Kesunyian Maria, Bagian 1

Sampul Novel Fallev dan Maria




Lama sekali Maria mematung di depan jendela berlapis perunggu kamarnya. Di luar hujan masih turun dengan gerimis. Sesekali ia melongok ke luar jendela, dibiarkannya rintik-rintik hujan menyapu wajahnya. Sementara irama denting air hujan yang menimpa genteng rumahnya, menyatu dengan detak jantungnya yang berdebar-debar menantikan kedatangan Fallev. Remang-remang senja semakin mendekap kesunyian Maria.

“Fallev, bukankah kau telah berjanji tak akan membiarkanku lama menunggu?” dia berbisik, kemudian berbalik dan berjalan menapaki lantai marmer kamarnya yang luas. Kakinya yang semakin lemah membawanya menuju cermin besar di sudut kamarnya.

Maria duduk di kursi rias berukir bunga-bunga yang terbuat dari gading. Di depan cermin berlapis perak itu, Maria dapat melihat bayangan sekujur tubuhnya.

“Oh, apakah aku harus membiarkan wajahku semakin keriput tanpa ada satu hal pun yang dapat kukerjakan selain menunggu?” Maria meraba wajahnya. Kecemasan mulai merayap di dadanya, dan semakin menjadi saat matanya menangkap bayangan rambutnya, “Rambutku pun mulai bertambah putih hari demi hari. Oh, Fallev, terkutuk kau membiarkanku tersiksa seperti ini!”

Maria berlari dan membanting tubuhnya di kasur. Terisak-isak ia menangis. Di kamar yang luas itu, tak terdengar apa pun selain isak tangis Maria dan bunyi air hujan yang turun semakin deras.

“Fallev, apakah kau masih berarti bagiku? Bukankah tak ada saat aku membutuhkanmu sama artinya dengan tak berarti?”

Kesepian dan kesunyian adalah problem terbesar Maria. Pot-pot porselen, lampu-lampu kristal, ukir-ukiran dari kayu cemara, batu-batu permata, serta butir-butir berlian yang terpasang dengan cermat dan sangat rapi di lemari-lemari kamar itu, sedikit pun tak mampu menghibur Maria. Taman-taman bunga dengan air mancur yang senantiasa mengalir membasahi bunga-bunga itu, juga tak dapat menghibur hati Maria.

Kemewahan-kemewahan itulah yang dirasakan oleh Maria sebagai penambah kesepian saja, yang justru semakin memperburuk kekosongan batin Maria. Kesemuanya hanya nampak indah saat mata ingin memandang, tetapi sedikit pun tak dapat berbuat apa-apa. Mereka tak mampu tersenyum atau tertawa saat Maria bahagia. Mereka tak mampu bermuram durja atau menangis saat Maria bersedih. Atau saat Maria sekadar membutuhkan teman berbincang, mereka hanya terdiam dalam bisu.

Kadang Maria menyesalkan mengapa ia menurut saja kemauan Fallev hidup sendirian, membangun kebahagiaan hanya berdua saja. Dalam benak Maria, alangkah indahnya membangun satu rumah tangga bersama Fallev, bertumpu pada satu cinta dan janji yang telah diucapkan mereka berdua. Bukankah sangat indah ketika salah satu dari Fallev atau Maria terserang demam, kemudian salah satu dari mereka dengan setia menemani dan menjaga hingga kesembuhannya? Bukankah sangat manis ketika Maria tengah dilanda kecemasan dan ketakutan yang amat sangat lantas Fallev mendekat dan memeluknya hingga terlelap dan hilang semua kecemasan dan ketakutannya? Bukankah mereka dapat menjelma menjadi satu keluarga yang sangat bahagia ketika mereka berdua dapat memasak bersama, sarapan pagi, makan siang, dan merancang sebuah makan malam yang romantis setiap harinya? Kemudian, keindahan-keindahan dan kebahagiaan itu semakin lengkaplah dengan kelahiran seorang putra yang dapat menyejukkan mata. Begitulah yang terbayang di benak Maria dahulu.

Sebenarnya dulu bisa saja Maria membawa Liesha, gadis kecil yang penurut untuk membantu kesibukan rumah tangganya. Menurutnya tak ada yang akan berkeberatan jika Maria menginginkan hal itu. Ayah dan ibu Maria tak akan mungkin melarangnya, pembantu di rumah sudah cukup untuk membereskan segala keperluannya. Sedangkan Marie, ibu Liesha, yang telah mengabdikan hidupnya untuk membantu keluarga Maria, tentu juga dengan senang hati melepasnya, dan justru permintaan itu akan menjadi satu kebanggaan baginya.

