Tepuruk, bagian 2

rifanfajrin.com - Terpuruk, Bagian 2



Baca bagian sebelumnya: Terpuruk, Bagian 1


Emosi dalam dada Fallev menyeruak. Ia sangat-sangat lelah, frustasi, dan putus asa. Telah berkali-kali dilemparnya kembali batu arah bukit itu, hingga lama-kelamaan lemparannya semakin melemah dan tak tentu arah. Ia melempar ke arah mana saja ia mau. Dilemparnya batu ke arah sungai, jurang, bukit, dan langit. Napasnya tersengal. Ia melempar matahari.
Fallev terjatuh dan berlutut. Kedua tangannya terkepal menyentuh tanah. Ia tertunduk, dan perlahan air matanya menitik. Hidungnya sembab dan basah. Ia menyadari dirinya, sangat menyadarinya. Air mata adalah kelemahan. Ia merasa sangat lemah. Bahkan hanya menahan dua titik air mata saja ia tak mampu. Ia tak kuasa membendung air mata yang ternyata begitu kuat menerobos di kedua pelupuk matanya. Ia sangat membenci keadaan itu, sangat-sangat benci.
“Diriku tak sekuat yang aku kira. Siapakah engkau yang telah menggerakkan dan memberi kekuatan pada dua butir air mata ini?”
Fallev tak menyadari bahwa ia sedang menangis kini. Air mata semakin deras mengucur dari kedua matanya, mengalir membasahi pipinya, turun menyentuh dagu, mengumpul dan menggantung di satu titik, menetes, dan merembes membasahi pori-pori tanah.
Langit makin mendung. Awan-awan hitam memenuhi langit. Sesekali kilatan-kilatan cahaya menyilet. Petir menggelegar. Sedetik kemudian, basah angin menghadirkan rintik-rintik air hujan turun dengan deras, menghujam bumi. Air hujan mengalir basahi tanah, bercampur dan menyatu dengan air mata Fallev.
Kepak-kepak sayap burung hitam yang terbang rendah melintas, menambah gelap rona langit. Burung hitam terpekik, menjeritkan kecemasan.
Dari barat, seberkas cahaya merah disertai angin yang berputar kencang, secara mengantarkan sepenggal jasad yang tegap berdiri dan terkekeh-kekeh di hadapan Fallev.
“Bangunlah segera laki-laki cengeng!” katanya tiba-tiba mengejutkan Fallev. “Ternyata kau tak setangguh yang kuduga sebelumnya,” mengejek.
Fallev menengadah. Ia telah dapat mengerti dengan siapa ia tengah berhadapan, lelaki renta itu. Benarlah firasat dalam hatinya selama ini, tua bangka ini memang keparat. Wajah tua yang menyiratkan kebusukan, ketamakan, dan nafsu, bukannya kewibawaan dan kesahajaan yang seharusnya menghiasi.
Mereka saling memandang. Sesaat tak ada percakapan. Keheningan dan ketegangan menyelimuti senja yang hendak turun. Keduanya telah basah kuyup. Namun tak cukup membuat mereka menggigil. Hembus asap dari neraka telah bertiup memanaskan suasana pertengkaran.
“Ada apa? Apa yang kau pikirkan, he?!”
Menantang.
Mendengarnya, panaslah daun telinga Fallev. Tangannya meremas tanah basah. “Apa yang kau mau, lelaki renta?!” balasnya.
“Hapuslah dulu air matamu! Aku enggan berhadapan dengan lelaki yang menangis! Aku tak tega!” kembali mengejek.
“Bangsat!” kemarahannya meluap. “Cepat katakan apa yang kau mau!”
“Hehehe. Baiklah.”
Lelaki tua itu mendekat. Perlahan namun pasti. Langkah-langkah kecil itu meneror batin Fallev. Namun, Fallev tak surut, ia segera berdiri. Air matanya telah kering. Sungguh ia menyesali dirinya yang telah menangis, bahkan di depan seseorang yang nyata menjadi musuhnya. Sepenuhnya ia menyadari, bahwa tangisan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Satu hal memalukan yang harusnya hanyalah milik seorang perempuan.
