Contoh Naskah Drama Menyadarkan Pencuri

Berikut ini adalah sebuah naskah drama berjudul “Menyadarkan Pencuri”. Naskah drama ini saya buat berdasarkan pada cerpen berjudul sama karya saya sendiri.


Tokoh-tokoh yang memainkan cerita :
1) Pak Ahmad (48 Tahun) : Seorang pendatang
2) Pak Man (63 Tahun) : Mantan pencuri
3) Pak Pri (58 Tahun) : Mantan Pencuri
4) Nanang (25 Tahun) : Mantan Pencuri
5) Wandi (27 Tahun) : Mantan Pencuri

Latar : Sebuah kampung bernama “Kampung Pencuri”

Proloque :

Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi, akhirnya Pak Ahmad jadi juga membeli sebuah rumah di “Kampung Pencuri”. Alasannya adalah “Pencuri tidak akan mencuri di kampungnya sendiri.” Ya. Kampung tujuan Pak Ahmad memang terkenal sebagai kampung pencuri karena sebagian besar lelaki dewasanya pernah masuk bui karena kedapatan mencuri.
Dan berdalih mengikuti jejak Nabi ketika hijrah ke Madinah, maka yang pertama kali dilakukan Pak Ahmad adalah membangun sebuah mushola di dekat rumahnya.



Babak I
Adegan I

(Di dalam mushola tampak 4 orang duduk bersila membentuk sebuah lingkaran kecil, mereka adalah Pak Ahmad, Pak Man, Pak Pri, dan Nanang)

Pak Ahmad : Alhamdulillah, akhirnya kampung ini memiliki sebuah mushola. Yah walaupun kecil tapi cukup melegakan hati. (sambil mengamat-amati langit-langit mushola)

Pak Pri : Betul Pak Ahmad, saya juga merasa sungguh nyaman dan tenteram berada di sini.

Pak Man : Lebih nyaman daripada di bui. Ha ha ha (semua tertawa)

Nanang : Ternyata hidup ini lebih tentram jika kita berada di tempat yang tepat seperti ini. Kami sudah bosan mencuri, Pak Ahmad. Bosan jadi bajingan terus.

Pak Ahmad : Syukur kalau begitu. Yang terpenting dalam hidup ini adalah bagaimana kita menjalaninya sebaik mungkin, dan juga mengakhirinya dengan baik pula. Khusnul khatimah. (hening sejenak)

Pak Pri : Pak Ahmad, apakah kami masih bisa jadi orang baik? Masa lalu kami sungguh kelam.

Pak Ahmad : (tersenyum) Apakah kalian pernah mendengar cerita seorang pembunuh yang telah membunuh seratus orang, kemudian taubatnya diterima oleh Allah ?

(Pak Man, Pak Pri dan Nanang menggelengkan kepala, saling pandang satu sama lain)

Pak Ahmad : Seperti itulah orang yang sungguh-sungguh dalam taubatnya, pasti diterima.

Pak Man : Kampung ini sudah sangat kelewatan bobroknya, Pak Ahmad. Hampir semua lelakinya pernah masuk bui karena mencuri. (Pak Man geleng-geleng kepala)

Pak Ahmad : Sudahlah, yang penting sekarang bagaimana kita memakmurkan mushola ini. Yakinlah ! Bila mushola ini makmur maka makmurlah seisi kampung ini. Akan datang keberkahan-keberkahan, tidak akan ada lagi kesusahan-kesusahan yang menyebabkan warganya gemar mencuri. Mushola itu ibarat jantung !

(mereka semua manggut-manggut)

Pak Pri : (Dengan nada kecewa atau barangkali putus asa) Ya, tapi bagaimana caranya memakmurkan mushola? Yang datang ke mushola cuma kita-kita saja. Apa itu sudah bisa dinamakan makmur?

Pak Man : Betul, memang kalau bertiga terus lama-lama kita bisa bosan.

