Ikatan Hati

Ilustrasi Cerpen Ikatan Hati
Sebagai seorang perempuan aku kadang merasa iri kepada Rini, adikku. Atau kepada teman-teman perempuanku yang lain. Aku perhatikan sepertinya mereka sungguh bahagia ketika dapat merasakan kedekatan dan keakraban bersama seorang bapak. Mereka dapat dengan gembira bercanda dan bergurau, seakan tidak ada jarak sama sekali dengan bapak-bapak mereka. Mereka dapat dengan bebas mengungkapkan segala isi di hatinya kepada bapak. Sedangkan aku? Aku merasakan hal yang sebaliknya terhadap bapak. Aku merasa tidak ada kedekatan sama sekali dengan bapak. Bapakku, artinya hanyalah sebagai bapak kandungku saja.
Aku memang tahu, aku adalah anak kandung bapak. Aku tak ragu bahwa aku berasal dari benih yang ditanam oleh bapak di rahim ibu. Tapi mengapa aku sering merasa canggung berdekatan dengan bapak? Jika kami sedang menonton televisi bersama di ruang tengah, maka baik bapak atau aku sama-sama diam. Tidak ada perbincangan sama sekali. Hanya tawa kecil saja yang tercipta manakala ada sesuatu yang lucu di televisi. Seperti itu pula kejadiannya di meja makan. Hanya ketika ibu datang menyertai kami, atau adik perempuanku Rini yang ikut serta, maka suasana menjadi sedikit cair. Namun tetap saja obrolan antara aku dengan bapak amat sangat jarang terjadi.


Entah mengapa? Jujur aku mendambakan hubungan antara bapak dan anak seperti halnya anak-anak lainnya, yang kadang bercanda, menceritakan keluh kesah, atau sekadar memijiti bapak ketika sedang letih sambil bercerita tentang apa saja: berbagai hal yang dapat dilakukan oleh Rini terhadap bapak. Aku kadang juga bertanya, apa yang salah padaku? Jika Rini sering memijit bapak, maka aku pun demikian. Rini sering membuatkan minum untuk bapak, aku juga demikian. Rini sering mencucikan baju-baju dan pakaian kami sekeluarga, aku juga. Lantas mengapa aku begitu susah terbuka kepada bapak? Tidak seperti Rini?

Aku sungguh-sungguh sedih. Hingga menjelang aku menginjak bangku kuliah, aku masih merasakan ada gap dengan bapak. Jarang sekali bapak memberikan nasehat kepadaku untuk dapat menjaga diri baik-baik di rantau saat jauh dari orang tua. Jarang pula bapak menanyakan bagaimana kesiapanku, atau sekadar bertanya jurusan apa yang hendak aku ambil yang berkaitan dengan cita-citaku di masa depan. Seolah-olah bapak membiarkan aku sendiri memilih jalan yang mesti aku tempuh. Dan hal ini aku rasakan bukan sebagai kebebasan untuk memilih, namun justeru sebagai sikap bapak yang kurang memperhatikanku. Aku sungguh sedih. Aku tidak puas jika bapak hanya menanggung seluruh biaya dan uang saku selama aku kuliah. Namun lebih dari itu, aku ingin bapak juga memperhatikan masalah yang lain, tidak melulu hanya memberi uang.
Benarlah, hingga akhirnya aku diterima di suatu universitas di Semarang di Fakultas Ekonomi. Menjelang hari-hari keberangkatanku, aku terus menunggu kata-kata nasehat dari bapak. Namun, ternyata justeru ibulah yang sering memberi nasehat, yang mewanti-wanti aku untuk bisa menjaga diri, atau senantiasa menjaga kewajiban salat lima waktu, tadarus Al-Quran setiap hari, dan selalu mendoakan semua yang ada di rumah: bapak, ibu, dan juga adikku Rini.
Akhirnya tiga hari sebelum hari pertama masuk kuliah, aku berangkat ke Semarang karena besok memang ada Technical Meeting Ospek bagi mahasiswa baru. Aku mencium tangan bapak dengan penuh haru. Sedangkan tangan bapak yang kasar hanya mengelus kepalaku pelan dan lembut. Dari bibirnya hanya terucap: “Hati-hati, Nduk.” Sedangkan ibu, seperti biasanya selalu berpesan kepadaku macam-macam, sampai detil. Dan beliau pun sempat bilang: “Jaga diri kamu baik-baik, Nduk! Anak gadis mesti pandai menjaga diri. Kalau uang sakumu menipis segera pulang!” Aku hanya mengangguk dan akhirnya aku pergi dengan disertai tatapan orang-orang yang paling kucintai di dunia ini.
