Surat Cinta
Surat Cinta
Ilustrasi |
I
Assalamualaikum Wr. Wb.
Semoga ketenangan selalu menyelimuti
jiwamu, wahai pemuda yang lembut hatinya. Aku harap akan senantiasa demikianlah
adanya keadaanmu ketika engkau membaca rintih hatiku ini.
Pada akhirnya dengan segenap
keberanian yang mengumpul aku memutuskan untuk mengirimkan surat ini kepadamu,
setelah sekian lama aku bergelut dengan bayang-bayang ketakutan yang sangat.
Bersama surat ini aku sampaikan
keadaanku yang berselubung kebimbangan dan air mata. Hingga aku telah lupa
bagaimana rasanya tidur yang lelap akhir-akhir ini. Andai kau tahu, setiap pagi
kudapati bantal yang selalu menemaniku selalu basah oleh air mata. Bukan karena
embun yang engkau selalu bilang bahwa ia adalah lambang kesejukan dan semangat
untuk memulai hari-hari. Dan kau pun bilang bahwa air mata itu tak selamanya
baik bagi perempuan. Namun, begitulah kesedihan hatiku menyadari keadaan ini.
Semoga saja surat ini telah sampai
kepadamu sebelum aku semakin tersiksa oleh kebimbangan dan ketidakrelaan sebab
kuatnya memori keindahan yang melekat di benakku. Memori itulah yang kusadari
kemudian telah memberiku kekuatan untuk menuliskan surat ini. Memori yang
seolah telah menjadi lensa yang melekat erat di mataku, dan tak mau lepas,
sehingga apa pun yang kulihat selalu saja menggiringku untuk mengingatmu.
Seuntai kalung pemberianmu ini pun,
(kau masih ingat bukan? – kalung yang kita dapatkan waktu berjalan-jalan sore
itu?), hingga kini masih setia melekat di leherku. Sesekali memang kulepaskan
ia. Namun ia baru kulepas saat aku sangat-sangat merindukanmu, lantas biasanya
aku akan erat menggenggamnya, melekatkannya ke dadaku, dan menciumnya dengan
sangat lama. Aku tlah bertekad, tak ada yang akan menggantikannya melingkar di
leherku, tak kuizinkan!
Dulu kau sendiri juga bilang, “Kalung
mungkin tak begitu berarti, namun bila kau suka memakainya, itu akan menjadi
sangat berarti bagiku.” Engkau pula dahulu yang memakaikannya untukku. Dan
sekarang, aku ingin membuktikan itu. Aku tak percaya bahwa itu hanyalah omong
kosong, pernyataan picisan muda-mudi yang tak dapat dipertanggungjawabkan sama
sekali, dan hanya butuh beberapa waktu saja untuk menghilangnya pernyataan itu,
dan terlupakan, sebagaimana yang kerap didengungkan orang-orang.
Aku ingin kau tahu, sejak saat itu,
aku kemudian yakin bahwa kita dilanda satu perasaan yang sama. Perasaan yang
kukira hanya ada dalam diriku. Keyakinan itu pun semakin menjadi kala kau pun
hanya tersenyum saat kuperlihatkan gambar wajah kita melekat pada dua sisi
bandulnya. Kau rela, kau tak menolaknya. Aku merasakan, andai pun kita tak
terhalang oleh rasa malu dan oleh sekat bernama kemuliaan dan kesucian, aku
bisa membaca, bahasa tubuhmu mengabarkan kepadaku keinginanmu untuk memelukku
saat itu….
Oh, cinta. Aku percaya sepenuhnya, bahwa
cinta memang suatu anugerah dari Dzat yang jiwa kita berada dalam genggam-Nya.
Cinta telah memberiku kekuatan untuk melakukan kebaikan-kebaikan dengan riang.
Segalanya menjadi indah bagiku. Benarlah kiranya yang kau katakan, bahwa jika
seseorang yang sedang jatuh cinta, maka sesungguhnya ia tengah disayang oleh
Tuhan dengan segala sifat pengasih dan penyayang-Nya.
Ya, aku menjadi bersemangat menjalani
hari-hari. Kau tahu mengapa demikian? Sebab kau selalu ada dalam anganku.
Hingga (aku beristighfar jika memang aku bersalah karena ini), seolah-olah aku
selalu kau perhatikan dalam setiap langkah dan perbuatanku. Ketika aku hendak
mencuci, membersihkan ruangan, kamar-kamar, saat aku memijit lengan ayah atau
menimba air untuk mandi ibu, selalu dalam hatiku berbisik, “Betapa cantiknya
dirimu, Ayvia. Dan sungguh pemuda itu akan beruntung mendapatkan engkau!”
Begitulah....
