Gadis Pelangi

Ilustrasi Cerpen


Gadis kecil memandang ke langit; dan kemudian ia berkata, “Alangkah indahnya langit, aku ingin ke sana. Apakah aku bisa berjalan-jalan di sana?”

Gadis itu lantas menghampiri ibunya. ”Ibu, jalan apa yang dilalui bidadari-bidadari yang cantik itu ketika turun ke bumi, seperti yang Ibu ceritakan setiap malam?”

Ibunya menjawab, ”Bidadari-bidadari itu meniti pelangi, sayang.”

”Oh, apakah pelangi itu, Bu?”
”Pelangi itu jalan yang indah berwarna-warni, yang menghubungkan langit dan bumi.”

”Apakah aku bisa melihatnya, Bu?”
”Tentu saja kamu bisa melihatnya.”

”Kapan?” tanya gadis kecil itu dengan mata berbinar-binar.
”Beberapa saat setelah hujan turun dari langit.”



Gadis kecil itu melonjak kegirangan. Ia tiada henti tersenyum. Ia lalu mencium pipi ibunya, ”Terima kasih, Ibu.” Kemudian ia pun melangkah ke luar.


Gadis kecil itu duduk di taman, ditemani ratusan kupu-kupu yang berkejaran dan ada yang hinggap di bunga. Sambil tersenyum ia masih memandang ke langit. Namun, sebenarnya ia sedang menantikan hujan yang menghadirkan pelangi.

”Langit, kapan hujan akan turun? Aku ingin menghampirimu dengan meniti pelangi.”

Seekor kupu-kupu hinggap di pita merah jambu yang mengikat rambut lurus sepanjang punggung gadis kecil itu. ”Oh, kupu-kupu yang cantik. Bagaimana engkau tahu perasaan yang ada di hatiku? Engkau akan mengajakku terbang ke langit, bukan? Sayang sekali, aku tidak bisa terbang, kupu-kupu. Aku tidak punya sayap seperti dirimu. Namun kita bisa berkejaran di langit sana setelah hujan turun. Terbanglah ke langit, nanti aku akan menyusulmu setelah hujan turun.”

Kupu-kupu yang indah itu pun terbang kembali. Sedangkan gadis kecil itu masih saja tersenyum memandang langit yang masih terlihat cerah membiru. Lama sekali ia memandang ke awang-awang. Gadis kecil itu terhanyut dalam khayalan-khayalannya. Khayalan-khayalan yang membuat dunia dirasakannya menjadi begitu indah. Hingga tak dihiraukannya seruan ibunya yang memanggilnya untuk makan dan lantas tidur siang.

”Sayang, masuklah. Makan siang dahulu lantas tidurlah.”

Gadis kecil itu tetap bergeming. Akhirnya ibu yang baik itu terpaksa menghampirinya dan menyuapinya. Di tengah makan siangnya, gadis kecil itu berhenti mengunyah.

“Ibu, mengapa hujan tidak mau turun?”

”Hujan baru akan turun jika kau telah menghabiskan makanmu, sayang.”

”Benarkan, Ibu?”

”Iya, sayang. Tanyakanlah pada kupu-kupu yang terbang itu.”

Lalu gadis itu berdiri, lantas ia berteriak kepada kupu-kupu yang berwarna-warni itu.

”Hai, kupu-kupu. Apakah hujan akan turun setelah aku selesai makan siang?”

Kupu-kupu yang pemalu. Mereka tidak menjawab pertanyaan gadis kecil itu. Hanya gerakan-gerakan mereka yang meliuk-liuk dengan ceria, bertaburan bersama bunga-bungan dan juga daun-daun kecil yang kering dan perlahan-lahan terjatuh, seolah-olah hendak berkata: ”benarlah kata ibu.”

”Apakah engkau mendengar suara mereka, sayang?”

”Mereka berkata apa, Ibu?”

Sambil melirihkan suaranya, berlagak seperti seseorang yang berteriak menyampaikan kabar kepada seseorang lain yang berdiri jauh di sana, ibu yang lembut itu berucap, ”Benar, hujan sebentar lagi akan turun. Cepat habiskan makanmu!”

”Mereka berkata seperti itu, Ibu?”

Ibu yang penyayang itu mengangguk. Dan gadis itu pun tersenyum. Ia lantas menganggukkan kepalanya saat ibunya memberi isyarat dan bersiap memasukkan sesendok nasi ke mulut mungilnya itu kembali.

”Nah, tunggulah! Hujan sebentar lagi akan turun.”

