Mendidik dengan Hati

Arsip Artikel
Ribuan calon intelektual muda bersaing masuk ke jenjang pendidikan tinggi lewat jalur-jalur penerimaan mahasiswa baru yang telah dirancang sedemikian rupa, setiap tahun, sehingga setiap kali selalu diperlukan proses seleksi dari masing-masing universitas/institusi pendidikan tinggi yang dituju dengan ketat untuk menjamin mutu. Begitu pun, pada setiap tahunnya, ribuan intelektual diwisuda dan telah siap pakai dalam berbagai ranah pekerjaan atau disiplin ilmu. Pertanyaan yang sama selalu berulang: dari kenyataan tentang banyaknya orang-orang pandai itu, mengapa hingga kini Indonesia masih saja belum mampu bangkit dari keterpurukan?
 Meski disadari, amat susah mengindikasi penyakit apa yang tengah diderita bangsa ini, dan bagaimana cara penyembuhannya. Sebab, setiap sektor: politik, ekonomi, sosial, hankam, dlsb, rupanya mengalami luka yang sungguh-sungguh parah dan tentu perlu dilakukan perbaikan dengan segera. Masing-masing dengan karakteristiknya, latar belakang, dan pokok persoalan yang berbeda-beda pula, bahkan masalah di satu bidang kadang merembet ke bidang yang lainnya, memerlukan penanganan yang berbeda-beda pula. Rumit jadinya.
Persoalan-persoalan itu sebenarnya telah didiskusikan, dianalisis, dan dicari penyelesaiannya, dalam proses perkuliahan, seminar-seminar, oleh para cerdik cendekia itu sendiri dan tak jarang akan secara langsung mendatangkan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Dengan idealisme, moralitas sekaligus rasionalitas yang telah mapan, kemudian muncullah teori-teori aplikatif. Sekali lagi, rasa-rasanya, terbukalah masalah-masalah yang kompleks itu.
Namun, konon, disebabkan oleh sistem – yang memang terlanjur rusak dan susah diperbaiki – teori-teori yang sungguh aplikatif itu nyatanya tak selalu pas dengan realitas objektif di lapangan, sehingga tak bisa diterapkan oleh para cendekia itu. Idealisme yang terjaga dan terawat, pada akhirnya harus mengalah pada sistem (yang telah rusak itu!).
Maka kiranya tak berlebihan jika kemudian muncul kembali gagasan penerapan corak pemikiran pendidikan yang mengarah pada “kesalehan” setiap individu pelaku pendidikan itu sendiri. Satu pemikiran pendidikan yang mampu menanamkan idealisme yang kuat, menjaga moralitas, namun tak pula mengabaikan sisi intelektualitas.
Corak pemikiran pendidikan yang berkembang dan banyak dianut, progresivisme dan esensialisme, tak menyinggung tentang itu. Aliran Progresivisme – yang dipelopori oleh John Dewey – menyatakan bahwa sentral pendidikan adalah pikiran dan kecerdasan. Pikiran dan kecerdasan inilah yang merupakan motor penggerak dan penentu ke arah kemajuan sekaligus penuntun bagi subyek untuk mampu menghayati dan menjalankan suatu program. Dengan demikian, aliran progresivisme menitikberatkan pada aspek kecerdasan.
Sedangkan aliran esensialisme menyatakan bahwa materi (bahan pengajaran) itulah yang menentukan dan memantapkan pikiran serta kecerdasan manusia. Materi adalah sesuatu yang menjadi unsur-unsur yang hakiki dalam sebuah perkembangan peradaban dan kebudayaan.
Adapun corak pemikiran pendidikan yang dimaksud adalah corak pendidikan (ala) pesantren yang digagas dan diterapkan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari, peletak kerangka dasar pendirian Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia saat ini. KH. M. Hasyim Asy’ari dalam memberi perlakuan pada peserta didik berusaha mengedepankan pemikiran bahwa dalam menghadapi segala persoalan hendaknya dimulai dari paradigma normatif yang bersumbu pada pada titik sentral ketuhanan.
Paradigma ini diasumsikan akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan secara tuntas dan tidak menimbulkan spekulasi yang berkepanjangan. Dimensi ketuhanan hendaknya mampu  menjelma pada partikulasi-partikulasi, terutama, perilaku sosial, sehingga secara keseluruhan menunjukkan satu bingkaian yang utuh. Tampaknya KH. Hasyim Asy’ari berkeyakinan bahwa orang yang mampu menunjukkan integritas ketuhanan dalam berperilaku sosial adalah makhluk Tuhan yang terbaik.
Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari menyiratkan sebuah pengertian bahwa yang menjadi sentral pendidikan adalah hati. Penekanan pada hati inilah yang dengan sendirinya membedakan diri dari corak progresivisme dan esensialisme. Perbedaan ini dimungkinkan karena ketidaksamaan titik pandang dalam memahami manusia. Baik aliran progresivisme maupun esensialisme, sama-sama mendasarkan pandangannya pada penelitian-penelitian yang bersifat fisik empiris. Sedangkan KH. M. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa substansi manusia bukan terletak pada unsur fisiknya, tetapi pada hatinya.
Dengan demikian, tugas pendidik tidak hanya mencerdaskan pikiran – sebagaimana aliran progresivisme – atau menyiapkan bahan pengajaran yang baik – sebagaimana aliran esensialisme – melainkan juga pada bagaimana membimbing, mengarahkan, dan menuntun hati agar dekat dengan Tuhannya. Jadi bagaimana membentuk orang-orang yang shaleh dalam perspektif Tuhan, Tuhan dalam sesuatu yang dipahaminya.
Dewasa ini, isu yang sangat menggelisahkan yang melanda para guru di sekolah-sekolah dan di universitas, tentang degradasi moral para peserta didik dan bahkan para pendidik itu sendiri, kemudian memunculkan visi dari institusi pendidikan itu untuk tangguh dalam imtaq (iman dan taqwa) apa pun agama yang dianut pelaku pendidikan, sekaligus unggul dalam iptek dan prestasi. []
close