Sepeda Motor Bapak [Cerpen Saya di Buku Kumpulan Cerpen Tak Semanis Cokelat SD Labschool Unnes]
Berikut ini adalah cerpen saya yang ikut dimuat dalam Antologi Kumpulan Cerpen "Tak Semanis Cokelat" karya siswa SD Labschool Unnes.
Buku ini terbit pada Maret 2017, diterbitkan oleh Penerbit Cipta Prima Nusantara, Semarang.
*Untuk mendapatkan buku ini, bisa menghubungi 085 640 548 634 (Telp, SMS, WA)
***
Kumpulan Cerpen "Tak Semanis Cokelat" Karya Siswa SD Labschool Unnes, Alhamdulillah sudah nangkring di rak dan melengkapi koleksi buku saya :) |
Sepeda Motor Bapak
Oleh M. Rifan Fajrin
Sore itu bapak sedang
menyiram bunga-bunga di halaman. Bapak barusan selesai mencuci sepeda motor,
jadi sekalian saja menyiram bunga.
Sementara itu Dono
sedang membantu ibu memasak di dapur. Dono membantu sebisanya, seperti
mengambil air, mencuci sayur, mengupas bawang, memeras santan, atau memotong
kacang panjang. Tapi untuk ngulek sambel atau memarut kelapa, Dono belum bisa.
“Bu, kalau Dono boleh
pakai sepeda motor Bapak, kan enak. Dono bisa mengantar Ibu ke pasar, misalnya.
Jadi Ibu nggak perlu seperti tadi, capek-capek harus naik angkot dan bawa
belanjaan yang berat itu sendirian!” kata Dono sambil memotong kacang panjang.
“Soal itu lagi…” kata
ibu, “bilang saja sendiri sama Bapak.”
“Huuh,” Dono menghela
napas berat. “Kalau Dono yang ngomong ke Bapak, jawabannya pasti tetap tidak.
Ibu bantu Dono dong, untuk ngomong ke Bapak!” Dono mencoba merayu ibunya. Dono
memang lebih banyak ngobrol sama ibu daripada bapaknya.
“Ibu nggak akan ngomong
ke Bapak. Lagian Ibu masih sehat dan kuat kalau cuma berjalan kaki ke pasar,”
kata ibu dengan tegas. Jawaban ibu membuat Dono jadi lemes.
Dono masih duduk di kelas enam sekolah dasar. Dia
ingin sekali bisa naik sepeda motor. Dia sudah berkali-kali minta kepada bapak
agar diajari naik sepeda motor. Tetapi bapak menolak mentah-mentah keinginan
Dono.
“Kamu masih kecil,
belum cukup umur!” kata bapak pada suatu sore ketika Dono mengutarakan
keinginannya itu.
“Tapi teman-teman Dono
banyak yang sudah bisa naik motor, Pak,” Dono beralasan.
“Teman-temanmu yang
mana? Anak-anak tanggung yang suka nongkrong di jalan itu?” tanya bapak.
“Bukan, mereka bukan
teman Dono. Maksud Dono, teman-teman sekelas banyak yang sudah bisa naik motor.
Bahkan Winda, cewek, bisa naik motor,” kata Dono pelan dan tak berani memandang
muka bapak.
“Sini Bapak kasih
tahu,” bapak memberi isyarat agar Dono mendekat, “dengar, orang kalau mau naik
motor, harus punya SIM dulu, dan SIM itu baru bisa didapat kalau sudah tujuh
belas tahun!” kata Bapak sambil menjewer telinga Dono. “Lha wong kamu ini diminta bantu bapak cuci sepeda motor saja tidak
pernah mau, kok sekarang minta mau naik motor! Gelem numpaki kudu gelem ngrumati!”
***
Sebenarnya, keinginan
Dono untuk bisa naik motor itu bukan cuma karena teman-temannya sudah bisa naik
motor. Lebih dari itu, mereka yang sudah bisa naik motor itu acapkali meledek
Dono. Seperti pada hari saat istirahat pertama di kantin sekolah tempo hari.
“Hari gini, nggak bisa
naik motor itu nggak gaul, Men!” seloroh Pujo sambil mengunyah tahu bakso.
Kata-kata Pujo itu sontak disambut tawa teman-teman yang sedang berkumpul.
Beberapa anak yang merasa belum bisa naik motor pun menjadi ciut, termasuk
Dono.
