Sosok Misterius


Arsip Cerpen
Ada gemuruh. Langit kian kelabu. Petir dan guntur memekik. Kilatan-kilatan cahaya yang sejenak, sesekali membuat langit kelihatan sedikit cerah. Lantas kelabu lagi. Bahkan menjadi kian kelabu. Sore menjelang malam. Matahari tertutup awan hitam. Hujan turun deras sekali. Air dari langit bagaikan tertumpah ke atas bumi. Rintik-rintik, kuasanya Sang Pencipta hujan. Ranting-ranting, daun-daun bergoyang tertimpa air itu, disertai angin yang kian menderu. Kencang sekali. 

Sebatang pohon tua roboh seketika pada jarak beberapa kilometer di sana.
“Tuhan!”
Petir turun lagi. Saling bertabrakan benda-benda langit satu sama lain. Menghasilkan kilatan-kilatan cahaya. Disusul bunyi-bunyian nan memekakkan telinga. Menghujam turun ke bumi. Sampai di sebelah rumah-rumah, gubuk-gubuk di pematang-pematang sawah, gedung-gedung dan pohon-pohon yang tinggi, dimanapun tempat tinggal manusia. Menimbulkan ketakutan, kekalutan.
Ira mengintip di balik tirai jendela. Sebentar kemudian berlari ke kamarnya. Di dalam rumahnya yang luas itu. Sambil menutup mulut mungilnya. Membanting pintu keras-keras, beradu dengan suara derasnya hujan. Isak tangisnya tak terdengar. Oleh siapapun, kecuali dirinya sendiri. Serta Teddy yang ada di sampingnya, namun sedikitpun benda itu tidak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya diam ketika isak tangis Ira semakin pilu, pecah, dan berteriak serak.
Telephon di ruang tengah berdering. Seseorang menanti di seberang sana.
Ira masih bergeming di dalam kamarnya. Masih juga bersama Teddy, tercenung.
Telephon terus berdering. Tapi tak juga terdengar oleh siapapun. Kemudian telephon itu tak berdering lagi.
Sementara di dalam kamar itu, Ira masih tercenung. Ia tidak berani memejamkan matanya. Ira takut dirinya akan terbawa menuju dunia yang tidak dikenalinya lagi. Seperti yang dialaminya pada dua malam terakhirnya. Di dalamnya ia bahkan tidak tahu ia berada di mana saat itu, terlintas pun tidak. Sendirian. Seperti orang asing di negeri yang asing pula. Ia takut seakan tidak bisa kembali lagi. Sementara hari mulai merangkak gelap, sebentar lagi malam akan kembali datang. Sedangkan di luarpun hujan tak kunjung mereda. Ira semakin bergetar. Namun matanya perlahan-lahan mengatup pula.


