Kehamilan Maria bagian 2
rifanfajrin.com - Kehamilan Maria bagian 2
Baca penggalan cerita sebelumnya Kehamilan Maria bagian 1
Waktu terus bergulir, dan bumi terus berputar. Daun-daun
berguguran, tunduk dan patuh mengikuti harmoni alam. Seluruh makhluk yang
bernyawa, bergerak berirama menjalani kehidupan yang telah tergariskan pada
diri mereka, jauh sebelum mereka ada.
Kehidupan memang sebuah misteri. Kehidupan tetaplah harus
dijalani dengan segenap usaha dan tenaga, meski terkadang keputusasaan dan rasa
sia-sia selalu ada mengingat takdir yang berjalan menyertai. Takdir hadir bukan
untuk diingkari. Takdir hadir untuk diyakini dan dijalani. Meskipun adalah
suatu kesalahan jika menjalaninya dengan penuh kepasrahan.
Dan untuk kesekian kalinya Fallev dan Maria harus tunduk pada
garis takdir yang menyapa mereka. Ketika segenap usaha telah mereka lakukan,
berbagai jalan telah mereka lalui, tetapi apa daya, setelah usia kehamilan
Maria mulai menginjak tujuh bulan, pada
suatu pagi yang sepi, perut Maria yang telah membuncit perlahan-lahan
mengempis.
“Fallev, mengapa perutku semakin mengempis?” kata Maria pada
suatu keterkejutan acara bangun pagi. Maria yang masih mengenakan gaun
tidurnya, seketika terbangun meraba-raba perutnya.
“Oh, Tuhan! Apa yang terjadi padaku?” Maria mulai panik.
“Fallev! Fallev!”
Diguncang-guncangkannya tubuh Fallev yang masih tidur di
sampingnya.
“Fallev, dengarkan aku! Bangunlah! Perutku mengempis, Fallev!”
Demi mendengar berita buruk itu, dengan cepat Fallev
terbangun. Ia segera meraba perut istrinya. Ia sangat terkejut, seakan tak
percaya. Benarlah yang dikatakan Maria, perut itu semakin mengempis. Dan ini
sangat-sangat nyata!
“Maria, apa yang telah terjadi? Ada apa dengan perutmu?!”
desak Fallev.
Maria menggeleng, “Aku tak tahu,” jawabnya pelan. Air mata
perlahan mulai menggenang di pelupuk matanya.
Histeria, suka cita, sekaligus harapan yang membuncah,
seketika berubah menjadi kepedihan dan keputusasaan tak terperi.
Maria menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Air
mata sudah tak kuasa untuk ditahannya lagi, turun dengan deras membasahi wajah,
dagu dan menetes di dadanya. Maria terisak. Sebuah pukulan maha dahsyat harus
diterimanya.
Maria terkulai, namun tiba-tiba saja ia berteriak, “Fallev!
Jawablah, apa salah dan dosa kita?!” teriaknya dengan emosi yang meluap-luap.
Fallev sendiri pun seperti menjadi orang linglung. Ia tak
tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Maria. Ia hanya memandang wajah Maria.
Ia sudah tak dapat berpikir apa-apa lagi. Dalam hatinya ia berkata, “Semua ini
harus segera diakhiri, Maria. Benar, kita harus segera mengakhirinya, untuk
memulai kembali suatu kehidupan yang baru. Meski aku tak tahu, masih sanggupkah
kau bertahan? Atau apa yang membuatmu bisa bertahan setelah bertubi-tubi kau
menerima kepahitan demi kepahitan ini?”
Fallev masih memandangi wajah Maria. Lama ia memandangnya,
semakin lama. Dan perlahan air matanya pun jatuh bercucuran.
“Maka kini aku membencimu, Tuhan!”
Bersambung ke bagian selanjuntnya