Cerpen Lawas: Penjelasan Parmin
RIFANFAJRIN.COM - Cerpen Lawas: Penjelasan Parmin
Di ruang tamu
perempuan itu masih memegang selembar kertas surat dari Parmin, anak lelakinya,
yang baru beberapa saat lalu diterimanya dari tukang pos. Ia belum selesai
membacanya tapi ia sudah menangis. Bulir-bulir air mata mengalir menyusuri
kulit di wajahnya yang mulai banyak keriput, seperti sungai kecil yang turun melewati
lembah. Tak ada seorang pun di dekatnya untuk menenangkannya, memperlambat
irama jantungnya yang berdetak semakin cepat. Meski di dalam surat itu anaknya
berbicara sangat tenang, namun perempuan itu tak bisa begitu saja merasa
tenang. Justru ia merasa jantungnya telah ditikam dengan pisau yang tajam
berkilat-kilat.
Tiba-tiba tubuh yang
mulai renta itu rubuh di kursi kayu. Perempuan itu tak dapat menguasai dirinya
untuk meneruskan membaca surat itu. Tangannya serasa tak bertenaga, hingga
lembar kertas itu pun melayang dan jatuh di dekat kakinya dalam keadaan
terbuka, tanpa terlipat.
“Oalah to Min, Min, kamu susah payah
kusekolahkan tinggi-tinggi, sampai universitas kok malah begini...” desis Mak
Paini, nama perempuan itu, di sela-sela tangis.
Sebenarnya isi
surat itu sederhana saja, Parmin minta dikawinkan. Tapi, informasi sebab
mengapa ia minta dikawinkan itu yang membuat hatinya bagai ditusuk-tusuk. Dalam
surat itu Parmin minta dikawinkan dengan Veronika, calon istrinya, lantaran gadis
itu keburu hamil. Selain itu, tak ada penjelasan lain. Hanya saja Parmin
berjanji akan menjelaskan semuanya kepada emaknya setelah pulang ke rumah tiga
hari lagi.
“Durhaka kamu,
Min, bikin orang tua susah! Awas kamu nanti! Apa yang mau kamu jelaskan?!” rutuk
Mak Paini.
***
Kira-kira dua
tahun yang lalu Parmin minta izin kepada emaknya untuk melanjutkan pendidikan
di salah satu universitas di Yogya. Meski berasal dari desa, dari sekolah
menengah yang tidak begitu favorit pula, belakangan diketahui kalau otak si Parmin
cukup encer. Hal itu yang menyebabkan Mak Paini akhirnya memberikan restu,
serta mau bersusah payah lagi mencari tambahan biaya untuk anak semata
wayangnya itu.
Sebetulnya,
beberapa waktu menjelang pengumuman kelulusannya Parmin, Mak Paini sudah mikir-mikir
dan berangan-angan Parmin akan segera sibuk mencari kerja seperti kebanyakan
teman-temannya. Namun, tiba-tiba saja Parmin mengutarakan keinginannya untuk
kuliah setelah – tanpa diduga-duga sebelumnya oleh segenap warga sekolah
termasuk guru-gurunya dan bahkan oleh Parmin sendiri – ia memperoleh nilai
tertinggi Uanas. Rata-rata nilai ujian akhirnya sembilan koma satu, sungguh di
luar dugaan! Padahal Ratih, yang sejak awal masuk sekolah selalu ranking satu
dan merupakan siswi yang paling getol membanggakan dirinya bahwa dialah satu-satunya
yang bakal melanjutkan studi ke universitas, cuma delapan koma tiga rata-rata.
“Kok bisa ya,
Parmin dapat nilai segitu?” Pak Endro masih agak kurang yakin.
“Tapi memang
belakangan Parmin menunjukkan tanda-tanda kemajuan, kok,” kata Ibu Guru Tati,
wali kelas Parmin, membelanya.
“Ya ya ya.
Semoga bukan karena kebetulan saja,” timpal Bu Endang, istrinya Pak Endro yang
kebetulan juga mengajar di tempat yang sama.
“Juga semoga
bukan karena curang!” sahut Pak Tri.
