Belajar dan Membentuk Karakter dari Surau

Masjid Agung Demak

Menghadapi tantangan zaman yang kian keras dan carut-marut sekarang ini, yang diperlukan adalah karakter terpuji yang tertanam kuat pada masing-masing individu. Secara sederhana, “karakter” menurut kajian psikologi adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seseorang individu. Oleh sebab itu, pembentukan karakter pada seseorang ada baiknya mulai diupayakan sejak dini di lingkungan yang kondusif. Surau/musala bisa dijadikan alternatif untuk itu.

Pada awal pendiriannya Rasul menjadikan masjid sebagai sarana untuk: pusat dakwah penyebaran nilai-nilai agama, kegiatan zikir dan ibadah, taklim (kegiatan belajar dan mengajar), dan untuk berkhidmat memberikan pelayanan sosial untuk kepentingan kesejahteraan umat.
Hanya saja, belakangan ini surau hanya menjalankan fungsinya sebagai fungsi religi saja, yakni untuk kegiatan ibadah (ritual) saja. Tidak banyak surau yang masih menjalankan fungsi sosial dan fungsi pendidikan.

Sekali lagi jika kita mau menilik ke belakang, perkembangan fungsi masjid sebagai tempat peribadatan dan sosial pernah mengalami puncaknya pada masa Turki Usmani yang dikenal dengan istilah kut-liye. Salah satu contohnya adalah Sulaimaniye Kulliye di Istanbul pada abad ke-16 yang memiliki masjid besar monumental, lima madrasah, dua sekolah dasar, dan bahkan sampai pada rumah sakit.

Di Indonesia sendiri, optimalisasi surau sebagai pembentuk karakter kesalehan, yang mampu menanamkan idealisme yang kuat, menjaga moralitas, dan tidak pula mengabaikan sisi intelektualitas telah digagas dan diterapkan oleh KH. M. Hasyim Asyari. Lewat  pendidikan berbasis pesantren yang kemudian tumbuh sebagai embrio pendirian Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia saat ini, KH Hasyim Asy’ari telah berhasil menciptakan para pemuda/manusia-manusia berkualitas. Dalam memberi perlakuan pada peserta didik, beliau berusaha mengedepankan pemikiran bahwa dalam menghadapi segala persoalan hendaknya dimulai dari paradigma normatif yang bersumbu pada pada titik sentral ketuhanan.

Dalam dunia Islam sebenarnya bukan menjadi hal yang asing lagi. Tradisi belajar di masjid yang semula dalam bentuk sederhana pada akhirnya menjadi taman pendidikan Alquran. Kegiatan taman pendidikan Alquran ini biasanya berlangsung di dalam atau di serambi masjid. Bukan itu saja di masjid ilmu bisa menyebar melalui diskusi. Tak heran kemudian dari kegiatan semacam itu muncul kegiatan pendidikan yang besar. Pendidikan tinggi yang bertempat di masjid antara lain terdapat di Makkah dan Madinah, Masjid al-Azhar Kairo, Zaitunah di Tunis, dan Qarawiyan di Fez, yang terus menjaga dan mengembangkan tradisi pendidikan meski bukan merupakan pendidikan formal.
close