***
Hari ini, Sabtu, dua hari sebelum hari pertama masuk kuliah. Aku sebagai mahasiswa baru wajib mengikuti Technical Meeting untuk Ospek besok Senin. Semacam masa orientasi atau pengenalan terhadap lingkungan sekitar kampus, namun kadang justeru digunakan oleh para senior untuk menggojlok mahasiswa baru.
Maka tidak heran bila mahasiswa baru harus rela bermalu-malu, memakai topi dari bekas bola plastik yang dibelah dua, wajah coreng-moreng, sampai rambut (kecuali yang berjilbab, tentu saja) mesti dikepang kecil-kecil dengan tali rafia yang berwarna-warni. Selain atribut yang melekat pada badan, ada juga atribut-atribut lainnya yang wajib dibawa oleh mahasiswa baru: kardus bekas yang disulap menjadi tas punggung yang cantik, tongkat dari ranting-ranting pohon yang telah dihaluskan sebagai bendera, kaleng berisi kelereng atau kacang hijau untuk digunakan dalam lomba yel antar fakultas, dan sebagainya.
Pagi-pagi aku berangkat dari kos ke kampus dengan berjalan kaki. Letak kosku dengan kampus memang tidak terlalu jauh. Aku hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di kampus. Selain itu aku memang lebih senang berjalan kaki, sambil menikmati rindangnya lingkungan sekitar kampus.
Sesampainya di kampus aku segera bergabung dengan teman-teman di Fakultas Ekonomi. Oleh para senior kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Kami lantas berlatih lagu-lagu mars fakultas, juga berlatih yel-yel yang akan diadu dengan fakultas lain besok Senin. Kami berlatih dengan bersemangat. Selain itu seharian ini kami diajak berkeliling dan mendapatkan pengenalan-pengenalan lain tentang Fakultas Ekonomi.
***
Selepas salat zuhur ketika kami sedang istirahat saat tiba-tiba hp-ku bergetar. Ada pesan baru yang masuk. Dari Rini.
Mbak Ratih, bapak mau ke tempat Mbak. Pagi-pagi sekali beliau berangkat. Jadi kira-kira sampai di sana siang atau menjelang sore.
Aku melirik jam. Sudah hampir jam setengah dua. Aku tercekat. Perjalanan dari Brebes ke Semarang kurang lebih memakan waktu lima sampai enam jam. Jika bapak berangkat pagi-pagi, berarti saat ini bapak telah agak lama sampai di Semarang! Aku lantas berkeliling mencari-cari bapak.
Setelah lelah berkeliling menyusuri seluruh Fakultas Ekonomi, aku belum juga berhasil menemukan bapak. Entah mengapa aku kurang yakin dapat menemukan bapak, atau barangkali aku kurang yakin bapak dapat menemukan aku. Selama ini bapak jarang berkomunikasi dengan aku. Atau, mungkinkah bapak pergi ke kosku? Ah, rasanya tidak mungkin, aku dulu mencari kos sendirian saja, tidak bersama bapak.
Aku bingung dan ingin marah. Tetapi marah kepada siapa? Aku serba salah. Aku lantas mencoba menenangkan diri. Aku mengirim sms kepada Rini.
Rin, apa bapak sudah tahu kalau aku di Fakultas Ekonomi? Sebenarnya bapak mau ngapain sih?
Tak lama Rini membalas: Wah aku nggak tahu, bapak ngerti atau tidak, Mbak. Kata Ibu, bapak mau nyusul membawakan sesuatu milik Mbak Ratih yang ketinggalan.
Aku membaca sms Rini dengan perasaan tak menentu. Bagaimana mungkin bapak yang tidak tahu alamatku hendak menyusul dan menyampaikan sesuatu yang tertinggal? Ah seandainya bapak bisa memakai hp. Dengan setengah emosi dan putus asa aku lantas mengirim sms kepada Rini.