“Sekarang cepat katakan padaku, sebelum kau kuubah menjadi debu-debu yang beterbangan!”
“Kau sombong sekali! Siapa namamu?”
“Iblis! Jahanam! Kau bahkan tak tahu siapa aku, maka mengapakah kau telah berani mengusikku? Apa salahku, apa salah Maria!” Fallev meradang.
“Hohoho,” ia tertawa sangat keras, tak sopan. “Maria? Diakah istrimu? Bagus, nama yang bagus!” ia bertepuk tangan, memuakkan.
“Jangan banyak omong, akulah Fallev!”
“Sabar! Aku hanya ingin...”
“Cepat katakan!”
“Harits!”
Fallev terpana. Langit bagai runtuh ke atas kepalanya. Ucapan itu bagai pisau yang menyobek ulu hatinya. Ucapan itu sangat jelas di telinga Fallev. Seketika ingatan Fallev melayang ke masa-masa penantiannya bersama Maria akan hadirnya seorang anak di tengah-tengah mereka. Ya, Harits, atau Nadine! Dialah anak yang didambakannya selama ini. Benarlah mimpi Maria. Semuanya telah menjadi jelas sekarang, bahwa lelaki tua itulah penyebab segala kekacauan ini!
“Dimana dia sekarang, Fallev?”
“Apa urusanmu dengannya?”
“Hah! Kau masih bertanya untuk urusan apa?! Jangan bercanda, Fallev!”
“Kau pikir aku sedang bermain-main? Kau keliru jika menganggapku demikian. Aku selalu serius dalam hal apa pun!” jawabnya tegas.
“He... Jangan berpura-pura bodoh dan tidak mengerti, kawan! Kau pikir aku lupa!? Meski seribu tahun kunantikan, aku akan datang menjemputnya!”
Fallev benar-benar bingung. Ia masih tak mengerti. Keningnya berkerinyut. Sebenarnya siapakah lelaki tua di hadapannya itu? Ia hanya dapat sedikit menduga, lelaki tua itu inginkan Harits, tapi mengapa?
“Sadarkah, kau telah menceracau?!”
“Bangsat! Cepat katakan! Atau kau akan segera tahu akibat kepala batumu itu!”
“Aku tak tahu!” jawabnya singkat. “Seumur hidupku, melihatnya pun aku tak pernah. Aku pun pun tak pernah mendengar suaranya, tangisnya!”
“Aku tak mau tahu.”
“Terserah.”
“Kau jangan menantangku!”
“Aku tak pernah takut pada siapa pun!”
“Benarkah?!”
“Tak terkecuali kau!”
“Kau akan menyesal!”
“Tak pernah! Akulah yang menentukan jalan hidupku sendiri. Dan aku tidak pernah sekali pun salah mengambil keputusan!”
Lelaki tua itu terdiam sejenak.
“Kau benar-benar keras kepala! Lihat saja akibat melanggar perjanjian itu!”
Setelah berkata demikian, lelaki itu perlahan melayang naik ke udara. “Lihat saja akibat melanggar perjanjian itu!”
Fallev tertegun. “Lihat saja akibat melanggar perjanjian itu! Lihat saja akibat melanggar perjanjian itu! Lihat saja akibat melanggar perjanjian itu!” kalimat itu terus mendengung di telinganya, menebarkan teror dalam batinnya. Untuk kesekian kalinya ia tak dapat memahami perkataan lelaki tua itu.
“Melanggar perjanjian? Apa maksudnya?”
Kepalanya berdenyut.
“Pak tua! Apa maksudmu?!” teriaknya. Namun sosok itu melayang semakin tinggi, menjauh, mengecil, dan akhirnya menghilang.
“Lihat saja akibat melanggar perjanjian itu!”
 Fallev tak mau berpikir lebih lama lagi. Ia segera berlari ke rumah. Ingatannya langsung tertuju pada Maria, satu-satunya wanita yang telah menjadi pengisi hatinya. Hanya Marialah yang ia cemaskan kini, tak ada lain yang ia cemaskan. Apakah keadaannya akan menjadi semakin buruk?
“Tua renta keparat!” umpatnya berkali-kali.

Bersambung ke bagian 3


close