“Kalau anak berbakti,
dia tidak membiarkan ibunya pergi jalan kaki, betul nggak?” kata Mufid yang
kemudian diiyakan oleh teman-temannya.
“Yah, paling nggak, dia
bisa mengantar ibu atau adiknya pergi naik sepeda roda tiga, ha-ha-ha!” kata
Samsul sengak banget.
Dalam hati, Dono
semakin panas saja. Dia pun ngeloyor menjauh dari teman-temannya.
“Eh, ada yang marah… Ya
kalau begitu, pakai bemo saja. Bemo kan juga motor, meskipun juga roda tiga!
He-he-he,” kata Ipin.
Namun, di antara
ledekan teman-teman itu, yang paling membuat Dono kebakaran jenggot, eh,
maksudnya membuat hati Dono perih adalah ketika Winda dan teman-teman perempuan
ikut-ikutan meledeknya. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu petang ketika Dono
sedang berjalan kaki menuju ke rumah Indro untuk mengerjakan PR prakarya.
Brum
brum brum! Tiiin…!
Tiiin!
“Haaiii, Dono..! Kok
jalan kaki aja nih? Nggak minta dianter sama Papi?” teriak Winda yang berboncengan sama Sinta naik motor matic, keduanya tanpa memakain helm.
Mereka berhenti di samping Dono. Bagi Dono, itu adalah sebuah pelecehan keras
baginya.
“Berhentilah mengoceh!
Bapakku sangat sibuk!” balas Dono.
“Ih, jangan ketus gitu,
dong. Kan kita cuma nanya?” ujar Winda sewot.
“Lagian kita cuman mau
nawarin tumpangan, kok. Mau nebeng sekalian nggak?” tanya Sinta.
Dono menatap Sinta
lekat-lekat, kemudian menatap Winda.
“Tidak! Pergi kalian!
Aku tahu, kalian hanya ingin meledekku saja!”
“Kalau nggak mau, ya
sudah. Dadaah Donooo…!” Winda menarik gas, pergi meninggalkan Dono.
“Makanya segera belajar
naik motor, Don. Atau, mau kita ajarin?” teriak Sinta.
Dono melihat punggung
Winda dan Sinta, dan dari gerakannya, Dono tahu bahwa mereka cekikikan.
“Dasar anak-anak nggak
punya aturan!” Dono merutuk.
Di rumah Indro, Dono
cerita panjang lebar mengenai “nasib buruk” yang barusan dialaminya.
“Ajari aku naik sepeda
motor, Ndro!” kata Dono setelah mereka berdua selesai mengerjakan prakarya.
“Sial! Baru saja aku diledek sama duo nenek lampir, Winda dan Sinta!”
Indro ketawa ngakak.
“Jangan diambil hati,
Bro. Anak-anak memang suka begitu!” jawab Indro enteng.
“Maksudmu, kamu mau
membiarkanku nggak bisa naik motor seumur hidup ya?” Dono mendengus kesal.
“Tenaang, tenang.
Sabar, Bro. Kamu atur saja kapan,” kata Indro sambil menahan tawa melihat
penderitaan sobatnya itu.
“Kalau besok pagi
bagaimana? Tapi pakai motor ayahmu ya? Kayaknya lebih gampang kalau metik, kan?”
“Besok pagi sih aku
banyak bisanya. Tapi kalau pakai motor ayahku, aku nggak janji, Bro. Besok pagi
kayaknya ayah dan ibuku mau pergi pakai motor, nggak pakai mobil. Pakai motor
bapak kamu sajalah! Pakai gigi nggak papa, aku ajari kamu pasti langsung bisa!
Percaya deh!” kata Indro.
“Gile lu, Ndro! Aku nggak mungkin pakai motor bapakku. Bisa-bisa aku
diikat tujuh hari tujuh malam di kamar mandi!” kata Dono dengan nada yang
tiba-tiba bariton.
“Trus gimana dong?
Semua terserah kamu. Kalau ingin latihan besok pagi, ya kamu harus cari sepeda
motor untuk latihan. Aku sih santai aja,” jawab Indro.
Dono hanya termenung
menyimak kata-kata Indro. Ingin rasanya Dono marah, tapi marah karena apa dan
marah kepada siapa, Dono tidak bisa menjawabnya. Sementara di dalam dadanya
berkecamuk, dan perlahan kedua matanya mulai basah.