Ira tersentak. Sekujur badannya berkeringat. Napasnya tersengal, ditambah lagi wajah yang pucat, serta suhu tubuh meningkat, hangat. Namun kemudian terucap dari mulut mungilnya, ”Alhamdulillah, syukur hanya sebuah mimpi, bunga tidur.” lirih sekali. Dipeluknya Teddy.
Namun, suara-suara yang memekakkan telinga itu, masih terngiang-ngiang di telinga, sangat mengusik. Jerit tangis bayi, ibu-ibu memanggil, suara-suara sumbang, sementara terdengar suara terbahak-bahak di seberang sana, culas, licik. Sekelebat bayangan melintas secepat kilat. Samar-samar, kemudian melintas pelan, satu lagi menyusul. Ira menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya. Namun suara-suara itu malah semakin mengusik, berisik. Ira menggigil. Bibirnya menggeretak. Ira memejamkan matanya, berharap ia dapat meneruskan tidurnya. Sia-sia belaka. Ira tidak dapat tidur kembali. Dadanya semakin terasa sesak.
Jam dinding kuno di ruang tengah kembali berdentang. Sembilan kali. Di luar angin bertiup menyeret daun-daun yang berserakan, basah. Dahan-dahan kering. Cahaya bulan, perlahan-lahan merayap mengintip di sela-sela kesunyian malam. Ira semakin bergetar. Kembali ia berjalan ke depan jendela kamarnya. Menyingkap tirai kamarnya itu, kemudian ia memekik lagi. Sekelebat bayangan hitam itu kembali muncul. Berdiri mematung, tegak tepat di bawah pohon cemara tak jauh di sebelah rumahnya. Lebih dekat pada pagar pembatas rumah Ira yang luas. Ira mendesah. Degup jantungnya semakin cepat berdetak. Saling menunggu, belum ada reaksi di antara mereka, seperti kemarin-kemarin, dua malam yang lalu. Yang ada hanya tawa dan sepenggal tangis, ketakutan yang mengguncang.
Ira teringat kepada sosok lelaki misterius. Yang datang hanya di malam hari, dan menghilang menjelang pagi. Apa benar dia memang ada, tak ada yang tahu. Namun, kondisinya sekarang jelas Ira mulai percaya. Walau demikian tidak ada yang tahu -- memang misterius-- tentang dia. Dan sejauh ini hanya terdengar sosok lelaki misterius tersebut, tanpa disertai adanya berita yang mengguncang. Di Koran-koran, majalah-majalah tentang kegaiban, mitos, televisi, radio, atau dari omongan orang-orang.  Jahatkah ia? Atau sebaliknya? Tak ada yang tahu. Tak seorang pun mengerti. Demikian pula Ira.
Ira mengambil HP-nya yang tergeletak di meja. Ditekannya nomor-nomornya, terdengarlah suara tut-tut-tut di telinganya. Sementara di seberang sana, Hp ibunya berdering pelan disertai sedikit getaran.  Namun, tak juga segera diangkat. Sementara dada Ira semakin berguncang. Ketika dilihatnya lelaki misterius melompati dinding pagar pembatas rumahnya, melalui pohon cemara yang licin basah karena air hujan yang rintik-rintik. Dengan sedikit panik Ira kembali menekan nomor-nomor di HP-nya, tapi tetap tidak ada jawaban dari ibunya di seberang sana. Ira tidak putus asa, ia segera mengalihkan ke nomor ayahnya. Barangkali sekarang akan ada jawaban dari ayahnya. Tetapi ternyata kembali Ira harus kecewa. Setelah sekian lama Ira menunggu, tidak ada jawaban dari ayahnya. Ira tidak tahu apa yang harus ia perbuat lagi.
Sementara sosok lelaki misterius semakin mendekat. Ira berlari ke kamar ayah dan ibunya, sambil berharap tiba-tiba saja ayah dan ibunya telah berada di dalam kamarnya. Tapi kamar ibunya tetap saja kosong, hanya sebuah ranjang yang terbungkus rapi dan bersih. Dua buah bantal, sebuah guling, dan sehelai selimut tebal. Sementara tirai jendela kamar ibunya tersingkap. Ira segera berlari kembali, ia tidak ingin bayangan sosok lelaki misterius itu dilihatnya kembali.
Ira terduduk di ruang tengah. Di rumahnya yang luas, di setiap sisinya terdapat sebuah jendela yang besar, hanya terhalang oleh sebuah kaca yang sama besarnya dengan jendela tersebut. Ira memeluk kedua lututnya. Matanya memandang ke sekeliling, ke setiap sisi rumahnya yang luas. Kembali ia tersentak. Di setiap penjuru rumahnya itu, di setiap sisi, di setiap jendela yang dilihatnya, sosok lelaki misterius berdiri mematung. Tak lama berselang, dengan sendirinya, tak ada yang menyentuhnya, pintu rumahnya terbuka. Semilirnya angin basah malam hari masuk melalui celah tersebut. Ira semakin menggigil. Cahaya bulan yang redup juga memaksa menerobos masuk. Ira menjerit. Terkulai lemas. Di dalam kamarnya Teddy tidak mampu berbuat apa-apa ketika sosok lelaki misterius menculik Ira ke dunia yang tak dikenali Ira. Sedangkan tubuh Ira masih terdampar di sofa di ruang tengah. Bergeming.

Sementara di seberang sana, ayah dan ibu Ira sedang berpesta dengan pasangannya masing-masing. Terlarut dalam panasnya pesta dunia. Ketika mereka sampai di rumah, barulah mereka merasa telah berbuat dosa yang amat besar. Ibunya menjerit, meratap, dan sebentar kemudian pun lemas terkulai. Sedangkan ayahnya Ira terduduk dan tertunduk. Sedikitpun ia tidak mungkin bisa menyalahkan Teddy yang tidak kuasa berbuat apapun untuk menolong Ira, buah hatinya. []
close