Pak Pri : Jika suatu saat salah satu atau dua dari kita berhalangan hadir, mushola bisa jadi sepi. Waktu kita kan tidak tentu. Kadang bisa longgar, kadang juga bisa sangat mepet. Alhamdulillah-nya sampai saat ini kita belum pernah absent. Bisa-bisa bukannya tambah orang, tapi malah kosong melompong.

(Mereka tampak berpikir)

Pak Ahmad : Lalu bagaimana baiknya ? Kira-kira apa sebab tidak adanya tambahan orang ke mushola?

Nanang : Saya kira pangkal dari semua permasalahan ini adalah pintu mushola yang selalu terkunci selepas sholat yang menyebabkan orang-orang tidak kunjung datang. Mereka tentu sulit untuk hadir tepat waktu. Pas datang ke mushola, eee ternyata terkunci. Mungkin sebab itulah mereka memilih untuk sholat di rumah saja.

Pak Ahmad : (Berpikir sejenak. Lalu sambil manggut-manggut) Baiklah, kalau begitu mulai besok kita coba untuk membuka mushola dua puluh empat jam agar semua warga bebas sholat kapan saja. Yang penting memang mereka mau datang dulu ke mushola. Soal tepat waktu, itu nanti belakangan. Lagi pula kalau dipikir-pikir, masak mushola kalah sama warung yang buka dua puluh empat jam ? (sambil terkekeh-kekeh)

Pak Pri : Sip ! mulai besok mushola buka kapan saja !
(Layar Tutup)

Adegan II

(Pak Ahmad, Pak Man, Pak Pri dan Nanang sedang dalam posisi takhiyat akhir. Kemudian salam)

Pak Ahmad : Assalamualaikum warahmatullah.

Semua : Assalamualaikum warahmatullah.

Pak Ahmad : (sambil komat-kamit berwirid, membalikkan badan menghadap makmumnya) Gimana ? Nampaknya sejauh ini belum ada perkembangan.

Pak Man : Iya Pak Ahmad. Sepertinya sama saja. Belum ada satupun orang datang ke sini.

Pak Pri : Padahal mushola telah buka full 24 jam.

Nanang : Ah, barangkali sudah ada yang datang, hanya saja datangnya pas kita sedang tidak ada di sini.

Pak Ahmad : Ehm. Mungkin juga seperti itu. Namun kita harus tetap optimis, jika tidak sekarang suatu saat nanti pasti akan ada orang yang datang ke sini.

(Wandi masuk, membungkuk hendak sholat. Sementara Wandi sholat, Pak Ahmad, Pak Pri, Pak Man dan Nanang berbisik lirih. Sampai Wandi selesai shalat)

Pak Ahmad : Assalamualaikum. Siapa namanya ?

Wandi : Saya Wandi.

Pak Ahmad : Ahmad. (Keduanya berjabat tangan)

Nanang : He kamu, tumben datang ke mushola, sudah tobat rupanya kamu…

Pak Ahamd : Huss ! Tidak boleh bicara begitu. Orang datang ke mushola adalah atas hidayah Allah. Mereka adalah orang-orang yang betul-betul dipilih oleh Allah. Banyak orang yang sehat, kuat, rumahnya sangat dekat dengan mushola, tapi ternyata belum juga datang ke mushola. Ini artinya ia belum dapat hidayah.

Nanang : Maafkan saya Pak Ahmad, tapi Wandi ini seperti kami juga. Bajingan ! Kecu !

Wandi : Apa tidak boleh, Bajingan insyaf ? (Pak Man dan Pak Pri tertawa)

Pak Ahmad : Sudahlah..

Pak Man dan Pak Pri : Pak Ahmad, kami pulang dulu ya, ada urusan. (membungkuk menyalami semua)

Pak Ahmad : Oh ya, saya juga akan segera pulang.

(Pak Ahmad, Pak Man, dan Pak Pri keluar pentas. Tinggallah Nanang dan Wandi bercakap-cakap. Ketika mereka bercakap-cakap, layar perlahan-lahan tertutup)

Adegan III

(Nanang mondar-mandir. Pak Ahmad, Pak Pri dan Pak Man menunjukkan orang sedang bingung dan juga heran)

Nanang : Celaka ! Ada pencuri masuk ! Michrophone kita hilang ! Pasti ulah Wandi !

