Kesunyian Maria, Bagian 2

Baca Cerita Sebelumnya, Kesunyian Maria, Bagian 1 di sini

Sampul Novel Fallev dan Maria


“Tak kan pernah, Maria.”

Maria masih erat memeluk Fallev, hingga ia menyadari kemudian, ada sesuatu yang menempel di lehernya. Ia melepaskan pelukannya. Maria meraba lehernya.

“Oh, Fallev. Apakah kau yang telah memakaikannya untukku?”

Fallev tak menjawab. Ia hanya tersenyum penuh arti.

“Oh, kapan kau memasangnya? Mengapa aku tak merasakannya? Oh, apakah saat ini aku sedang bermimpi, Fallev?”

Maria kembali memeluk Fallev. Namun, sebentar kemudian dilepasnya lagi pelukan itu.

“Oh, Fallev. Maafkan aku. Aku belum menyiapkan makan malam untukmu. Aku juga belum menyiapkan air hangat untukmu. Aku tak tahu kau akan datang sore ini,” ujar Maria sambil mengusap wajah Fallev. 

“Lihatlah, wajahmu sangat kotor.”

“Tak apa Maria. Nanti saja. Sekarang, lihatlah betapa cantiknya dirimu,” jawab Fallev sambil tersenyum.
Maria kembali berjalan menuju cermin besar di sudut kamarnya, dan duduk di kursi rias berukir bunga-bunga yang terbuat dari gading.

“Indahnya, Fallev.”
Fallev mendekati Maria, memeluknya dari belakang.

“Benar. Sangat indah, Maria. Kalung itu memang telah aku siapkan untukmu yang sekian lama dengan sabar telah menunggu kedatanganku,” bisik Fallev.

Sesaat Maria terdiam. Tak terasa air matanya kembali mengalir membasahi pipinya. Seolah ia tersadar, bahwa sekian lama ia telah menunggu kedatangan Fallev, dan selama itu pula ia telah memendam kebencian sekaligus kerinduan kepadanya.

“Mengapa kau menangis, Maria?” tanya Fallev yang terheran melihat istrinya menangis.

Fallev pun semakin terheran melihat Maria melepas kalung yang sesaat lalu telah mampu mengukir senyum di bibir Maria.

“Maria, ada apa denganmu? Apa yang terjadi?”

Maria masih terdiam. Ia justru mengambil kotak perhiasannya dan menyimpan kalung emas pemberian Fallev itu di dalamnya. Fallev dapat melihat, kotak perhiasan itu berisi sangat banyak perhiasan. Fallev berjongkok dan bergeser ke sisi Maria, menarik tangan Maria, meraih kotak perhiasan itu dan meletakkannya di meja. Lalu ia mengusap kepala Maria, menghadapkan wajah Maria ke arahnya. Kini, wajah mereka telah berhadapan.

“Kenapa, Maria?” tanyanya sambil menghapus bulir-bulir air mata di pipi Maria. Kemudian ia menggengam tangan Maria, merekatkan dengan kuat jari-jari tangannya dengan jari-jari Maria. Dan Fallev kembali terheran dan terkejut, saat menyadari di jari manis Maria tak melingkar cincin pernikahan mereka.

“Cincinmu, Maria? Kenapa kau melepasnya?”

Masih tak ada jawaban.

“Kenapa Maria?”

Fallev sudah tak dapat menahan rasa penasarannya. Barangkali ia bisa mengerti jika Maria hanya melepas semua perhiasan yang diberinya. Dalam pikirnya, Maria bisa saja bosan walaupun perhiasan yang dimilikinya sudah tak terhitung lagi banyaknya. Toh, ia pun tahu, Maria berhias hanya untuk dirinya saja.

Namun cincin adalah soal lain. Bukankah cincin itu adalah cincin perkawinan mereka, yang menjadi tanda satu ikatan suci yang telah mereka ikrarkan bersama dulu? Maka selama ikatan itu belum terlepas, cincin itu haruslah tetap melingkar di jari-jari mereka, pikir Fallev. Cincin itu harus selalu dipakai, di mana pun dan kapan pun.

Fallev mengambil kotak perhiasan Maria. Dicari-carinya cincin pernikahan itu. Maria hanya memandangi apa yang diperbuat suaminya.

“Mengapa tak kau pakai cincin ini, Maria?” ujar Fallev setelah berhasil mendapatkan cincin Maria. “Kau sedang menyimpannya?”

Maria menggeleng.

“Lalu?”

Maria menghela napas dalam-dalam.

“Aku susah sekali menjelaskannya kepadamu, Fallev,” ungkap Maria pada akhirnya.

“Ceritakanlah kepadaku, Maria. Apa yang kau sembunyikan dariku?” Ketaksabaran Fallev kembali muncul.
Agak lama Maria memandangi wajah Fallev.

“Aku bosan, Fallev.”

“Bosan? Apa maksud kata-katamu, Maria?”

