Perjanjian Rahasia - Bagian 1

rifanfajrin.com - Perjanjian Rahasia, Bagian 1



Baca Sambungan Cerita sebelumnya ; Terpuruk, Bagian 3


PERJANJIAN RAHASIA, BAGIAN 1

Malam pekat. Dari kejauhan iring-iringan obor meliuk-liuk mengikuti jalan menuju bukit membentuk sebuah bayang-bayang bagaikan seekor naga merah yang terbakar melata pelan-pelan.
Arak-arakan obor itu dipimpin oleh seorang  tua bersuara berat di depan, diikuti oleh sebelas orang pria dewasa dan sebelas wanita dewasa. Di antara orang-orang itu, empat  orang wanita tak membawa obor, mereka masing-masing menggendong anak-anak mereka yang berumur satu hingga tiga tahun. Sedangkan dua wanita yang berjalan di barisan depan, masing-masing membawa sebuah nampan yang bertutup kain merah tua. Mereka terus berjalan seolah berirama pelan-pelan sambil itu tak henti-hentinya melantunkan puji-pujian, menyebut dan mengagung-agungkan nama Ferluci Vagin.
Mereka berpakaian putih-putih, menyerupai jubah-jubah panjang yang terkesan lusuh sebatas mata kaki. Di pinggang mereka melingkar seutas tambang hitam yang memisahkan bagian atas dan bawah tubuh mereka. Kesederhanaan bahkan kemiskinan jelas menggurat di wajah-wajah mereka.
“Penderitaan akan segera berakhir, dan kejayaan akan segera datang menyapa kita!”
Mereka melangkah pelan dan hati-hati, seolah kesalahan atau ketidaktertiban sekecil apa pun saat berjalan dapat mengacaukan segalanya, dapat membuat perjalanan mereka tak diridhoi. Meski demikian, langkah-langkah itu sangat mantap, tanpa keraguan yang seolah telah dipersiapkan latihan khusus dalam waktu yang cukup lama, dan penuh semangat. Mereka berjalan menuju bukit keabadian.
Di bukit itu berdiri sebuah bangunan menyerupai kuil, dan di sana para ksatria telah menunggu mereka untuk suatu upacara dan jamuan pada sebuah altar. Para ksatria itu semuanya mengenakan mantel hitam yang dihiasi renda-renda kode pengikut Ferluci Vagin di dadanya. Ke mana pun mereka pergi, mereka tetap mengenakan mantel itu sebagai tanda penduduk bukit keabadian. Mereka duduk bersila di depan altar.
Arak-arakan obor itu semakin mendekat dan sampai di pintu masuk kuil. Dua orang penjaga menahan mereka sebenar. Kemudian salah satunya masuk ke dalam kuil.
Lelaki tua bersuara berat itu pun menghentikan rombongannya. Mereka menunggu jawaban penjaga untuk diizinkan memasuki kuil. Masing-masing anggota rombongan itu menunggu dengan cemas dan penuh harap.
Namun, tatapan lelaki tua bersuara berat kepada seluruh anggota rombongan dapat menenangkan hati, seolah ia hendak berkata, “Tenanglah kalian semuanya, sabarlah menunggu, penderitaan akan segera berakhir, dan kejayaan akan segera datang menyapa kita!”
Tak berapa lama, penjaga itu datang. Izin memasuki kuil telah turun. Ia kemudian mengisyaratkan kepada lelaki tua untuk menata kembali rombongan. Mereka harus melewati pintu kuil satu per satu.
“Matikan obor-obor kalian, dan ikuti aku,” kata salah satu penjaga tersebut. Kemudian ia berjalan di depan, agar diikuti rombongan itu.
“Kau yang terakhir,” penjaga yang satunya menahan dada lelaki lelaki tua bersuara berat sebagai pemimpin rombongan. 
“Kau yang bertanggung jawab atas semuanya.”


close