Kerumunan Kucing dan Tercabutnya Rahmat



Arsip Artikel

Disebabkan agak mengalami sedikit gangguan pada penglihatan saya, secara tak sengaja saya telah melindas kerumunan kucing yang sedang bercengkrama dengan induknya. Pada malam hari, dalam penglihatan saya kerumunan kucing yang seluruhnya berwarna hitam itu hanyalah gumpalan kain-kain kotor berwarna hitam gelap, atau mirip-mirip kantong-kantong plastik yang berserakan. Beruntung dari kurang lebih lima ekor kucing itu, satu pun tak ada yang mati atau pun terluka.
Namun, kucing-kucing itu sempat mengerang dan pontang-panting melarikan diri. Saya tak sanggup membayangkan betapa ngerinya jika kucing-kucing itu berdarah-darah. Agak merinding juga saya waktu itu. Apalagi saya termasuk seorang yang agak phobia terhadap kucing, walau tidak sampai pada taraf yang sungguh parah.

Tak lama anak-anak kucing itu telah menghampiri induknya, dan kembali mereka berkerumun. Saya sempat tersenyum saat menyadari bahwa sang induk ternyata menatap saya terus. Diiringi suara mengeong-ngeong, matanya yang tajam itu terlihat begitu menakutkan berkilat-kilat diterpa sinar bulan yang tak terlalu terang. Saya mengartikan tatapan mata itu seolah-olah merupakan suatu bentuk kewaspadaan atas kemungkinan akan adanya sinyal ancaman selanjutnya. Sang induk telah berada dalam posisi siaga melakukan penjagaan dan perlindungan terhadap anak-anaknya.
Yang tebersit di benak saya waktu itu, betapa hangat dan kuatnya naluri kasih sayang yang telah ditiupkan oleh Tuhan kepada makhluk hitam ini. Saya lantas teringat sebuah kalimat yang manis, “Bahwa segalak-galak induk gorila sekalipun, ia akan tetap menyayangi anaknya. Apalagi kucing, binatang yang begitu jinak dan paling dekat dengan manusia.”
Melihat keadaan itu, saya tertegun. Terus terang saya agak risau, tak habis pikir, bahwa ternyata binatang bisa lebih sayang kepada anaknya dibandingkan manusia yang memiliki akal budi. Bukankah kita sering melihat dan mendengar bagaimana seorang ibu telah sanggup membuang atau membunuh bayinya yang sama sekali luput dari dosa?
Pangkal persoalannya pun beragam. Yang sering kita dapati misalnya, hanya dikarenakan bayi tersebut merupakan hasil dari hubungan yang tidak sah dan kemudian hal itu dianggap sebagai sebuah aib yang mesti cepat-cepat dilenyapkan. Atau hal itu berawal dari sebuah ketakutan para orang tua tidak dapat menghidupi anaknya karena kesulitan ekonomi, yang lantas dengan picik akhirnya mengambil jalan pintas untuk menghabisi anaknya, dan sebagainya. Ada apa dengan manusia, para ibu itu?
Mengenai hal ini, saya kemudian sering berbincang-bincang dengan beberapa rekan, mengapa manusia bisa separah itu? Jawab dari rekan-rekan saya bun bervariasi. Namun, ada sebuah penjelasan yang betul-betul mengena diri saya –dan ternyata diam-diam saya setujui di kemudian waktu -, bahwa hal itu lebih disebabkan telah tercabutnya rahmat dari Tuhan kepada manusia.
Rahmat itu, dalam penjelasan rekan saya, sesungguhnya merupakan sebagian dari sifat Rahman Rahim Tuhan yang tak terbatas, yang kemudian ditiupkan kepada manusia dan kepada seluruh makhluk. Lebih jelas ia mencontohkan, saat seorang ibu melahirkan, pada saat itulah di dalam hatinya tengah dibaluri cahaya rahmat sehingga ia begitu mencintai bayinya, meneteskan air mata saat memandang wajah anaknya, atau terharu dan tersenyum bahagia saat mendengar tangis anaknya. Karena rahmat itu pula, ia bahkan akan sanggup mengorbankan apa saja. Andai pun ia harus memilih, ia akan memilih bayinya selamat daripada dirinya sendiri yang tetap bertahan hidup.
Kemudian yang menjadi persoalan, jika benar hal itulah yang sedang terjadi, maka patutlah kita bertanya. “Sebenarnya dosa apakah yang telah diperbuat oleh manusia? Dan telah sebegitu parahnyakah dosa yang telah diperbuat hingga menyebabkan tercabutnya rahmat Tuhan dalam diri manusia?”
Rasa-rasanya kita perlu merenungkannya lagi dan lagi. Saya khawatir jika suatu saat nanti di muka bumi ini benar-benar akan terjadi sebuah kehidupan yang sama sekali tak ada lagi kasih-sayang di antara sesama manusia. Ya, disebabkan pandangan rahmat dari Tuhan telah nyata terhapus, lenyap tak berbekas. [] 
M. Rifan Fajrin
close