“Ah, Pak Tri
ada-ada saja!” Ibu Guru Tati terus membela.
Ibu Guru Tati
pula yang mula-mula rasan-rasan,
sayang sekali kalau anak pintar seperti Parmin tidak melanjutkan studi ke
universitas dan akhirnya memilih bekerja sebagai buruh.
Singkat cerita, setelah menerima nasihat dari
Ibu Guru Tati, Parmin pun menyatakan keinginannya yang mengejutkan emaknya itu.
Dan karena sejak suaminya meninggal dunia Mak Paini memang bertekad memenuhi
keinginan Parmin demi masa depannya kelak, ia mengiyakan meski jika dibayangkan
cukup berat memang.
Walhasil ketika
Parmin akhirnya diterima kuliah di salah satu universitas di Yogya, Mak Paini
pun rela melepasnya. Ia hanya berpesan kepada Parmin agar bisa menjaga diri dan
tidak lupa arah. Itu saja, meski soal biaya, Mak Paini sempat ragu-ragu. Saat
itu masih susah dibayangkan apakah hasil jerih payahnya dapat digunakan untuk
biaya kuliah si Parmin. Ia kuatir jika kelak Parmin terpaksa berhenti kuliah
sebab tak ada biaya.
“Kamu jaga diri
baik-baik! Yang terpenting kamu harus jadi orang. Sukur-sukur kamu bisa ulet
buat cari tambahan biaya sekolahmu! Tapi sebaiknya jangan terlalu kamu pikir
soal ini, kamu bisa tambah kurus nanti! Mudah-mudahan saja Emak dapat rezeki
lebih,” begitulah kata Mak Paini ketika mengantar Parmin ke stasiun.
“Inggih, Mak,” jawab Parmin cukup singkat
waktu itu.
Parmin pun
akhirnya kuliah di Yogya.
***
Ternyata Parmin
memang otaknya encer. Sebagai mahasiswa, ia cukup kritis. Selain kritis, ia
juga puitis, lumrah dan memang seharusnya begitulah dia sebagai mahasiswa
sastra. Sejak awal ia memang ingin menjadi mahasiswa yang diperhitungkan, tidak
dipandang sebelah mata sebagai mahasiswa rombengan lantaran berasal dari desa.
Oleh sebab itu dia langsung start. Dulu
ia sempat bergabung ke BEM – Badan Eksekutif Mahasiswa – siapa tahu bisa jadi
presiden mahasiswa, pikirnya, tapi sebentar kemudian ia memutuskan keluar. Ia
lebih memilih bergabung ke komunitas yang dirasa lebih informal, lebih bebas
tapi tetap idealis, yang memang tersedia sangat banyak komunitas di Yogya. Ia kemudian
memilih bergabung ke komunitas berjudul ErPe
yang memiliki cara pandang paling pas di benak Parmin. Parmin sendiri tidak
tahu secara jelas dan meyakinkan asal mula nama ErPe, yang konon berfilosofi nyerempet-nyerempet
ke mata uang republik ini, rupiah.
Dari komunitas
itulah Parmin kemudian menjelma menjadi aktor intelektual. Ia sangat aktif dan
produktif. Tulisan-tulisan hasil pemikirannya terutama tentang pendidikan, dan
– tentu saja – sastra tersebar di berbagai surat kabar lokal, nasional, dan
media kampus, baik berupa artikel dan esai, puisi, atau cerpen. Sosoknya menjadi
cukup terkenal. Kini namanya menjadi sedikit lebih panjang, dan selalu dengan nama itu dia menulis atau
memperkenalkan diri, Mahisa P. Cempaka, menyembunyikan nama aslinya, Parmin, di tengah-tengah. Teman dan sahabatnya pun secara
otomatis semakin banyak. Dari situ pula akhirnya dia kenal Veronika. Dan
belakangan, gadis itu yang paling dekat dengannya.