***
Malam harinya, langit
seolah-seolah sedang disco. Maksudnya,
di dalam gelapnya malam sesekali terlihat kilatan cahaya. Angin malam berhembus
lebih kencang. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun dengan lebatnya
setelah panas sepanjang hari tadi. Persis seperti suasana hati Dono yang terasa
seharian tadi, dan kini hatinya tengah dilanda hujan badai.
Bapak, ibu, dan Dono
sedang berkumpul di ruang tengah. Bapak menonton siaran Liga Inggris antara The Gunners Arsenal melawan The Hammers West
Ham United di Emirates Stadium.. Ibu sedang menyalurkan hobi membuat boneka
dari kain flanel. Sedangkan Dono, mencoba menghibur diri dengan membaca buku
“Lupus Kecil” karya Hilman Hariwijaya duet bareng Boim Lebon.
Di tengah keasyikan
masing-masing, ibu bertanya kepada bapak tentang rencana kondangan Minggu pagi.
“Pak, besok jadinya
bagaimana?” tanya ibu tanpa mengalihkan pandangannya dari boneka flanel. Malam
itu ibu membuat boneka berbentuk burung hantu.
“Iya, jadi,” jawab
bapak singkat, tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar televisi. “Gool!!!
Mesut Ozil!” teriak bapak mengagetkan ibu. Sedangkan Dono hanya sejenak
berpaling dari bukunya.
“Lha iya, maksudnya,
jadinya kita ikut rombongan carteran mobilnya Pak Bagyo atau mau nyepeda motor sendiri?”
“Ikut mobil laah,
tinggal duduk manis sudah sampai. Kalau cuma ke Demak, oke. Lha ini ke
Bojonegoro je, aras-arasen kalau naik motor,” jawab bapak.
Ibu mengangguk kalem.
Meski matanya tertuju
ke buku “Lupus Kecil”, tapi pikiran Dono ternyata melayang-layang entah ke
mana. Dan baru saja kupingnya menangkap “sebuah harapan”, yaitu besok pagi
bapak dan ibunya akan pergi kondangan ke Bojonegoro dengan naik mobil carteran.
Dengan demikian, sepeda motor bapak bisa dipakainya buat latihan!
“Yesss!!!” Dono tiba-tiba
berteriak.
“Kamu kenapa, Don?”
tanya ibu.
“Nggak apa-apa, Bu. Itu
bolanya gol,” jawab Dono sekenanya.
“Ha-ha-ha! Golnya sudah
dari tadi, teriaknya baru sekarang!” kata bapak sambil terkekeh.
Sementara hujan mulai
turun dengan begitu lebatnya.
***
Kira-kira tiga puluh
menit setelah subuh, rombongan kondangan ke Bojonegoro sudah berangkat. Di
tengah hawa dingin sisa hujan semalam, mobil carteran itu melaju menembus
kabut.
Setelah memastikan
bahwa bapak dan ibunya tidak ketinggalan rombongan, Dono segera menelpon Indro
agar segera datang ke rumahnya.
“Ndro, segera ke
rumahku! Ayo kita latihan naik sepeda motor!” kata Dono antusias.
“Oh. Kamu aja yang ke
sini, Don. Bawa sepeda motor bapak kamu ke sini. Ntar kuajari kamu,” kata Indro
yang masih mengantuk.
“Oke,” kata Dono cepat,
tapi Dono segera menyadari, ada sesuatu yang tidak beres. “Eh, tapi kan aku
belum bisa naik motor? Kok suruh bawa motor ke situ? Kamu suruh aku ndorong?”
Indro terbahak.
Ngantuknya hilang seketika. “Oke oce, aku segera meluncur.”
Setelah Indro sampai di
rumah Dono, mereka berdua segera berangkat ke lapangan basket SMP dekat rumah.
Sebenarnya lebih enak kalau latihan di lapangan sepak bola, tapi karena semalam
hujan deras, lapangan bola kampung jadi becek. Kondisi itu tentu tidak bagus
untuk pemula seperti Dono.
“Masak latihan di sini,
Ndro? Nggak langsung di jalan aja? Kan malu di sini dilihatin banyak orang?
Lagian ini sempit banget!” tanya Dono protes.
“Langsung di jalan,
langsung jontor ketabrak motor mau?” Indro balik bertanya, “Nggak usah malu,
semua orang yang pengen bisa naik motor juga awalnya latihan dulu di sini. Malu
di lapangan, bisa jontor di jalan.”
Akhirnya Dono pun
menurut apa kata Indro. Awalnya sih tangan Dono masih terasa agak kaku, tapi
sekarang sudah mulai agak lemes dan santai. Dono mulai percaya diri sekarang.
