangnya!” tambahnya.
Namun, disadarinya kemudian bahwa ia sedikit terengah-engah juga. “Heh,” ia hembuskan napasnya perlahan. Sebenarnya ia masih bernafsu untuk kembali beradu cepat, mengukur kemampuan sekali lagi. Ia teringat kelinci yang pada masa kecilnya dulu sering diadu oleh anak-anak kecil seusianya dalam sebuah permainan. Dalam benaknya masa itu, kelinci-kelinci itu sangat lucu saat berlari cepat. “Apakah kelinci berlari secepat itu? Hmm...” Barangkali karena di mata Fallev, teman-temannya saja yang terkadang kesulitan menangkap kelinci-kelinci itu bila terlepas, sehingga seolah kelinci itu yang berlari sangat cepat.
Tak kunjung didapatinya lagi sesuatu yang dapat diajaknya beradu cepat. Fallev menjadi bosan. Menunggu kemunculan kelinci-kelinci liar, hampir tak mungkin, pikir Fallev. Biarkan saja mereka nanti akan datang sendiri secara tiba-tiba jika memang hari itu ia sedang beruntung. Syukur-syukur bila bisa menangkapnya pula dan membawanya pulang untuk dihadiahkan kepada Maria. Maria pasti senang. Jika pun ia tidak dapat menimang seorang anak, maka ia dapat menimang-nimang mesra dan bermain-main dengan kelinci-kelinci yang lucu itu. Itu pun kalau ia memang benar-benar sedang beruntung dihampiri oleh kelinci.
Matahari belum tinggi benar ketika Fallev menyadari bahwa ia telah berjalan cukup jauh. Ia telah sampai di atas bukit. Dari sana ia dapat melihat padang tempat rumahnya berdiri. Dilihatnya juga domba-dombanya yang berkerumun di sana memakan rumput-rumput hijau yang menjelma bagaikan permadani hijau dari kejauhan. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di kepalanya, ia tersenyum.
Lalu, “Maria...a!!!”
Ia berteriak memanggil Maria.
“Maria!” sekali lagi ia memanggil, sekadar ingin tahu apakah suaranya akan sampai di telinga Maria.
Sejenak ia menunggu kalau-kalau Maria akan keluar rumah dan mencari-cari dari manakah arah datangnya suara yang memanggilnya. Dalam hati Fallev menghitung hingga sepuluh. Tapi, Maria tak kunjung muncul, padahal ia sudah siap-siap hendak melambaikan tangannya dan menantang Maria untuk menyusulnya.
“Hmm, sudahlah... mungkin dia sedang tertidur, atau sedang mengerjakan yang lain-lain, he.”
Seberapa jauh lagi ia akan terus berjalan, dan berapa lama lagi waktu yang hendak ia habiskan, Fallev tak tahu. Yang jelas, ia masih ingin menapakkan kakinya lebih jauh dan lebih lama lagi menyusuri bukit itu. Ia membiarkan saja kakinya melangkah dengan sendirinya, seolah ia telah dituntun oleh sebuah naluri keindahan dan rasa kagum yang membuncah jauh di dalam dadanya menyaksikan kebesaran alam. Sampai-sampai, ia dapat menyingkirkan rasa lapar yang mungkin mulai menyerangnya. Ia sengaja menunda sarapan paginya demi berjalan-jalan lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Dan mungkin pula saat ini ia lupa bahwa Maria sedang menanti kepulangannya.

Fallev terus berjalan dengan pikiran yang mengembara ke mana-mana. Begitu dalam ia terhanyut dalam pikirannya sendiri hingga ia tak menyadari, sesosok laki-laki tua renta telah memperhatikannya sejak tadi dari kejauhan. Matanya nyalang, mengintai. Ia memperhatikan Fallev sambil mengangguk-angguk dan bibir menyunggingkan senyum, seperti mengejek. Sesekali hidung mancungnya terlihat berkerinyut seolah sedang menyentuh bau amis darah yang menyengat.

Bersambung ke Bagian 2
close