Pertobatan Parmin

rifanfajrin.com


Dari sebuah bilik kamar yang cukup sederhana, sayup-sayup terdengar desah nafas yang terputus-putus, suara seorang lelaki yang sedang mengaji dengan nada yang tak beraturan, terbata-bata, dan seringkali tersendat dan berhenti. Jika ada orang yang cermat menyimaknya, dan kebetulan juga tahu artinya, lelaki itu berhenti pada tempat-tempat yang tidak pas, baik pada pemenggalan kata atau kalimatnya. Harakat fathah, kasrah, tanwin, dan sebagainya pun juga terbaca masih sering keliru daripada betulnya. Namun demikian, sangat bisa dirasakan kesungguhan hati lelaki yang membaca ayat-ayat Quran itu.

Setelah selesai membaca ayat, lelaki itu pun menyempatkan diri membaca terjemahnya. Dan tidak seperti halnya ketika membaca ayat, dalam membaca terjemah, lelaki itu sangat lancar.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh aku termasuk orang muslim.” (Al-Ahqaf: 15)

Setelah selesai, dengan penuh adab lelaki itu menutup mushafnya pelan, menciumnya agak lama dengan mata sedikit terpejam, kemudian meletakkannya di atas lemari pakaiannya. Lelaki itu tak lain dan tak bukan adalah Parmin.

Sungguh! Siapapun tak pernah menyangka, bahwa di usianya yang hampir kepala empat, Parmin berubah begitu frontal. Kehidupan yang semrawut: sekujur badan penuh tato bunga-bunga, tengkorak, wajah atau body perempuan telanjang, hingga tato anjing, mulai dari kaki, punggung, hingga leher; rambut berantakan; berulang-kali keluar-masuk bui; tak pernah punya penghasilan tetap, kecuali hanya sebagai tukang palak, juga preman jalanan; saban hari nenggak ciu, pil koplo, main perempuan; ternyata bisa juga dia berubah jadi orang alim. Sungguh-sungguh subhanallah!

Belum jelas apa sebabnya. Namun, bagi orang-orang yang rindukan ketenangan, tentu, apapun sebab-musababnya, mereka tak mau terlalu ambil pusing. Kejadian langka ini patut disyukuri. Terutama bagi ibunya Parmin, Mak Paini, yang sampai menangis antara percaya dan tidak percaya. Yang jelas Mak Paini dan juga semua orang menyambutnya dengan sangat bahagia. Jika ada yang tak bahagia, pastilah bala kurawanya Parmin yang jadi merasa kecut sebab kekuatannya anjlok.

Walaupun memang masih ada juga perasaan was-was di benak orang-orang, masih ada keraguan, kalau-kalau Parmin belum benar-benar tobat. Jangan-jangan Parmin cuma tobat sementara. Cuma kamuflase! Wah, ini yang namanya bahaya laten! Artinya suatu saat Parmin bisa saja kembali jadi bajingan!

Hingga kejadian ini menjadi perbincangan yang meluas seantero kampung, Parmin sendiri belum memberikan konfirmasi atau keterangan apa pun perihal perubahannya itu. Ia belum menggelar konferensi pers, istilah canggihnya, seperti yang dilakukan artis-artis. Parmin masih saja bungkam. Ada satu-dua yang bilang, semua itu gara-gara polisi sekarang lagi gencar-gencarnya razia preman yang selama ini dianggap cukup meresahkan. Siapapun memang sudah mafhum jika ditanya bagaimana kekurangajaran Parmin. Maka, sangat mungkin bagi Parmin kalau situasi itu cukup membuatnya gelisah. Jadilah ia memilih tobat, berhenti jadi preman.

Tapi opini publik yang paling santer berhembus, pertobatan Parmin itu bukan lantaran razia preman. Melainkan telah terjadi pengalaman spiritual dalam diri Parminlah yang membuatnya berubah. Mak Paini yang dianggap paling tahu luar dalam tentang Parmin menuturkan, dua hari sebelum pendeklarasian pertobatan Parmin, pada dini hari yang sepi Parmin menangis dan berlutut di kakinya. Terang saja Mak Paini yang sedang meniup tungku hendak membuat api untuk masak bubur, kaget campur heran atas kejadian yang tak disangkanya itu.

“Kamu ini ada apa to, kok pagi-pagi begini nangis keras-keras?”
“Ampuni Parmin, Mak. Huu huu huu…”
“Iya, tapi ada apa?”
“Huu huu huu… Saya ngimpi ketemu Bapak, Mak. Terus Bapak marah-marah. Huu huu huu.”
“Lha kenapa marah?”
“Bapak bilang, ‘Kamu sudah tua, Parmin! Tapi masih suka bergurau seperti bocah bayi! Lihat ibumu yang payah memberimu makan saban hari!’ begitu kata Bapak, Mak,” Parmin tersengal-sengal.
Oalah to Le, Le. Bapakmu bilang begitu?”
“Iya, Mak. Malah kalau Parmin tak segera tobat, Parmin bisa masuk neraka, katanya. Aduh mati aku, Mak, Bapak bilang tidak mau menolong jika benar kejadiannya begitu!”