Bahkan Dono kadang mengemudi dengan satu tangan, bukan karena nggaya tapi
karena hidung Dono terasa gatal.
“Ngomong-ngomong siapa
yang ngajarin kamu, Ndro?”
“Ayahku yang ngajarin,”
kata Indro pendek.
“Ayahmu? Emang boleh
ya?”
“Kenapa nggak boleh?
Ayahku malahan bangga kalau aku bisa naik motor. Aku juga sering kok disuruh
menjemput ibu sepulang belanja dari pasar.”
“Ah, kalau begitu,
bapakku saja yang kolot dan kuno nih!” kata Dono.
“Lagian di tempatku
nyaris semua anak seusia kita udah bisa naik motor kok,” sahut Indro. “Malahan
ntar kalau aku bisa masuk SMP Negeri favorit, aku mau diajari menyetir mobil
sama ayah!” jelas Indro.
Dono jelas ber-o-o saja
mendengar penjelasan Indro. Dalam hatinya, Indro beruntung betul jadi anak,
punya ayah yang gaul dan pengertian.
Kira-kira sudah
setengah jam mereka muter-muter di situ. Semua ilmu naik kendaraan bermotor
sudah Indro kasih ke Dono, mulai dari awalan sampai cara berhenti dengan
mengerem secara betul. Tak lupa Indro kasih tips-tips dan teori seputar naik
kendaraan bermotor kepada Dono. Dono pun senang dengan cara Indro mengajarinya.
“Ternyata gampang,
Ndro,” kata Dono sambil cengengesan.
Indro yang masih setia
membonceng di belakang Dono pun merasa sedikit jumawa. “Emang! Teman-teman yang
kuajari naik sepeda motor juga semuanya langsung bisa kok. Pokoknya, intinya
kalau kita sudah bisa naik sepeda, dia akan gampang naik sepeda motor. Tinggal
ngatur gasnya aja,” katanya.
“Kita pindah ke jalan,
yuk!” ajak Dono setelah agak rileks.
“Oke oce! Kita jalan
dua lima sampai tiga puluh aja kecepatannya. Oya, kita belum coba jalanan yang
sedikit menanjak. Intinya segera ganti gigi lebih rendah begitu punya feeling bakalan nggak kuat nanjak,” kata
Indro.
“Siip!” Dono pun segera
mengarahkan sepeda motor ke jalan.
Ketika sedang
asyik-asyiknya menyusuri jalan desa yang agak sepi, Dono kaget tatkala di
sampingnya sudah ada Winda yang juga sedang keliling naik sepeda motor matic-nya.
“Halloo, Indroo. Eh,
ada Dono juga. Lagi latihan yaa…?” tanya Winda tanpa dosa. “Awas ada lubang tuh
di depan!”
Terang saja Dono jadi
gugup. Dono sempat oleng. Memang sih, di depan ada lubang. Tapi Dono sudah
melihat lubang lumayan besar itu dari tadi. Dia nyaris kehilangan kendali
karena teriakan Winda, yang bagi Dono lebih mirip kaleng kerupuk yang dipukul
pakai tongkat pramuka.
“Berisik! Pergi jauh
sono!” teriak Indro galak.
“Hii, takuut! Yaudah,
hati-hati yaa! Belajar yang rajin biar cepet bisa!” kata Winda sambil ngeloyor
menarik gas agak dalam, melesat meninggalkan Indro dan juga Dono yang masih
deg-degan.
“Kenapa sih selalu
ketemu nenek lampir!” gerutu Dono.
“Sudah, anggap aja itu
ujian pertama, Don. Bahwa naik motor itu kudu tenang, rileks, bisa menguasai
keadaan, begitu kata ayahku,” kata Indro sok bijak menirukan kata-kata ayahnya.
Mereka pun jalan lagi.
Tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dari arah depan mereka melihat Winda
berbalik arah, melaju agak kencang sambil teriak ke Dono dan Indro.
“Ada razia polisi! Dia
ngejar akuuu!!!” teriak Winda kepada Dono dan Indro. Dia kelihatannya takut dan
panik sekali. Pasalnya, Winda tidak pernah pakai helm. Kalau soal SIM, jangan
ditanya, Winda yang sekolahnya satu kelas sama Dono tentu saja tidak mungkin
berusia tujuh belas tahun.