Pak Man : Tenang dulu, jangan ribut begitu. Cari dulu yang benar !

Nanang : Sudah saya cari dimana-mana. Tetep nggak ketemu. Sudah saya bilang, Wandi itu nggak beres ! Dia itu kecu, maling !

Pak Pri : Belum tentu Wandi malingnya. Kan belum ada bukti yang nyata ?

Nanang : Saya yakin. Buktinya Wandi tidak berani datang ke mushola.

Pak Ahmad : (Seperti berbicara sendiri) Seandainya memang Wandi yang mencuri, mengapa ia begitu ceroboh dengan menghilang begitu saja? Bukankah itu menyebabkan dia yang paling kuat dicurigai? Tapi jika alasannya menghilang karena ia tidak kuat menahan kebohongan saat diinterogasi dan akhirnya dia mengaku? Itu pun kalau memang Wandi malingnya. (Berpikir sambil mondar-mandir dan manggut-manggut)

Pak Pri : Tapi seandainya secara kebetulan Wandi merasa bosan atau berhalangan hadir jamaah di mushola dan saat itu ada maling masuk mencuri mic mungkin saja kan?

Pak Ahmad : Sudahlah. Semua ini salah saya yang teledor. Mulai besok saya akan membuat kotak kecil untuk menaruh mic. Saya cukup membawa gemboknya saja. Dan juga sekalian besok saya akan beli lagi michrophone.

Babak II

Adegan I

(Suasana sedikit ribut. Wandi dan Nanang bertengkar)

Nanang : Hai maling ! Beraninya kamu datang lagi kemari !

Wandi : Lho. Ada apa ini? Siapa yang maling ? Hati-hati kamu kalau bicara !

Nanang : Alaaah. Jangan berlagak kamu. Mana ada kecu yang ngaku ! (sambil menampar muka Wandi) Saya sudah tahu semua borokmu !

(Wandi balas menyerang. Pak Ahmad, Pak Man, dan Pak Pri datang tergopoh-gopoh melerai mereka)

Pak Ahmad : Kamu seharusnya jangan asal main tuduh Nang (berkata kepada Nanang)

Nanang : Siapa lagi kalau bukan dia Pak Ahmad? Dia menghilang setelah mencuri mic

Wandi : Kejadiannya apa, kapan dan bagaimana saya tidak tahu menahu. Eh tau-tau dituduh maling. (membela diri)

Pak Ahmad : Sudahlah ! Gara-gara maling mic saja ribut ! (sambil masuk ke mushola bersiap-siap untuk segera adzan maghrib)

(Wandi dan Nanang masih saling pandang)

Pak Ahmad : Sudaaaaah ! Ayo damai !

Adegan II

(Pak Ahmad, Nanang dan Wandi masuk mushola. Ketika Pak Ahmad hendak membuka kotak, ia terkejut)

Pak Ahmad : Innalillahi. Astaghfirullah.

Nanang dan Wandi : Ada apa Pak Ahmad ?

Pak Ahmad : Kita kecolongan lagi.

Nanang : Nah, apa kata saya Pak Ahmad? Dia memang kecu ! Seharusnya jangan beri kesempatan dia berada di sini !
Wandi : Apa maksudmu ?

Nanang : Jika siasatmu yang lalu hampir terbongkar, sekarang ganti strategi. Dia ganti siasat, Pak Ahmad, sekarang tidak lagi menghilang supaya tidak bisa langsung dicurigai.

(Wandi menampar Nanang. Nanang membalas. Mereka berkelahi. Pak Ahmad kelabakan melerai mereka. Pak Pri dan Pak Man segera datang membantu. Setelah pertengkaran mereda, Pak Ahmad mengajak semuanya berembug)

Pak Ahmad : Rupanya perkiraan saya meleset. Kotak ini tidak cukup aman. (diam sejenak) Atau jangan-jangan saya masih dianggap bukan orang kampung ini? Bukankah orang di sini tidak mau mencuri di kampungnya sendiri?