”Oh, alangkah senangnya!”

”Nah, marilah kita masuk. Tunggulah di dalam sambil tidur siang.”

”Tidak, Bu. Aku ingin di sini menunggu hujan turun.”

”Kau nanti akan basah, sayang.”

”Tidak apa-apa, Bu. Aku ingin melihat pelangi.”

”Oh.”

Ibu yang sabar itu tersenyum, berusaha memahami keinginan putri kesayangannya itu. Namun ketika dilihatnya langit masih terlihat cerah, ia lantas memeluk putrinya. Diusapnya rambut panjang putrinya.

”Maukah kau mendengarkan ibu bercerita sambil tiduran dan menunggu hujan yang turun dari langit?”

”Tidak! Aku akan menunggu di sini saja. Ibu, mengapa hujan lama sekali turun?”

”Mungkin para bidadari di langit sana sedang tidur siang, sayang.”

Gadis kecil itu terdiam. Kekecewaan terlihat sekali pada raut wajahnya yang jelita. Ia sudah tidak sabar rupanya menantikan hujan yang akan mengantarkan pelangi kepadanya.

”Ibu, kapan hujan akan turun dari langit?” tanyanya kembali.

Gadis kecil itu hanya terdiam, saat tangan lembut ibunya menggandengnya menuju ke dalam rumah. Pikirannya berkecamuk, hingga ia tak mendengar sama sekali saat ibunya berbisik kepadanya, ”tunggulah hingga sore hari. Mungkin hujan mau turun.”

***

Benarlah kata ibu. Saat gadis kecil itu mulai terlelap dibuai cerita ibunya, perlahan langit makin mendung. Lantas bulir-bulir air hujan pun mulai turun membasahi permukaan bumi. Dalam sekejap hujan deras pun tercipta. Angin yang awalnya bertiup perlahan-lahan mulai mengencang menebarkan hawa dingin. Jendela-jendela terhempas menghantam kusen-kusennya.

Gadis kecil itu tersentak.

”Ibu! Hujan telah turun! Oh!”

Gadis kecil itu menghampiri jendela. Wajahnya yang jelita basah diterpa oleh dingin butir air hujan yang terbawa angin. Namun, ia tersenyum. Ibunya yang memperhatikannya lantas menghampirinya. Berdua mereka menatap pekarangan yang tersapu hujan. Bunga-bunga bergoyang, dan rumput-rumput hijau yang lembut bernyanyi.

”Ibu, apakah aku dapat melihat pelangi?”

”Tunggulah hingga hujan reda.”

”Kapan hujan akan reda, Ibu?”

”Sebentar lagi, sayang. Mari kita tidur hingga hujan berhenti. Ibu akan membangunkanmu jika langit telah kembali cerah.”

”Ibu berjanji akan membangunkan aku?”

”Iya, ibu janji.”

Gadis kecil itu kembali beringsut dan merebahkan badannya kembali ke kasur. Ibunya yang mencintainya itu lantas menata bantal untuk putrinya, dan memasangkan selimut ke tubuh mungilnya.

”Pejamkanlah matamu, sayang! Jangan lupa berdoa.”

Gadis kecil itu perlahan-lahan memejamkan matanya setelah sempat ia berkata kepada ibunya, ”Ibu, aku ingin meniti pelangi.” Sedangkan bibirnya yang mungil berulas senyum.

Jendela tertutup.

***

Hujan deras tak kunjung reda. Sore hingga menjelang malam, langit masih tampak gelap. Dari rumah-rumah, lampu-lampu pun mulai dinyalakan.

”Ibu...uu. Mengapa ibu tidak membangunkanku? Apakah hujan telah reda?”

Gadis kecil itu menghampiri jendela. Dibukanya jendela dan ia lantas melongok menyapukan pandangan ke luar. Raut wajahnya perlahan menjadi murung.

”Oh, mengapa hujan tak kunjung reda? Kapankah aku dapat menjumpai dan meniti pelangi?” gumamnya.

”Ibu...uu. Dimanakah ibu?”

Saat melihat ibunya tergopoh-gopoh menghampirinya gadis kecil itu berkata, ”Ibu, apakah Ibu telah menjumpai pelangi?”

”Oh, pelangi tak datang malam hari, sayang.”

”Ibu, aku ingin melihat pelangi,” ia merajuk.

”Iya, ibu mengerti. Ibu mengerti,” kata ibunya sambil memeluknya erat sekali.[]
Buat bidadari2 kecilku: Amara, Adinda, Fida

Kamar Berisik, tahun baru
close