“Waduh, gawat! Buruan
putar balik, Don!” Indro mendesak, ikutan panik. Sedikit berbeda dengan Winda,
Dono dan Indro keduanya memakai helm. Tapi tetap saja mereka takut kenapa-napa.
“Kamu aja yang di
depan, Ndro!” kata Dono sedikit gemetaran. Tiba-tiba saja semangatnya ngedrop.
“Sudah, buruan!” kata
Indro. “Tarik gas lebih dalam sedikit!”
Sayang sekali,
disebabkan jalan yang sedikit licin sisa hujan semalam ditambah kondisi jalan
yang bopeng-bopeng banyak lubang, menyebabkan Dono hilang kendali. Akhirnya…
Brak!!!
Dono dan Indro terjatuh! Untungnya tidak tabrakan.
Dono dan Indro mengaduh
berbarengan. Tapi rasa takut tertangkap polisi lebih tebal mereka rasakan
ketimbang luka di lengan mereka. Dono sudah siap-siap mau menangis,
membayangkan dirinya harus menerima kemungkinan terburuk, yaitu kena denda
ratusan ribu rupiah. Ya, Dono ingat betul, bapak pernah berkata demikian.
Beberapa saat setelah
menegakkan sepeda motor, baik Dono maupun Indro sama-sama heran.
“Lho, mana polisinya,
Ndro? Kok nggak lewat-lewat?”
“Iya, Don. Apa Winda
cuma ngerjain kita ya?”
“Nggak tahu juga. Tapi
kayaknya sih tadi mukanya takut banget!”
Dono dan Indro pun
memutuskan untuk pulang ke rumah. Kali ini Indro yang mengemudi di depan. Dono
yang membonceng di belakang, pikirannya sudah tak menentu, bagaimana kalau
sepeda motor bapaknya ada yang lecet atau malah pecah? Pasti bapak akan marah
besar. Diam-diam ada sedikit rasa sesal menggayuti batin Dono.
***
Malamnya, setelah Bapak
dan Ibu sudah sampai di rumah, Dono cerita apa adanya kepada kedua orang
tuanya. Tadi siang, Dono sudah mengecek kondisi sepeda motor bapak, tidak ada
yang pecah. Cuma ada goresan sedikit saja di bagian samping, yang mungkin kalau
bapak kurang teliti, goresan itu tidak akan ketahuan. Tapi Dono sudah
membulatkan tekad untuk cerita jujur, dari hati, terutama kepada bapaknya. Dono
sudah tidak peduli, meski harus diikat di kamar mandi tujuh hari tujuh malam
sekali pun!
Untungnya, bapak tidak
marah kepada Dono. Mungkin bapak menangkap kesungguhan hati Dono lewat raut
muka yang ditunjukkannya itu, bahwa Dono betul-betul menyesal. Hanya saja, Dono
malu bukan kepalang setelah ibu yang biasanya netral, tidak memihak
siapa-siapa, malam itu ikut-ikutan menasihati Dono.
“Semua itu karena bapak
sayang sama kamu, Don,” kata ibu.
Dono hanya tertunduk,
membiarkan semua nasihat masuk ke telinganya. Tapi, tiba-tiba saja Dono ingat
kepada Winda yang tidak pernah pakai helm, tidak punya kelengkapan yang
lengkap, tapi menurut Dono nasibnya selalu mujur.
“Yah, semoga Winda juga
tidak taat aturan, besok juga jatuh seperti aku!” kata Dono.
“Hush! Jangan ngomong
yang jelek-jelek, Don! Itu tidak baik! Lebih baik kamu doakan supaya dia
sadar,” kata ibu dengan sedikit melotot.
“Tapi bukankah Winda
juga melanggar aturan? Kenapa dia selalu beruntung, tidak pernah ketangkap
polisi, jatuh dari sepeda motor juga tidak pernah?” Dono ingin protes.
Mendengar penuturan
Dono, bapak berdehem sebentar, lalu dengan wajah serius dia berkata kepada
Dono, “Don, kupingmu rungakna! Sak
beja-bajane wong kang lali, isih luwih beja wong kang eling lan waspada!
Ada banyak orang yang selalu beruntung meski dia melanggar aturan, tetapi masih
lebih beruntung orang yang selalu ingat, waspada, dan menegakkan aturan!”
Dono menyimak kata-kata
bapak sambil membatin, “Bapak memang kuno dan kolot! Tapi benar juga!”
Sepertinya Dono harus
memendam keinginannya itu untuk lima sampai enam tahun lagi. []