(Semua diam mendengarkan Pak Ahmad)

Pak Ahmad : Akhir-akhir ini mushola tidak lagi aman. Dua kali sudah kita kecolongan. Saya kira yang terbaik saat ini adalah memikirkan jalan keluar dari masalah ini, tetapi tetap tidak mengesampingkan bagaimana caranya untuk menangkap pencuri itu tanpa saling menuduh satu sama lain diantara kita berlima. Bisa jadi ketika kita saling menuduh satu sama lain di sini, sementara ada orang lain di luar sana yang menertawakan kita ! Dan satu lagi, kalau bisa kita tidak hanya menangkap pencuri itu saja tapi juga menyadarkannya. (Pak Ahmad bicara dengan tenang)

Nanang : (Dengan berapi-api) Satu-satunya cara untuk menyadarkan pencuri itu adalah dengan menghajarnya jika tertangkap. Dengan begitu dia akan kapok. (Sambil menatap Wandi)

Pak Man : Menurut saya, hukuman itu justeru malah menjadikan sebab pertikaian selanjutnya yang bermotif dendam. Negara kita adalah negara hukum. Jadi sebaiknya yang berwajib sajalah yang mengurusi.

Nanang : Lho, bukankah sama saja Pak? Jika kita menyerahkannya ke polisi, maka setelah bebas kecu itu pasti juga menaruh dendam sama kita.

Pak Pri : Begini saja. Itu perkara nanti jika malingnya telah ketemu. Sekarang yang penting adalah bagaimana caranya agar kita tidak kecolongan lagi. Menurut saya lebih baik Pak Ahmad menyimpan mic-nya di rumah saja.

Pak Ahmad : Sebetulnya dulu kan karena benda itu sudah saya wakafkan untuk mushola, jadi saya rasa tidak sepantasnya disimpan di rumah saya.

Pak Pri : Untuk sekarang ini tidak usah sungkan-sungkan dan ewuh pakewuh, Pak Ahmad. Lebih aman, itu yang penting.

Pak Man : Atau kita kunci lagi saja musholanya Pak ?

Pak Ahmad : Oo, jangan ! Tujuan kita membuka mushola kan sudah baik yakni agar orang dapat masuk dan sholat kapan saja. Dan itu sudah membuahkan hasil yaitu dengan masuknya Wandi…

Pak Man : (Memotong) Dan juga masuknya maling ! Artinya juga pencuri dapat masuk kapan saja, Pak. Karena buktinya dengan terbukanya mushola sama saja dengan memberi kesempatan maling masuk. Ingat, sudah dua kali kita kecolongan. (Melirik Wandi)

Wandi : Bukan saya lho Pak (Seperti salah tingkah)

Pak Ahmad : Sudahlah. Kami tidak menuduh kamu kok. (Berpikir sejenak) Begini saja, saya rasa persoalannya mungkin terletak pada kurangnya amalan-amalan di dalam mushola ini. Makanya pencuri berani masuk. Memang benar mushola kita terbuka dua puluh empat jam, tetapi sebatas buka saja tanpa adanya kegiatan amal karena kita terburu-buru pulang selepas shalat. Yang mengisi mushola tidak ada. Itu artinya mushola belum makmur. Ibaratnya warung terbuka 24 jam, tapi tidak ada aktifitas jual beli karena tidak ada jajanan yang dijual. Bahkan penjualnya pun tidak ada !

(Semua manggut-manggut seolah memahami perkataan Pak Ahmad. Dan Pak Ahmad tersenyum)

Nanang : Lantas bagaimana caranya Pak?

Pak Ahmad : Nah, besok pagi selepas subuh kita adakan taklim. Nanti kit abaca hadits-hadits Nabi secara bergantian setiap hari. Kebetulan saya ada kitabnya di rumah.

Pak Pri : Baik, saya setuju. Mulai besok pagi !