Kamu sih, kenapa bapak ke sini nggak dianter!? Kalau bapak kesasar bagaimana? Sekarang mbak tanya, dimana mbak harus nyari bapak? Dan gimana caranya mbak menghubungi bapak? Menemukan bapak?!!!
Terkirim. Huft.
Hening.
Ada sedikit sesal menggayuti perasaanku setelah mengirim pesan itu kepada Rini. Mengapa aku memarahi Rini? Adikku yang baru kelas dua SMA, yang tidak tahu apa-apa? Namun terlanjur, sms itu sudah terkirim. Dan tampaknya Rini tidak membalas.
Aku lantas terisak. Bulir-bulir air mata yang hangat merembes membasahi pipiku. Aku merasa sebagai orang yang paling bersalah: kepada bapak, dan kepada adikku. Aku lantas berkata, “Ya Rabb, tolong perbaiki hubunganku dengan kedua orang tuaku, terutama kepada bapak. Kuatkanlah ikatan batin di antara kami. Amin.”
Aku lantas berjalan pulang ke kos. Aku sudah tidak peduli lagi dengan seruan kakak senior yang mewajibkan kami para mahasiswa baru untuk berkumpul lagi selepas istirahat. Yang ada di dalam pikiranku adalah bagaimana aku dapat menemukan bapak.
Sesampainya di kos, aku langsung menuju ke warung sebelah. Perutku terasa lapar sekali. Aku baru sadar, aku belum makan hari ini. Pikiranku memang terus terbawa kepada bapak, jadi lupa makan.
Aku langsung memesan satu nasi bungkus dengan sayur kangkung dan kacang panjang, ditambah tempe goreng dua. Tiba-tiba mata aku menangkap sebuah tas yang mirip punya ibu. Tapi, ah, aku segera membuang jauh-jauh pikiran itu. Memangnya tas seperti itu cuma milik ibuku saja? Seolah terlupa dengan masalah yang sedang aku hadapi, aku tersenyum sendirian.
Rupanya ibu pemilik warung – yang juga merupakan adik dari ibu kosku – melihat aku tertarik memperhatikan tas itu. Kemudian dengan tidak aku sangka ia bertanya, “Mbak namanya Ratih ya? Yang dari Brebes itu?”
Aku mengangguk. Lho, kok tau? Ibu ini hebat sekali, baru kemarin melihatku, dia sudah titen kalau aku kos di sebelah. Kemudian ibu itu tersenyum dan lantas bercerita, “Tadi ada seorang bapak nitip tas itu ke sini. Dia berpesan, ‘Pokoknya diberikan kepada Ratih yang dari Brebes,’ katanya. Eh, ternyata kamu orangnya”.
“Sekarang bapak itu dimana, Bu?”
“Wah, nggak tau. Tapi kayaknya dia langsung pulang lagi ke Brebes. Takut kemaleman katanya. Itu tasnya langsung diambil saja, Mbak.”
Aku lantas mengambil tas milik ibu dan mengucapkan terima kasih kepada ibu pemilik warung.
Ya ampuuun! Entah perasaan apa yang sedang aku rasakan. Sedih karena tidak dapat bertemu dengan bapak, senang saat mengetahui bapak selamat sampai di Semarang, perasaan kasihan pada bapak yang pasti letih karena perjalanan yang cukup jauh seharian, kecewa aku tidak bisa menemui bapak, atau rasa penasaran dengan apa yang dibawakan bapak untukku. Semua bercampur jadi satu mengaduk-aduk perasaanku. Namun yang jelas, pada saat itu aku merasakan bahwa perasaan batin bapak begitu kuat. Seolah-olah bapak tahu kalau aku pasti, pasti, dan pasti: akan mampir ke warung tersebut.
Aku mengucap syukur, rupanya doaku didengar oleh Dzat Yang Maha Mendengar. Seketika aku bergumam, aku harus segera mengirim sms ke Rini untuk menyampaikan maafku dan terima kasihku padanya, dan untuk disampaikan pula kepada bapak, tentu saja.
Aku lantas membuka tas itu untuk melihat apa isinya. Ohhh... Ternyata bapak membawakan Al-Quran milikku yang tertinggal. Namun, aku sempat juga tersenyum saat melihat topi dari bola plastik yang dibelah dua, turut pula berada di dalamnya. []
close