Perjanjian Rahasia, Bagian 6

rifanfajrin.com - Perjanjian Rahasia, Bagian 6



Perjanjian Rahasia, Bagian 6
[Baca Bagian Cerita Sebelumnya - Perjanjian Rahasia, Bagian 5]

Dua belas anggota yang memakai jubah upacara saling memandang.
“Adakah pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu diajukan terlewatkan?”
“Baiklah, sekarang waktunya bagi kalian untuk bersumpah setia kepada Yang Mulia Ferluci Vagin!”
Kemudian masing-masing calon diminta maju ke depan dan berlutut di atas altar. Mereka kemudian diminta untuk menirukan sumpah setia yang diucapkan salah seorang lelaki yang memakai jubah upacara. Para calon menirukan sumpah tersebut dengan jelas. Sedangkan ibu-ibu yang menggendong bayinya diberikan cukup waktu untuk mengulang sumpahnya sekali lagi di telinga kanan bayi-bayi mereka sebagai pengganti bayi-bayi yang belum dapat berbicara. Penutup mata pun dilepaskan ketika sumpah telah sempurna diucapkan. Butuh waktu sejenak bagi penglihatan mereka untuk menjadi jelas kembali, untuk melihat cahaya setelah mereka resmi menjadi pengikut Ferluci Vagin.
Dan untuk terakhir kalinya, Ferluci berkata, “Dengarlah, kalian semua! Dengarlah suara dari kuil! Suara dari Tuhan yang memberikan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya. Berilah mereka rahim-rahim yang subur, tak pernah mandul, dan dada-dada yang tak pernah kering selamanya! Kebahagiaan telah datang karena penghambaan mereka! Masuklah mereka ke dalam rumah Tuhan! Biarkanlah akar-akar tumbuh dengan indah, dan menghasilkan buah-buah yang kemilau menyenangkan, dan janganlah rumah-rumah mereka tumbuh bangunan kepahitan atau duri yang melukai!”
Setelah segalanya selesai, mereka tak perlu lagi untuk menyalakan obor-obor mereka saat menyadari fajar telah menyingsing. Mereka bersiap-siap untuk kembali ke rumah-rumah mereka. Mereka berjalan beriringan menuruni bukit membentuk arak-arakan yang sempurna melewati jalan-jalan setapak dengan disinari cahaya yang menyilaukan mata. Langkah-langkah mereka sangat riang. Nada-nada dan nyanyian mengalun merdu dari mulut-mulut mereka.
Namun, di tengah-tengah barisan yang sedang larut dalam perasaan gembira itu, seorang perempuan yang menggendong bayi terlihat serius memikirkan sesuatu. Ia berjalan sambil menunduk terus-menerus. Bilamana ia tak berhati-hati, terlena dan melamun sedikit saja, ia dan bayinya bisa terperosok dan terlempar ke jurang yang dalam. Namun, ia tetap saja merenung dan menunduk. Hingga rombongan itu menyadari bahwa ada satu orang yang ternyata tak berketetapan hati untuk menyerahkan hidup kepada Ferluci Vagin.
“Hey, kenapa wajahmu murung, Diana?”
“Kau tak bahagia, atau kau menyesal?”
“Mengapa kau tak bergembira, bukankah Sufyan yang ada dalam buaianmu itu selamanya tak akan lagi merasakan kesusahan hidup dan kemiskinan yang selama ini menghantui kita?”
“Apalagi yang kau cemaskan, Diana, sementara kini dadamu akan terisi penuh air susu untuk Sufyan! Dia akan menjadi seorang pemuda yang gagah kelak!”
“Kita telah bahagia, Diana!”
“Ya, sudah saatnya kita mengucap selamat tinggal kepada segala penderitaan!”
Mereka terus menasihati Diana, perempuan yang menggendong bayi itu. Mereka hanya tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Diana. Bagaimana mereka akan tahu, sedangkan Diana hanya diam saja.

“Apa yang membuatmu bersedih dan berlinang air mata, Diana?”



close