Emak cuma terbengong-bengong, termenung dan mengelus-elus tengkuk Parmin yang tampak kusam dengan tato kepala anjing.

“Makanya, Min, mulai sekarang kamu mesti jadi orang bener...”
Parmin terus menangis.
“Tapi, gimana nanti orang-orang?”
“Nggak usah dipikirin!”
***

Sebagaimana Hittler yang menjadi tenar sebab menjagal ribuan nyawa, ternyata memang tidak melulu orang baik-baik saja yang bisa terkenal, bajingan tengik macam Parmin juga bisa kondang meski levelnya masih antarkampung. Karena kebrengsekannya, Parmin menjadi banyak dipergunjingkan orang. Malah jika dipikir-pikir, mendadak Parmin justru menjelma mirip-mirip selebritis yang memainkan peran-peran antagonis. Ia dibenci, tapi sekaligus dicari-cari. Diam-diam banyak juga lho yang penasaran ingin lihat tampangnya si Parmin.

Tidak dulu tidak sekarang, bukan Parmin namanya kalau tidak bikin sensasi, selalu membuat heboh orang-orang. Setelah membuat heboh dengan pertobatannya itu, kini Parmin menggemparkan seisi kampung dengan mengutarakan niatnya ingin pergi haji bersama ibunya, Mak Paini.

Dimin yang pertama kali tahu keinginan Parmin, sebab Parmin sendiri yang langsung mengutarakan niatnya itu kepadanya, dengan cepat membagi hot gossip itu kepada orang-orang. Hasilnya tak usah ditanya, di mana-mana orang – kecuali anak-anak yang memang belum cukup umur dan juga belum cukup mengerti akan hitam-putih kehidupan – membicarakannya, baik anak-anak muda lelaki dan perempuan, bapak-bapak, dan tak ketinggalan ibu-ibu. Dan dasar isi kepala orang memang berbeda, ada-ada saja yang mereka perbincangkan meski tetap satu tema, niat Parmin untuk naik haji.

“Parmin mau naik haji? Apa tidak salah dengar?”
“Benar! Orang dia sendiri yang bilang kok! Dan aku belum tuli, tau?!” sahut Dimin mangkel tapi sekaligus bersemangat. Sebab, ibarat wartawan ia merasa telah menulis headline, laporan utama.
“Aneh-aneh saja si Parmin. Naik haji kan juga perlu ongkos. Lha terus dari mana ongkos kalau dia cuma pengangguran begitu?”
“Ah, mungkin dia punya tabungan.”
“Tabungan dari mana? Dari sisa nyopet dulu?”
“Hush! Awas kedengaran si Parmin nyahok kamu!”

Parmin sendiri juga tidak terlalu menggubris ocehan orang-orang. Ia tak menanggapi serius aduan dari Dimin yang cerita soal tanggapan orang-orang itu. Tak seperti dulu yang bawaannya marah-marah melulu, Parmin sekarang terlihat lebih santai. Ia hanya senyum-senyum saja. Dalam hati ia membatin, toh tidak ada yang tahu, bahwa ia telah menyiapkan kotak khusus untuk menyisihkan uang demi keperluan naik haji, dan benda itu tidak boleh diganggu gugat untuk kepentingan apa pun maupun kondisi bagaimana pun juga! Setiap hari kotak itu selalu diisinya, meski tidak seberapa rupiah yang dimasukkannya. Namun, Parmin rupanya sudah terlanjur sangat percaya pada perkataan Ustad Mansur tentang kesaktian Tuhan yang sangat mungkin dengan kuasa-Nya mudah saja melipatgandakan uangnya menjadi berpuluh-puluh, beratus-ratus, atau beribu-ribu kali lipat, bahkan sekehendak-Nya.
“Sudahlah, Kang. Biarkan saja. Niat itu ada dalam hati kok.”

Sebenarnya bukan seratus persen salah Parmin yang rasan-rasan ke Dimin soal naik haji itu. Tapi memang niat soal sesuatu yang masih baru rencana sebaiknya jangan cepat-cepat disiarkan secara luas, begitulah nasihat Rasul.