Wandi : Tapi bagaimana dengan pencuri tadi Pak?

Pak Ahmad : Itu urusan saya. Yang penting besok pagi program taklim kita mulai jalan.
(Pak Ahmad membubarkan musyawarah. Semua pulang ke rumah masing-masing)

Adegan III

(Di atas ranjang kamarnya Pak Ahmad melamun dan berbicara sendiri)

Pak Ahmad : Ah, pasti pencurinya masih sering berkeliaran di sini. Tapi entah kapan waktunya. Bagaimana ya cara menjebaknya sekaligus menyadarkannya?

(Pak Ahmad nampak berpikir, tercenung. Tiba-tiba ia tersenyum gembira dan bangkit dari ranjangnya. Ia segera menyiapkan sebuah kotak amal kecil dan menyelipkan sesuatu ke dalamnya. Kemudian ia tersenyum lagi. Ekspresi wajahnya begitu puas)

Pak Ahmad : Nah beres ! Pasang kotak ini di mushola dan tunggu hasilnya ! (Sambil merebahkan badannya ke ranjang) Sekarang tinggal mempersiapkan taklim besok pagi. Jangan sampai kesiangan, malu aku nanti…. (Pak Ahmad segera terlelap)

Babak III

Adegan I

(Pak Ahmad nampak duduk menghadap sebuah kitab tebal. Semantara Pak Pri, Pak Man, Nanang dan Wandi duduk di hadapan Pak Ahmad, setia mendengarkan)

Pak Ahmad : (Membaca kitab) “Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.” (Q.S Al-Ankabut : 45)
(Kemudian membacakan sebuah hadis)
“ Dari Abdullah bin Abi Qatadah, dari ayahnya r.a, Rasulullah SAW bersabda : ‘Seburuk-buruk pencuri adalah seseorang yang mencuri dalam shalatnya,’ sahabat bertanya, ‘ Ya Rasulullah, bagaimana ia mencuri dalam shalatnya?’ Beliau menjawab, ‘Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.’ (Hadis riwayat Ahmad dan Thabrani)”

(Pak Ahmad kemudian mengakhiri taklim tersebut dan menutup kitab)

Pak Man : Sungguh luar biasa. Saya begitu terkesan dengan hadis tersebut.

Pak Pri : He he he. Ternyata kalau shalat kita tidak benar, lebih buruk dari pada mencuri.

Pak Ahmad : (menjelaskan) Mencuri adalah perbuatan yang hina. Dan orang yang kedapatan mencuri akan dipandang hina oleh orang-orang. Namun masih lebih buruk orang yang mencuri dalam shalatnya yaitu ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya. Rukuk belum sempurna sudah berdiri I’tidal. Sujud belum sempurna sudah duduk. Sujud seperti ini mirip dengan ayam yang memakan biji-bijian.

Pak Man : Iya betul. Ayam kalau makan biji-bijian cepat betul paruhnya nempel ke tanah.

Pak Ahmad : Jika shalat kita benar dan sempurna rukuk dan sujudnya, maka shalat kita tersebut minimal akan dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar seperti yang disebutkan pada ayat Al-qur’an surat Al-Ankabut 45 tadi. Oleh karena itu penting bagi kita untuk senantiasa meningkatkan mutu shalat kita. Tidak usah tergesa-gesa dalam shalat. Bagaimana siap ?

Semua : Insyaallah siap !

Pak Ahmad : Dan satu lagi, agar shalat kita lebih terasa nikmat dan menyenangkan ada baiknya setiap diri kita senantiasa juga memperbaiki bacaan shalat kita, hafalan-hafalan surat-surat pendek kita tambah, dan sebagai permulaan setiap diri kita harus hafal sepuluh surat terakhir. Bagaimana siap?

Nanang : Sepuluh surat terakhir ? Oke, saya siap menghafal.

Wandi : Kita berlomba. Dan saya yang akan jadi yang terbaik !

Pak Man : Wah wah wah, kami yang sudah tua ini ya tentu sulit menghafal Pak Ahmad.

