Perjanjian Rahasia, Bagian 7 [TAMAT]
rifanfajrin.com - Perjanjian Rahasia, Bagian 7 [TAMAT]
Baca Sambungan Cerita Sebelumnya: Perjanjian Rahasia, Bagian 6
------------------------------------------------------------------------------
Perjanjian Rahasia, Bagian 7 [TAMAT]
Mereka terus menasihati Diana, perempuan yang menggendong bayi itu. Mereka
hanya tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Diana. Bagaimana mereka akan
tahu, sedangkan Diana hanya diam saja.
“Apa yang membuatmu bersedih dan berlinang air mata, Diana?”
“Kalian
hanya tak tahu apa yang sebenarnya sedang kupikirkan,” sahut Diana.
“Katakan,
Diana, apa yang kau pikirkan? Agar kami bisa membantumu.”
“Kau
tak bahagia, Diana?”
“Ketahuilah,
saudaraku! Aku bahagia, sangat bahagia. Dan aku tak pernah menyesali perbuatan
ini. Aku hanya khawatir saja…”
“Apa
yang membuatmu khawatir?” potong mereka.
“Aku
hanya khawatir jika pada saatnya nanti ternyata kita tak dapat menepati
permintaan Yang Mulia Ferluci Vagin!”
“Jangan
berpikir terlalu jauh, Diana. Yang terpenting sekarang kita telah terlepas dari
belenggu yang menjerat kita selama bertahun-tahun, bahkan sejak nenek moyang
kita!”
“Maka hal
itulah yang sedang kupikirkan,” jawab Diana, semakin membingungkan. “Aku sedang
berpikir bagaimanakah caranya agar kesenangan dan kebahagiaan itu selamanya ada
untuk kita.”
“Bukankah
Yang Mulia Ferluci telah menjanjikan kesenangan yang abadi untuk kita?”
“Tidakkah
kalian ingat, bahwa Ferluci pun menginginkan keabadian, maka adakah sesuatu
yang abadi?” tanyanya. “Begitu pun kebahagiaan kita, tak akan abadi.”
“Kau
jangan berpikir macam-macam, Diana!” sergah seorang pemuda dengan nada jengkel.
“Kau
sangat bodoh!” balas Diana. “Justru aku sedang memikirkan bagaimana agar
kebahagiaan itu terus mengalir pada kita dan seluruh keturunan kita!”
“Bagaimanakah
caranya? Tunjukkanlah segera kepada kami!” tantang mereka.
Tak
ada perbincangan setelahnya. Mereka sama-sama terdiam. Dan mereka menyadarinya,
menyadari sesuatu yang kurang mengenakkan di tengah-tengah kabar gembira yang
sesaat lalu hadir pada mereka.
“Baiklah,”
kata Diana pada akhirnya, dengan mata berbinar dan senyum mengembang, memecah
keheningan, “aku telah temukan caranya!”
“Lekas
beri tahukan kepada kami!”
“Baik.
Sebelumnya aku ingin bertanya pada kalian, sanggupkah kalian mengingat cara
ini, menjaganya agar tidak lupa?”
Mereka
saling memandang sebentar, kemudian saling menganggukkan kepala.
“Ya,
kita sama-sama mengerti bahwa kita memiliki ingatan yang kuat, Diana!”
“Baiklah.
Ingatkah kalian, bahwa Ferluci pun menginginkan keabadian yang olehnya kita
wajib menjaga keabadian itu. Untuk itu dalam perjanjian yang telah terucap, dia
menginginkan seorang keturunan dari kita kelak pada saatnya tiba. Aku yakin,
bahwa meski kita tak pernah menyesali perjanjian itu, tetapi jauh di dalam hati
kita selamanya tak akan pernah rela jika di antara penerus kita harus ada
penebus! Dialah Harits, si anak emas!”
“Ya ya
ya, kami mengerti. Lantas bagaimana selanjutnya?”
Diana terdiam sejenak. Lalu ucapnya, “Ingatkah
kalian, bahwa Harits akan lahir dari rahim Maria! Ia adalah benih yang ditanam
oleh Fallev! Maka mulai saat ini, ingatlah, bahwa jangan sampai kita menamai
anak-anak kita dengan nama-nama itu! Mulai detik ini, tanamkan dalam benak
kita, haramlah nama Fallev dan Maria bagi keturunan kita, sebab merekalah yang
akan melahirkan Harits! Jangan sampai dari keturunan kita terlahir seorang anak
yang bernama Harits! Lebih baik nama itu lenyap dari muka bumi ini daripada ia
harus menderita sebagai pengekal Ferluci Vagin!”
“Baiklah,
kami semuanya telah mengerti dan memahami!”
“Baiklah,
jika demikian aku akan tenang dan bersyukur. Namun, aku masih saja khawatir
jika apa yang kita rencanakan ini terlupakan seiring berjalannya waktu yang
bergulir semakin cepat ini!” katanya lirih.
Matahari semakin meninggi
ketika rombongan itu telah mulai menatap kampung mereka yang kini berkilauan bahkan
dari kejauhan, dan rumah-rumah yang megah telah berdiri kokoh di atasnya.
Sementara awan-awan yang putih bersih telah terhias di langit biru untuk memayungi
mereka, sebagai penyambut kedatangan dari bukit keabadian.
[TAMAT]
Ucapan Terima Kasih
___
Banyak terima kasih untuk:
Allah
Swt,
untuk segala pemberian-Nya yang sempurna padaku;
Kedua
orangtuaku,
untuk dukungan dan cinta sepanjang
waktu; saudaraku, Rifai dan Yunita, untuk semangatnya;
Sherly,
kau begitu percaya padaku;
sobat-sobatku, Bang Kadir, Muqsith, dan
semuanya, yang menyempatkan diri berbagi imajinasi dan khayalan;
Arif
Zed,
yang menjadikan wajah buku ini begitu indah;
Yuni
F,
untuk pinjamannya;