“Lha sekarang, kalau ditanya mau dengan apa kamu naik haji, bagaimana? Naik haji itu ongkosnya mahal lho, Min. O-En-Ha sekarang naik. Tidak cukup tiga puluh juta! Kalau kamu berdua sama emakmu, hitung saja biaya yang musti kau keluarkan!” cerocos Dimin.
“Aku juga sedang berusaha kok, Kang,” kata Parmin santai. “Setidaknya kalau memang mentok tidak bisa, aku sudah punya niat! Dan niat baik itu kata Ustad Mansur sudah berpahala lho, Kang!”
“Iya, iya. Aku juga tahu! Tapi bagaimana jika ditanya seperti tadi? Aku kan bingung menjawabnya? Mana aku yang jadi tempat konfirmasi!” gerutu Dimin.
“Salah sendiri bilang-bilang.”
“Lha kan kamu sendiri yang ngomong ke aku?” protes Dimin.
“Iya, tapi waktu itu aku kan ngomong ke sampeyan, jangan disebar ke orang-orang, bisa ribut mereka nanti!”
***

Berita keinginan Parmin untuk naik haji itu akhirnya sampai juga ke telinga Ustad Mansur. Ia menjadi agak-agak merasa bersalah. Bagaimana pun ustad kan juga manusia. Ia merasa sedikit tidak enak kepada Parmin yang lama-lama – karena memang sifatnya sekarang yang tidak terlalu cepat terbawa emosi dan lebih sering tersenyum saja – orang semakin berani mengoloknya, atau lebih tepatnya mengolok niat Parmin untuk naik haji. Padahal dulu pas jadi preman, tidak banyak yang berani sama Parmin. Termasuk Ustad Mansur yang sedikit enggan juga untuk sekadar mendekati Parmin, apalagi mengajaknya kepada ketaatan.

Sejak Parmin bertobat, memang Ustad Mansurlah yang paling sering menasihatinya perihal kewajiban beragama. Beliau yang memperbarui syahadat Parmin, menekankan pentingnya salat lima waktu ke Parmin, menganjurkan kepada Parmin untuk menyisihkan rizki untuk berzakat, dan mewanti-wanti agar jangan sampai meninggalkan puasa Ramadhan. Dan entahlah, apa mungkin karena kesempatan, aji mumpung, atau memang karena skenario dari Tuhan yang memang dirancang seperti itu – yang mana Parmin kebetulan masih mau belajar agama, sebelum dia bosan – Ustad Mansur gigih menyemangati dan menjejali otak Parmin dengan macam-macam ibadah.

“Dan dengan menunaikan haji ke tanah suci berarti telah menyempurnakan agama, Min!” ucapnya waktu itu. Tak disangkanya, ucapan itu begitu membekas di relung hati Parmin yang diam-diam begitu berhasrat untuk menunaikannya.

Satu hal yang membuat Ustad Mansur sedikit bisa bernafas lega adalah usia Parmin yang kini telah genap empat puluh tahun, bahkan lebih sedikit beberapa bulan.

“Berapa umurmu sekarang?” tanya Ustad Mansur suatu ketika.
“Empat puluh jalan, Ustad,” jawab Parmin tanpa tahu maksud Ustad Mansur menanyakan hal itu kepadanya.
Alhamdulillah,” sahut Ustad Mansur dengan tersenyum.

Ustad Mansur sangat lega mendengar jawaban Parmin. Sebab, ia masih meyakini, bahwa seseorang yang di usia empat puluh tahun berhasil mendapatkan hidayah, maka sejatinya itu adalah tanda-tanda bahwa ia akan selamat, berakhir baik, khusnul khatimah. Selanjutnya, kehidupan yang dijalaninya adalah kehidupan yang baik, memperbanyak amal, dan meminimalisir kemungkaran. Sebaliknya, seseorang yang hingga usia empat puluh tahunnya masih saja berkubang dalam lumpur dosa, maka itu adalah tanda-tanda bahwa ia akan berakhir buruk, suul khatimah. Dan Parmin dalam analisis Ustad Mansur adalah tipe orang yang pertama.
***

Sikap Parmin sih berubah begitu frontal, menjadi tidak garang lagi. Barangkali itu salah satu alasan di samping ketakjelasan mengenai apa pekerjaannya sekarang, menjadikan orang-orang semakin ngawur saja menggunjing Parmin. Dan siapa yang patut disalahkan jika akhirnya bahaya laten itu benar-benar menyeruak, Parmin kembali menjadi sampah? Siapa pula yang paling menyesal?

Kejadian yang sangat patut disesalkan itu bermula ketika seperti biasa Dimin sedang nongkrong-nongkrong bersama orang-orang. Seperti biasa pula, mereka membicarakan perkembangan Parmin. Aneh memang, topik mengenai Parmin memang tak pernah basi sepertinya.

“Eh, usut punya usut ternyata Parmin benar-benar sungguh-sungguh ingin pergi haji. Setiap hari ia menyisihkan uangnya dalam satu kotak khusus yang ditulisi H-A-J-I T-I-K-E-T S-U-R-G-A. Subhanallah!