Pak Pri : Apalagi saya, kalau tidak pakai kaca, huruf-huruf itu kelihatannya cuma seperti garis-garis lurus. Dasar mata tua.

Pak Ahmad : Ya tidak apa-apa. Kita belajar semampu kita. Tidak ada kata terlambat untuk belajar.

Pak Man dan Pak Pri : Baiklah Pak Ahmad, kami pulang dulu. Mau ngecek sawah dulu.

Pak Ahmad : Oh, ya pak. Hati-hati di jalan.

Pak Man dan Pak Pri : Assalamualaikum.

Pak Ahmad : Waalaikumsalam warahmatullah.
(Nanang dan Wandi nampak juga bersiap-siap hendak pulang)

Pak Ahmad : Lho mau nyusul juga ?

Nanang : Ah pak Ahmad, urusan kita lain. Ini urusan anak muda, he he he.

Pak Ahmad : Ya hati-hati di jalan.

Nanang dan Wandi : Assalamualaikum.

Pak Ahmad : Waalaikumsalam warahmatullah.

(Setelah semuanya pergi, pak Ahmad mengecek kotak amal yang dipasangnya)

Pak Ahmad : (sambil menggeleng-geleng kepala, Pak Ahmad berbicara sendiri) Benar saja, pencurinya masih sering berkeliaran di sini.

(Selanjutnya Pak Ahmad memasukkan sesuatu ke dalam kotak itu lagi. Kemudian ia shalat dua rekaat dan berdoa dengan khusuknya)

Adegan II

Narator : 
Bumi terus berputar. Hari berganti hari. Tak terasa berganti minggu. Bagaimana kabar upaya Pak Ahmad menyadarkan pencuri? Ah, hari demi hari Pak Ahmad terlihat kecewa setiap kali mengecek kotak amalnya.

(Di dalam mushola tampak Pak Man dan Pak Pri terbata-bata belajar membaca Al-Qur’an dengan bimbingan Pak Ahmad. Sedangkan Nanang, ia nampak sedang shalat lama sekali. Adapun Wandi, terlihat sedang khusyuk berdoa. Wajahnya berlinang air mata)

Pak Man : Alam taroo kaifafa ‘ala ….

Pak Ahmad : Ro’ –nya dibaca pendek Pak Man. Tidak boleh terlalu panjang.

Pak Man : Oh, ya ya. Yang mana tadi.

Pak Ahmad : Ini lho (sambil menunjuk ke mushaf)

Pak Pri : (sambil mengelap kacamatanya) Wah pegel. Mataku nggak kuat lagi.

Pak Ahmad : Istirahat dulu Pak Pri. Sebetulnya, membaca Al-qur’an itu menyehatkan mata lho Pak. Selain itu orang yang setiap hari selalu membaca Al-qur’an pasti tidak cepet pikun.

Pak Man : Saya juga mau istirahat ya Pak Ahmad.

Pak Ahmad : Lho tidak diselesaikan dulu, Pak Man ?

Pak Man : Ah, nanti saja Pak Ahmad. Istirahat dulu/

Pak Ahmad : (tersenyum) Baiklah. Lain kali diteruskan lagi.

Pak Pri : Wah kalau dari dulu Pak Ahmad tinggal di sini, pasti saya sudah hafal tiga puluh juz ! Bukan seperti sekarang ini, mbaca saja sulitnya minta ampun.

Pak Ahmad : (Tersenyum) Ah, ada-ada saja Pak Pri ini.

Pak Man : Eh, Nanang dan Wandi sekarang bagaimana Pak Ahmad ? Perkembangan baca Al-Qur’annya ? Sudah lancar atau masih sama seperti kami ini ?

Pak Ahmad : Mereka adalah pemuda-pemuda yang hebat, cerdas. Mudah menerima pelajaran. Sekarang mereka sudah lancar. Bahkan Nanang dan Wandi sudah mulai menghafal surat-surat pendek yang lain, tidak hanya sepuluh surat terakhir.