Sering malam-malam aku mengadukan
kepadamu, aku tak dapat tidur. Kau pun kemudian melontarkan kepadaku kata-katamu
yang mampu menghiburku, menenangkanku, yang membuatku bisa tertidur nyenyak
kemudian, dan pasti berujung pada binar-binar semangat pada diriku untuk
menjalani hari-hari esok. Aku menjadi sangat bersemangat. Aku menjadi sangat
bergairah dan berharap bisa hidup lama, hingga seribu tahun pun, dengan keadaan
yang seperti itu selamanya.
Perasaan cinta telah melanda diriku.
Dan celakanya, aku merasa sangat yakin bahwa sesungguhnya kau pun mencintai
aku. Kau tak dapat membohongi diriku. Dan kau pun sebaiknya tak membohongi
dirimu sendiri.
Maka kini, dengan segala kerendahan
hati dan dengan mengenyahkan jauh-jauh perasaan malu dan hina dina, aku ingin
benar-benar tahu, bagaimanakah sesungguhnya perasaanmu kepadaku? Di manakah
sesungguhnya aku kau letakkan? Apakah aku benar-benar kau tempatkan dalam
kedalaman hati yang sunyi dan terindah?
Emmm. Mungkin akan coba kuingatkan
kembali betapa sayangnya kau padaku. Mengingat itu, aku seakan mendapatkan
bukti yang nyata bahwa perasaanku tak salah. Dulu, waktu aku terjerembab dan
keranjang berisi belanjaan pun jatuh berserakan, kau ingat, bukan? Kakiku sobek
dan berdarah. Tak kuduga kau – yang mengapa selalu kebetulan ada di dekatku –
datang dan memarahi aku. Aku memang teledor dan kurang hati-hati waktu itu.
Tapi, mengapa kau memarahi aku sedangkan kau yang paling panik dan ribut saat
itu untuk menolongku? Berteriak minta cepat diambilkan P3K, kau sendiri yang melumuri
lukaku dengan obat merah, lalu membalut luka di kakiku sambil terus mengomel?
Sadarkah, jika kuperhatikan wajahmu terus-menerus saat itu? Kau begitu
romantis, membalut luka bukannya menghibur dan menenangkan, menanyakan
kesakitanku atau tidak, melainkan dengan terus menceracau?!
Oh, hari-hari setelah itu, kau pun
yang selalu menanyakan perihal kakiku. Mengajakku berjalan-jalan kembali
seperti anak-anak dan remaja. Tak sadarkah kau calon ustad?
Indah....
***
Wahai pemuda....
Begitulah cinta yang menggebu dalam hatiku.
Namun mengapa secara tiba-tiba kau
semacam membikin jarak? Bahkan jauh sebelum kita sama-sama mengetahui
perjodohan yang tak dapat kuelakkan? Aku bertanya-tanya, apakah mungkin kau
telah mengetahuinya jauh sebelum aku tahu? Aku sempat punya prasangka buruk,
jangan-jangan kau pula yang memiliki rencana akan perjodohanku itu?
Tahukah, betapa terpukulnya aku. Remuk
redam hatiku.
Aku benci!!!
Aku benci pada ketakberdayaan!!!
Aku benci pada ketidaktahuanku
memahami semua ini!!! Mengapa semua ini harus terjadi?
Apakah neraka telah bocor dan masuk ke
dalam kehidupanku? Kau tahu, aku sangat menderita. Sosok ayah dan ibu yang
kukagumi, berubah menjadi sosok yang begitu menakutkan dan menyebalkan. Namun
aku bisa berbuat apa?
Aku terkurung dalam kebisuan. Di dalam
kamar yang tak ubahnya dinding penjara yang angkuh mengejek pesakitan
sepertiku.
Kala angin berhembus masuk melalui
jendela kamarku yang menjadi sering terbuka, dan melalui jendela itu pula
terhampar di mataku langit yang cerah dengan awan-awan putih menawarkan
keindahan yang berpadu dengan ketegaran gunung itu, kusaksikan hanya menjadi
satu ironi bagiku. Aku menjadi tak berarti. Hari-hari yang nanti menjelang,
tentu aku akan memandangnya bersama seorang yang – bahkan pernah terpikirkan
pun tidak – tak pernah ada bagiku hasrat untuk mengarungi sisa waktuku
bersamanya.
Maka melalui surat ini pula, kumohon
kepadamu, bebaskan aku dari bayang-bayang masa depan itu. Hapuskan untukku,
untuk kita. Aku masih berharap engkaulah yang nanti berdiri bersamaku di depan
jendela itu.
Sekali lagi kumohon. Jadilah engkau laki-laki
sejati! Jadilah kau ksatria!!! Ksatria yang dapat mengubah segalanya yang telah
tersusun nyaris tanpa cela ini, dimana hari pernikahan itu telah semakin dekat.
Segalanya kini bergantung padamu.