“Iya, tapi masalahnya tetap sama, dari mana uang itu? Apa mungkin duduk-duduk saja di masjid bisa menghasilkan uang?”
“Uang bisa turun dari langit kali?”
“Eh, tapi kan Mak Paini jualan bubur?”
“Lho itu kan Mak Paini? Siapa yang pernah melihat Parmin ikut jualan? Tidak ada kan?”
“Ya ya ya.”
“Jangan-jangan Parmin sudah dikasih mantra oleh Ustad Mansur.”
“Ah! Ustad Mansur juga nggak kaya-kaya amat, kok!”
“Tapi hajinya sudah tiga kali, tau?!”
“Iya, tapi buat Parmin mungkin beda. Apa jangan-jangan Parmin memalak orang lagi dengan cara yang lebih halus?”
“Maksudmu ngemis?”
That’s right! Betul!”
“Ah, mana mungkin, ah! Orang Parmin sudah tobat kok.”
“Tobat ya tobat. Tapi niat jadi orang baik dengan kondisi tak pernah punya uang, sedangkan ia sudah terlanjur biasa cari uang tanpa susah, menurutmu apa itu tidak logis?”
“Iya, ya. Hahaha!”

Tawa riuh terdengar.

“Awas! Hati-hati! Kalau kedengaran Parmin bisa nyahok kita!
“Ah, Parmin sekarang lemah lembut, kok!”
“Hahaha!”
“Kayak putri Solo!”
“Hahaha!”
“Hahaha!”
“Kok putri Solo? Memangnya Parmin perempuan?”
“Habis lembut sih.”
“Hahaha!”
“Hahaha!”

Tawa riuh kembali terdengar.

Tapi gerumbulan laki-laki rumpi itu mendadak menjadi hening sejenak dan selanjutnya kocar-kacir berantakan ketika secara tiba-tiba Parmin menggasak kepala-kepala mereka dengan balok kayu, memukulinya tanpa ampun. Dengan menyingsingkan lengan bajunya, hingga memperlihatkan tato ular naga di sepanjang lengannya, sangat bernafsu Parmin mengayunkan balok itu.

“Setan kalian!”
“Ampun!”
“Sorry, Min! Janji nggak ngolok lagi!”
“Aaah!!!” Parmin semakin kalap saja menghajar kepala-kepala dan badan yang telah basah oleh darah itu.

Mak Paini adalah orang yang paling merana mendengar kabar penganiayaan itu. Dan itu diperparah lagi dengan kembalinya Parmin menjadi brengsek. Parmin minggat, sebab menurutnya jadi orang baik ternyata sama saja susah! Ia sudah melupakan sama sekali pertemuan dengan bapaknya dalam mimpi. Barangkali pula karena memang razia preman sudah tidak terlalu digalakkan lagi. Dan kini justru tersiar kabar kalau ia malah makin dihormati oleh anak buahnya dulu.

Walhasil, dalam perkembangan selanjutnya, Mak Paini menjadi orang yang paling murung di kampung itu. Ia menjadi sering menangis karena ingat anaknya, Parmin. Ia juga selalu menangis ketika membaca Quran, sebab ia hanya bisa membaca terjemahan saja, dan selalu yang ia baca adalah terjemahan Quran surat Al-Ahqaf ayat 15, ayat favorit yang sering dibaca Parmin. Mak Paini sungguh menyesal, bahwa Parmin yang beberapa saat lalu membahagiakan hatinya dengan sungguh-sungguh berniat berbakti kepadanya, selalu menghibur dan bahkan mengajaknya naik haji, kini malah minggat tanpa sempat ia mencoba menyadarkannya kembali. Namun, Mak Paini bisa berbuat apa? Bahkan siapa yang patut disalahkan pun ia tak tahu.

Setelah Mak Paini, tentu saja yang paling menyesal adalah Ustad Mansur. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala menyadari keadaan. Setidaknya ia memperoleh pelajaran bahwa usia empat puluh bukanlah pakem mutlak yang menentukan akhir hayat seseorang seperti yang selama ini diyakininya. Juga pelajaran soal kehati-hatian membimbing seseorang. Ia benar-benar menyesal dan tak yakin dirinya bisa membimbing dan menasihati Parmin lagi. Diam-diam Ustad Mansur merasa takut jika suatu saat berhadapan muka dengan Parmin, jangan-jangan Parmin sangat membencinya! Wah bisa gawat! Kalau lagi tobat sih ia berani, ustad kan juga manusia.[]


Ambarawa pada 7 Agustus 2009
Cerpen ini dimuat di Nuansa edisi 125/XXI/2009
close