Pak Man dan Pak Pri : Ck Ck Ck. Anak muda, beruntung benar mereka.

Pak Ahmad : Lihatlah Nanang, dia sekarang terlihat lebih lama dan tenang shalatnya. Sebabnya ia merasakan kenikmatan shalat dengan bacaan yang betul dan hafalan Qur’an yang semakin banyak. Shalatnya menjadi lebih nikmat dan menyenangkan. Wandi juga, kemarin minta saya ajari doa. Saya kasih doa yang singkat dan sederhana, tapi sudah mencakup segalanya.

Pak Man : Lantas bagaimana dengan kami Pak Ahmad? Menghafal surat Al-Qur’an sudah susah mau ditambah menghafal doa.

Pak Ahmad : Kita berdoa itu, menggunakan bahasa kita sendiri juga tidak apa-apa kok. Justeru bagus, karena kita mengetahui makna apa yang kita ucapkan.

Pak Pri : Pakai bahasa Indonesia ?

Pak Ahmad : Iya. Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Doa dalam bahasa apa saja pasti didengarkan oleh Allah.

Adegan III

(Pak Ahmad kembali mengecek kotak amalnya. Ketika ia melongok melihat isi kotak amal itu, ia menggeleng-gelengkan kepala. Sejenak ia tercenung)

Pak Ahmad : Ya Allah, berilah petunjuk kepada hamba yang lemah ini.
(Pak Ahmad berpikir lagi)

Pak Ahmad : Apakah tindakanku ini hanyalah tindakan yang bodoh dan justeru hanya memberikan kesempatan para maling untuk berbuat kejelekan? Ah, tapi seandainya pencuri itu mau melakukan apa yang aku inginkan, tentu sebentar lagi ia akan menghentikan perbuatan mencurinya.

(Dengan sedikit malas dan putus asa Pak Ahmad memasukkan sesuatu ke dalam kotak amal itu)

Pak Ahmad : Ini yang terakhir kalinya. Seandainya ini juga tidak berhasil, cukuplah sudah upayaku menyadarkannya. Semoga kali ini berhasil. Ya Allah, pandanglah usaha dan pengorbanan hamba yang sedikit ini Ya Allah !

(Dengan langkah gontai Pak Ahmad kembali ke rumahnya)

Babak IV

(Pak Ahmad sedang berbaring di ranjangnya ketika Nanang berjalan mengendap-endap menuju pintu rumah Pak Ahmad. Sebentar kemudian ia mengetuk pintunya)

Nanang : Assalamualaikum.

Pak Ahmad : (Bangkit dengan sedikit malas. Membetulkan sarungnya) Waalaikum salam.
  Siapa ya ?

Nanang : Saya Pak Ahmad, Nanang.

Pak Ahmad : Masuk Nang. (Sambil membuka pintu)

Nanang : (Diam sejenak dan menunduk) Maafkan saya Pak Ahmad.

Pak Ahmad : Lho ada apa Nang ? Atas masalah apa, kok minta maaf segala?

Nanang : Ehm, saya ingin memberi tahu siapa sebenarnya pencurinya, Pak Ahmad.
(Pak Ahmad diam saja. Ia hanya manggut-manggut dan memasang muka serius dan tenang)

Nanang : (Agak keras) Sayalah pencurinya Pak Ahmad !
(Pak Ahmad tetap tak bereaksi, ia tetap tenang)

Nanang : (mengulanginya) Sayalah pencurinya Pak Ahmad ! (sedikit terisak) Ingatkah Pak Ahmad siapa yang mengusulkan untuk membuka mushola 24 jam?

Pak Ahmad : Ya, saya ingat.

Nanang : Tahukah Pak Ahmad. Saya mengusulkan itu agar saya dapat masuk kapan saja ke dalam mushola. Selama itu saya terpaksa harus bersabar dan senantiasa menunggu waktu yang tepat untuk mengambil michrophone !

Pak Ahmad : Hmm.