Namun Fallev tak menginginkannya. Entahlah, apa yang diangankan Fallev saat itu. Sekarang keadaan telah cukup jelas. Maria kini menyadari bahwa keputusannya mengiyakan permintaan Fallev saat itu adalah satu keputusan bodoh. Mungkin tidak bagi Fallev, tapi bagi Maria sendiri, keputusan itu sekarang dirasakannya sangatlah buruk.

Maria mencoba terpejam. Ia menarik selimut tebal untuk menutup seluruh tubuhnya, dan menyembunyikan wajahnya, seolah ingin sejenak menghapus segala beban pikirannya. “Aku tak ‘kan biarkan otakku berpikir tentangmu terus-menerus, Fallev,” pikirnya.

Hujan belum juga mereda. Kilat-kilat cahaya menyilet langit dengan sesekali disertai petir yang memekakkan, membenamkan Maria ke dalam tidurnya yang lelap, meninggalkan segala kebosanan yang telah mencapai titik tertinggi di dada Maria.

Sementara beberapa kilometer dari ranjang Maria, pada tanah-tanah yang basah, terdengarlah tapak-tapak dua ekor kuda putih yang berjalan cepat menarik kereta. Dua buah garis yang lurus sejajar telah terlukis.

Di atas kereta, seorang lelaki bertopi lebar melecut-lecutkan cambuk seiring teriakannya yang bersemangat. Raut wajahnya dapat mengatakan, bahwa ia sungguh-sungguh tak sabar. Di belakang tempat ia duduk memacu kereta, peti-peti yang dibawanya semuanya telah kosong.

Ia tersenyum penuh kemenangan. Ia merasa menjadi orang yang sungguh paling beruntung. Senja yang berwarna buram, sangat bertolak dengan suasana hatinya yang cerah dan berbunga. Derasnya hujan pun baginya sangat sejalan dengan anugrah yang didapatkannya.

Lelaki itu semakin mempercepat laju keretanya. Ia kembali tersenyum, semakin lebar. Kini ia dapat melihat atap istananya. “Aku segera sampai, Maria. Aku sudah sangat rindu untuk segera mendekapmu. Baik-baik sajakah kau, Maria?” teriaknya. Lelaki itu, tak lain adalah Fallev, yang telah sangat dinanti Maria.

Ia menghentikan laju keretanya, menarik napas dalam-dalam dan merentangkan kedua tangannya. Ia menatap langit, “Akulah orang terhebat di dunia! Tak ada yang mampu menandingi aku!”

Ia meloncat turun dari keretanya, membiarkan dua kuda putihnya yang telah dengan sendirinya berjalan menuju kandang mereka. Sedangkan perkara menurunkan peti-peti dan menyimpan keretanya, bisa belakangan, pikir Fallev. Segera dengan langkah-langkah lebar ia berlari menapaki pekarangan rumahnya. Ia sama sekali tak peduli sepatunya akan basah dan kotor.

“Maria...!” teriak Fallev memanggil istrinya.

Sekali lagi. Rumah itu terlalu luas dan sunyi. Tak ada jawaban. Fallev melemparkan topi lebarnya ke sofa.

“Maria? Hm, mungkin ia sedang tertidur.”

Fallev segera naik menyusuri tangga yang berputar menuju kamarnya.

“Maria, kau tak menyambut kedatanganku?”

Pintu kamar itu tertutup. Perlahan Fallev membukanya pintu berukir bunga-bunga itu. Ia tersenyum, dan berjingkat mendapati istrinya yang berselimut. Ia duduk di samping Maria, menyibakkan pelan-pelan selimut yang menutup wajah Maria. “Maria, kau tak berubah...”

Fallev meraba saku mantelnya, mengambil sesuatu yang ingin ia berikan kepada istrinya, sebuah kalung emas.

“Maria, lihat apa yang aku bawakan untukmu!”

Dengan hati-hati Fallev memasang kalung itu di leher Maria. Diusapnya kening Maria, lalu menciumnya. Sesaat kemudian mata Maria terbuka. Ia terbangun.

“Fallev?” Maria bangkit. Ia tak dapat menahan kegembiraan menyadari Fallev telah berada di hadapannya. Dipeluknya Fallev.

“Fallev, aku kira kau lupa jalan pulang, aku sempat menyangka kau tak ‘kan kembali lagi,” ucap Maria di sela isak tangisnya yang tersisa.

Bersambung ke bagian 2 klik di sini....
close