Sebagai pemuda
yang cukup cerdas, Parmin masih tetap punya sikap dan moral. Ia selalu mencoba
mengingat pesan ibunya agar tidak lupa arah. Tapi dasar teman-temannya yang
sebetulnya juga cukup cerdas-cerdas dan sekaligus perlahan terbawa arus
kebebasan kebablasan, Parmin agak limbung juga, termasuk soal hubungannya
dengan Veronika yang makin lengket saja seperti perangko.
Veronika sendiri
juga seolah tak peduli. Ia sudah cinta mati sama Parmin. Kadang-kadang cukup
mengherankan juga, gadis masa kini karena terlanjur terkesima pada kecakapan
seorang pemuda hingga bisa saja begitu gampang mau menyerahkan apa saja. Jika
direnungi, kejadian macam itu kan
mirip Ken Endok yang terkesima pada “Dewa Brahma” Tunggul Ametung. Kalau sudah
begitu, tentu mudah saja bagi si Dewa Brahma memompa perut Ken Endok, yang
akhirnya dari situ lahirlah Kecu alias Ken Arok.
Parmin sendiri
akhirnya roboh. Mana cantiknya Veronika bukan kepalang.
***
Tiga hari
berlalu. Seperti janjinya, Parmin kembali ke desa untuk menjelaskan sengkarut
kepada emaknya yang memang sudah tak sabar. Di atas lincak di depan rumah,
rupanya emaknya sudah menunggu kepulangannya.
Begitu Mak Paini
melihat batang hidung Parmin, dia langsung berdiri dan berkacak pinggang.
“Ibu Guru Tati
juga sudah tahu! Dan beliau sangat kecewa! Emakmu juga!” semprot Mak Paini.
Parmin tenang
saja melangkah mendekati emaknya. Ia bermaksud menjabat dan mencium tangan
emaknya. Tapi, Mak Paini menampik tangan itu. Wajahnya yang mulai keriput
benar-benar terlihat begitu murka.
“Sekarang juga
jelaskan pada Emak!” katanya sambil menunjuk-nunjuk kening Parmin.
Parmin sedikit
terpejam. Lalu katanya, “Tidak masuk dulu, Mak? Tidak baik bicara di luar,
lagipula Emak belum tahu duduk persoalannya,” dengan tenang.
“Cuh!” Mak Paini
menolak. Namun, Parmin bersikeras masuk ke dalam rumah dan langsung duduk di
kursi kayu yang masih tetap tak berubah sejak ia pergi itu. Mau tak mau Mak
Paini mengikutinya. Ia semakin jengkel melihat Parmin begitu santai seolah tak
terjadi apa-apa, meletakkan tas ransel di sampingnya lantas menyandarkan
kepalanya di dinding kayu rumahnya. Wajah yang mulai keriput dan tubuh yang
mulai renta itu tiba-tiba saja seolah menjadi begitu beringas dan bertenaga.
Sambil tetap
berdiri dan berkacak pinggang di hadapan Parmin ia membentak, “Jelaskan! Atau
kau minggat saja dari mukaku!” Ia mengancam.
Parmin akhirnya
mengalah. Setelah menggeleng-geleng sejenak merasakan emaknya yang sama sekali
tak mau kompromi, sambil mengatur napasnya, Parmin menjawab, “Mak, jika seorang
perempuan di dalam satu hubungan mau melakukan apa saja, atau katakanlah mau
diapa-apakan, padahal itu hanya main-main, tidak serius, kok mau? Lalu ketika
dia diajak menjalin hubungan secara benar-benar serius, malah tidak mau. Ia
baru mau serius, bahkan berbalik menjadi dia yang memaksa untuk diseriuskan,
setelah k-e-c-e-l-a-k-a-a-n. Kalau begini siapa yang salah, Mak? Aku, atau
perempuan itu? Siapa lebih pantas disebut tidak bermoral?”
Santai sekali
Parmin menjelaskan kepada emaknya.
Sedangkan Mak
Paini mendengarkan penjelasan Parmin dengan kening yang semakin berkerut-kerut.
Namun, tatapan matanya dapat menerangkan, bahwa ia sungguh-sungguh muak dan
benci!
M. Rifan Fajrin
Semarang, 5 Agustus 2009
Semarang, 5 Agustus 2009