Nanang : Hingga tibalah saatnya ketika Wandi datang selama beberapa hari. Hingga ketika dari
cerita Wandi saya tahu jika esoknya dia akan pergi ke luar kota. Saya berpikir, ketika itulah saat yang tepat untuk merekayasa seolah-olah Wandilah pencurinya. Dengan alasan yang saya buat-buat, Wandi menghilang ! Oh betapa bodohnya, sehingga saya harus berkelahi dengan Wandi hanya karena itu. Sedangkan pada pencurian yang kedua, saya hanya berspekulasi dengan mengganti alasan Wandi sedang mengubah strateginya dengan tidak menghilang ke luar kota.

(Baik Pak Ahmad maupun Nanang sama-sama diam)

Nanang : (lirih) Dua kali saya memanfaatkan dan memfitnah Wandi.

Pak Ahmad : Lantas apa yang membuatmu sadar dan mengaku ?

Nanang : Ada dua hal, (sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya), Yang pertama karena taklim yang kita adakan, dan kedua karena pesan Pak Ahmad di dalam kotak amal itu !

Pak Ahmad : (tersenyum) Jadi benar dugaanku, bahwa pencurinya adalah orang yang sama.

Nanang : Maafkan saya Pak Ahmad. Awalnya saya menganggap janji dan juga upaya Pak Ahmad untuk menangkap sekaligus menyadarkan pencurinya adalah tindakan yang bodoh. Ketika itu saya merasa tertantang untuk meladeni upaya Pak Ahmad. Hari demi hari saya tertawa ketika memunguti rupiah demi rupiah yang Pak Ahmad sediakan dalam kotak amal. Sedangkan pesan-pesan Pak Ahmad dalam kertas itu saya abaikan saja. Namun lama kelamaan ada gejolak di hati saya Pak Ahmad, ketika saya menuruti apa isi pesan Pak Ahmad itu. Batin saya begitu tersiksa.

Pak Ahmad : Ah sudahlah Nang.

Nanang : Hingga akhirnya saya sadar dan berjanji, sebisa mungkin saya akan ganti apa yang telah saya curi.

Pak Ahmad : Sudahlah. Sekarang masalah sudah beres dan jelas. Sekarang pulanglah !

Nanang : Tapi Pak Ahmad…

Pak Ahmad : Sudaaaah. Lupakan saja. (Pak Ahmad mengibaskan tangannya pelan seolah mengusir  lalat yang hinggap) Yang penting tidak kamu ulangi lagi.

Nanang : Kalau begitu syarat apa yang harus saya lakukan untuk menghapus kesalahan yang saya lakukan Pak ?

Pak Ahmad : (berpikir sejenak) Begini saja. Mulai sekarang kamu harus membantu saya dengan bertugas sebagai penjaga kebersihan mushola. Dan juga mengumandangkan adzan.

Nanang : (Serta merta berdiri dan hormat ala militer) Siap ! Terima kasih Pak Ahmad, saya bersedia. Insyaallah saya terima tugas itu dengan senang hati.
(Nanang memeluk Pak Ahmad)

Nanang : Saya pamit Pak Ahmad.
(Pak Ahmad mengantar Nanang sampai ke pintu)

Nanang : (Tiba-tiba membalikkan badan) Satu lagi Pak Ahmad, jangan ceritakan ini kepada siapapun !

Pak Ahmad : Baiklah.

Epilog

Pak Ahmad pun menutup pintu. Perasaan lega menggayuti hatinya. Rupanya kesabarannya membuahkan hasil. Pak Ahmad juga semakin yakin bahwa apa yang keluar dari Allah dan Rasulnya selalu benar. Tidak ada keraguan di dalamnya sedikitpun, dimanapun, dan sampai kapanpun.
Tahukah anda, pesan apa yang selalu disertakan Pak Ahmad di dalam kotak amal itu ? Isinya adalah : Perbaiki Shalat-Shalat Kamu !
Yah, Pak Ahmad sangat percaya bahwa shalat yang benar akan dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.



_Selesai_
Semarang, Desember 2007
close