Peluk dan cium dariku yang selalu
merindukanmu,
Lara Ayvia
II
ÉÇ ÉOÏm§9$# `»uH÷q§9$# «!$# Oó¡Î0
Assalamualaikum Wr. Wb
Adalah hal tersulit dalam hidupku saat
aku harus membalas surat darimu, Lara. Semua yang kau ceritakan dalam suratmu
hanya membuatku merasa lemah. Dan tak ada kelemahan bagiku melainkan satu hal
yang cukup sulit untuk dipulihkan andai tak benar-benar memiliki tenaga yang
cukup besar.
Lara, kiranya saat inilah waktu yang
tepat pula bagiku untuk berkata yang sebenarnya. Kupikir tak akan ada waktu
atau kesempatan lagi untuk mengungkap keburaman ini. Lalu tiba-tiba datanglah
suratmu itu. Maka sekaranglah saatnya yang paling tepat. Bahwa benarlah apa
yang kau rasakan, apa yang kau duga selama ini mengenai perasaanku terhadap
dirimu. Aku benar-benar tak menyangka bahwa kita dilanda satu perasaan yang
sama, meski tanda-tanda telah berbicara cukup lantang dan jelas.
Sebagaimana kalung yang masih melekat
di lehermu, pisau yang kau berikan pun masih tersimpan baik padaku. Kujaga ia
agar tak berkarat dan akan tetap berkilat-kilat sebagai tanda tajamnya naluri
dan perasaan kita berdua yang sama mengenai cinta.
Mengenai cerita-ceritamu, aku masih
sangat mengingatnya.
Aku tahu. Ini sangat terlambat. Entah
terlambat bagimu, atau terlambat bagiku sendiri. Dan keterlambatan selalu
berkait soal waktu. Namun, percayalah, tak ada yang patut dipersalahkan
mengenai ini. Tak pula soal waktu. Waktu tak pernah bisa dipersalahkan. Justru
dengan waktu semoga menjadikan kita semakin dewasa, Lara.
Waktu jugalah yang akhirnya membuat kita
terhenyak bahwa pada akhirnya engkau tiba pada suatu saat yang memaksamu
menatap masa depan. Engkau harus menjalankan tugasmu sebagai seorang wanita.
Dan tak ada yang berhak merasa paling benar mengenai perjodohan itu, Lara.
Jika pun engkau sekarang memaksaku
untuk menjadi laki-laki yang sejati, yang mampu merubah segalanya, maka aku
takut itu hanya akan menjadikan kita sebagai seorang yang tersesat pada
keyakinan diri sendiri. Padahal keyakinan itu sendiri belumlah kita pahami
benar-benar, bahwa keyakinan itu benar-benar benar.
Aku tak sanggup Lara. Maafkan aku. Aku
tak mampu melakukan ini, bukan oleh sebab aku tak hendak memperjuangkan
cita-cita cinta, bukan pula telah lenyap perasaan cintaku padamu. Namun, sekali
lagi, siapakah yang paling mengerti mengenai jodoh seseorang?
Andai kau tahu, aku pun sama remuk
redamnya dengan dirimu.
Tapi, ingatlah akan kebaikan-kebaikan,
bagaimana pun seorang gadis yang belum dimiliki, maka baktinya adalah bagi
Tuhannya, Rasulnya, dan bagi kedua orang tuanya. Maka bahagiakanlah ayah dan
ibumu. Tak percayakah kau bahwa mereka sangat menyayangimu?
Kini, tak usahlah kau merasa bersalah.
Tak usahlah kau merasa sedih dan menderita. Jika kau merasa bersalah, tataplah
bintang-bintang. Dan jika kau merasa bersedih, maka bakarlah bayang-bayang. Kau
tahu, bagaimana membakar bayang-bayang, bukan?
Lagipula, kita tak punya kemampuan
untuk menerawang masa depan. Apa yang kau bayangkan saat ini sebagai satu
penderitaan, bukan satu kepastian bahwa kelak yang terjadi adalah memang
demikian. Mungkin saja sebaliknya yang terjadi. Siapa tahu, justru kau akan
menemukan satu kebahagiaan bersama suamimu kelak, andai kau benar-benar tahu
tugas dan posisimu sebagai seorang wanita yang baik, dan itu semua kau jalankan
dengan benar-benar tulus dan ikhlas.
Sekali lagi, sikap ini kuambil bukan
sebagai tanda keputusasaanku, atau kepura-puraanku saja untuk sok bijaksana
memberimu nasihat-nasihat soal kehidupan.
Aku sangat bahagia andai kita
menemukan jalan kita masing-masing. Toh kenangan itu adalah sesuatu yang telah
kita jalani bersama dan telah kita nikmati keindahannya dengan bersama-sama
pula....
Salam,
Sufyan Harits