Tak segera menjawab, Maria justru memejamkan matanya agak lama. Lantas ia berujar.

“Sudahlah, Fallev. Aku tak ingin merusak hangatnya suasana kepulanganmu...”

“Tapi, Maria,” potong Fallev.

“Aku berjanji akan mengungkapkan isi hatiku kepadamu, namun tak sekarang. Akan kusiapkan air hangat untukmu mandi, sekaligus aku siapkan makan malam untuk kita. Kau sekarang istirahatlah!” ujar Maria sambil mengusap kedua kelopak matanya, menghapus air mata yang tersisa.

Maria bergegas turun ke dapur. Fallev memandangi punggung Maria. Sejenak ia ingin melepas kepenatannya. Ia termenung. Benar juga kata Maria. Jika pembicaraan itu terus berlanjut, tentu suasana kepulangannya tak lagi mesra. Kepulangan dirinya, yang dalam benaknya pasti akan sangat membahagiakan, jangan sampai justru menjadi sebuah pertengkaran.

Fallev akhirnya rebah, sebelum ia teringat, ia belum membereskan keretanya. Ia segera bangkit, berjalan dengan riang dan bergumam membanggakan dirinya, bahwa ia sungguh-sungguh beruntung memiliki kuda-kuda yang pintar. Ia tak cemas kudanya akan lari dan menghilang.  Kuda-kudanya telah terlatih untuk kembali ke kandangnya, meski kuda memang tak dapat melepas sendiri tali yang mengekangnya. Ah, dasar kuda! Gumam Fallev, lagi-lagi tersenyum penuh kebanggaan.

Fallev segera membereskan kereta dagangnya. Ia tak mau berlama-lama kali ini. Biasanya ia suka berlama-lama mengurus kuda-kudanya. Kuda putih memang cantik, begitulah pikirnya. Namun, kini ia sangat lelah. Dan juga, ia tak mau membiarkan Maria menunggunya lebih lama lagi setelah kepergiannya. Maria tentu akan jenuh.

Fallev bersiul-siul, sangat bahagia rupanya. Keuntungan yang besar, ketahanan dan kesehatan diri yang prima, serta kesetiaan seorang istri yang rela menunggunya lama, dirasakannya sebagai satu anugerah yang tak ternilai. Fallev merasakan bahwa Tuhan sangat menyayanginya, sangat dekat dengannya, bahkan sangat memanjakannya.

“Tuhan begitu baik padaku,” gumamnya.

Tak terasa, Fallev bernyanyi-nyanyi. Ia melihat kelelawar-kelelawar yang beterbangan. Kelepak-kelepak sayap mereka dirasakan Fallev sebagai satu tanda kehidupan yang riang dan harmonis. Sangat sempurna.

“Hai kelelawar, kau ingin berpesta juga rupanya. Berapa banyak rizki dari Tuhan yang kau dapat hari ini?” kata Fallev sambil terkekeh.

Ia berjingkat-jingkat menuju ke dalam. Didapatinya Maria telah selesai menyiapkan air panas untuknya mandi. Kini ia tengah memasak.

“Masak apa kau malam ini, Maria?”

“Aku tak punya persediaan makanan yang bermacam-macam, Fallev. Aku kira kau masih lama akan tiba. Jadi aku....”

“Dengan uang yang kita miliki, bukankah kau dapat membeli apapun yang kau inginkan?” potong Fallev.

“Ya, Fallev. Tapi aku sedang tak ingin saja. Hari-hari belakangan ini aku malas keluar rumah. Maka, malam ini kita buka dan nikmati makanan kaleng saja,” ujar Maria. “Maafkan aku, Fallev.”

“Tak apa. Kita bisa menunda pesta untuk sementara. Masih banyak waktu.”

“Sekarang mandilah! Aku sudah siapkan air panas untukmu. Aku juga telah siapkan baju untukmu.”

“Terima kasih, Maria.”

Fallev menuju kamar mandi, diiringi tatapan mata Maria.

Maria meneruskan menyiapkan makan malam. Sebenarnya ia tak enak hati kepada Fallev. Ia tak dapat menyajikan makanan yang bervariasi untuk suaminya. Ia hanya dapat memberinya makanan kaleng, sungguh menyedihkan walaupun ia masih dapat menyajikan anggur kesukaan Fallev.

Setelah semuanya siap, Maria segera mempersiapkan meja makan yang selama kepergian Fallev hampir tak pernah disentuhnya selain untuk membersihkannya saja. Ia ingin suasana yang sempurna untuk makan malamnya nanti. Ia memilih taplak meja yang lembut berwarna merah. Di tengah-tengah meja Maria meletakkan vas bunga yang terbuat dari kristal. Tak lupa Maria menaruh lilin-lilin kecil di sekelilingnya. Ia memang menginginkan suasana yang tak terlalu terang, hanya remang-remang.

“Yah, cukuplah. Kuharap suasana seperti ini sangat baik untuk berbincang.”

close