TERPURUK - Bagian 3

rifanfajrin.com - Terpuruk, Bagian 3

rifanfajrin.com


TERPURUK - Bagian 3


Baca Sambungan Cerita Bagian Sebelumnya: Terpuruk, bagian 2

“Tua renta keparat!” umpatnya berkali-kali.
Fallev terus berlari.
“Maria...”
Tanah basah meski hujan telah mereda. Jalan-jalan setapak licin. “Sial!” Fallev beberapa kali terpeleset. Namun ia tak peduli, meski baju dan celananya menjadi kotor dan berlumpur.
Gusar hati Fallev menyadari rintangan yang menghalanginya. Selain tanah yang licin dan basah, beberapa kali ia juga harus menemui ranting-ranting patah yang berserakan di muka. Mau tak mau ia harus rela mengeluarkan sedikit tenaga untuk menyingkirkannya. Namun, ternyata ia harus menerima kesialan lebih banyak lagi. Sebatang pohon yang tumbang akibat hujan dan petir melintang.
“Oh,” ia mengeluh. “Maria, tunggu, aku akan segera sampai!”
Ia tak tahu apa yang sedang terjadi pada diri Maria. Apakah keadaannya semakin membaik, atau sebaliknya, ia semakin bertambah parah saja? Atau justru sama saja keadaannya, ia tidak mengalami apa-apa? Ia tak dapat merabanya. Hanya rasa dan naluri yang menuntunnya melangkah. Namun, perasaan yang begitu lekat pada Maria, membisikkan kalau ia harus segera menemukan Maria.
Setelah berhasil menyingkirkan pohon itu, Fallev tak mau membuang waktu lebih banyak lagi. Ia terus berlari.
Fallev terhenyak saat melihat di tengah padang sebagian besar domba-dombanya terkapar tak berdaya dengan mata melotot. Sebagian kecil sisanya, hanya terduduk dan terdiam dengan mata terpejam. Ada pula yang masih tegak berdiri, memandang ke sekeliling dengan mulut menganga tetapi tak bersuara, seolah terpana melihat kawan-kawannya yang terkapar mengenaskan.
“Oh, apalagi yang terjadi di sini?”
Ia juga melihat kebunnya hancur. Tanaman-tanaman remuk berserakan, seperti telah datang angin ribut yang memporak-porandakan tempat itu.
“Maria!” Fallev teringat. Ia segera berlari ke dalam.
“Maria!”
“Fallev...” merintih.
“Maria! Apa yang terjadi?” Seakan detak jantung Fallev hendak berhenti melihat keadaan Maria.
“Fallev...”
“Maria, oh!” Fallev duduk di samping Maria yang masih terbaring. Ia menangis, tak tahan melihat wajah Maria. Wajah itu sangat pucat. Matanya semakin cekung dari sebelumnya. Padahal baru beberapa saat yang lalu ditinggalkannya.
“Fallev...” Maria kembali merintih. Suaranya semakin melemah.
“Maria, andai aku mengerti akan begini keadaannya, aku tak akan pernah meninggalkanmu walau sejenak!”
“Fallev...”
Maria memberi isyarat. Fallev mengerti, Maria ingin menunjukkan sesuatu kepadanya, sesuatu yang tersembunyi di balik baju yang dikenakannya. Perlahan Fallev menarik tali kecil pembuka baju itu.
“Tuhan!” spontan ia terpekik. Andai ia tak menyadari bahwa ia sangat mencintai Maria, ia telah menutup muka dan kedua matanya. Sekujur badan Maria, kecuali muka, telah dipenuhi bulatan-bulatan merah. Tubuh itu pun sangat kurus hingga tulang iga Maria melekat dengan jelas, nyaris bersatu dengan perut Maria.
“Inikah yang dimaksud lelaki tua itu, akibat dari melanggar perjanjian itu?” Fallev sangat gusar. “Perjanjian apa sebenarnya? Dan siapa yang telah membuat perjanjian itu?”
Fallev dapat menyadari sepenuhnya, bahwa ia dan Maria adalah sasaran dari perjanjian terlaknat itu. Sementara ia hanya dapat menunggu dan menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Hingga saat ini belum terpikir olehnya bagaimana cara menghadapi lelaki tua itu. Satu-satunya yang dapat ia perbuat sekarang adalah menyerahkan segalanya pada kekuatan di luar sana yang telah mengatur segalanya.


Kemanakah pergi
Mencari matahari
Ketika salju turun
Pohon kehilangan daun
Kemanakah jalan
Mencari lindungan
Ketika tubuh kuyup
Dan pintu tertutup
Kemanakah lari mencari api
Ketika bara hati
Padam tak berarti
Kemanakah pergi

Selain mencuci diri[1]

Tak ada ada hal lain yang dapat diperbuat lagi selain berusaha lebih merapat kepada Sang Kuasa.

Bersambung ke bagian selanjutnya: Perjanjian Rahasia




[1] Puisi Salju karya Wing Karjo
close