Kisah Petani Miskin yang Selalu Bersyukur




Petani

Kisah Petani Miskin yang Selalu Bersyukur

Alkisah di sebuah desa hiduplah seorang petani bersama anak lelaki satu-satunya yang mulai beranjak dewasa. Petani itu sangatlah miskin. Sawah yang dimilikinya tidak begitu luas sehingga hasil panennya pun tidak begitu banyak. Akan tetapi, si petani tidak merasa sedih. Justru sebaliknya, dia merasa cukup dengan apa yang telah diberikan Tuhan pada dirinya dan anak lelakinya. Dia selalu bersyukur, dan ia bahagia.

Oya, selain petak-petak sawah yang tidak seberapa luasnya itu, petani itu juga memiliki seekor kuda jantan dewasa. Kuda si petani itu cukup kuat, memiliki surai indah, serta kulit kecoklatannyanya terlihat sedikit mengkilat. Baik si petani maupun anak lelakinya itu sangat menyukai kuda coklat tersebut. Sebab, kuda itu juga lah yang telah membantu meringankan pekerjaan mereka sehari-hari. Selain itu, ada semacam ikatan emosional yang telah cukup terjalin dengan antara mereka dengan kuda itu. Karena itulah, si petani dan anak lelakinya telah sepakat, bahwa mereka tidak akan menjual kuda satu-satunya mereka itu. Apa pun yang terjadi!

Suatu hari, seorang bangsawan/pembesar kerajaan yang sedang berjalan-jalan sampai ke pelosok desa telah melihat bagaimana keelokan kuda si petani. Rupanya sang bangsawan telah jatuh hati pada pandangan pertama terhadap kuda itu. Kemudian diutarakannyalah niatnya itu kepada si petani. Namun, sayang sekali, si petani masih memegang niatnya tidak akan menjual kuda miliknya itu.

Betapa kecewa sang bangsawan. Di tengah kekecewaannya itu, dia sempat berusaha membujuk si petani sekali lagi, bahkan dia menawarkan harga yang fantastis untuk seekor kuda milik seorang petani miskin! Akan tetapi, pada akhirnya, sang bangsawan harus gigit jari untuk mendapatkan kuda elok itu.

Mendengar kabar bahwa si petani menolak tawaran harga fantastis terhadap kudanya itu, gemparlah tetangga-tetangga si petani. Kebanyakan dari mereka berkomentar alangkah bodohnya si petani. Si petani dan anak lelakinya diam saja dan tidak menanggapi omongan para tetangga.

Hari-hari pun berlalu. Tiga hari setelah si petani menolak tawaran sang bangsawan, tanpa ada seorang pun yang menduga, kuda si petani lepas dan berlari jauh masuk ke dalam hutan. Hilanglah kuda kesayangan si petani!

Tetangga-tetangga si petani yang mendengar kabar hilangnya kuda itu pun lalu berdatangan di rumah si petani. Kedatangan mereka itu bukan dalam rangka menyampaikan rasa empati, atau untuk menghibur si petani, melainkan justru mereka mengolok-olok si petani. Kebanyakan dari mereka menyalahkan pilihan si petani yang menolak tawaran sang bangsawan beberapa hari yang lalu. Andai saja si petani mau menjual kudanya, tentu dia tidak akan terpuruk seperti sekarang ini. Mungkin saja saat ini si petani telah memiliki rumah yang besar dan dia pun tentu memiliki tanah yang luas. Namun, lagi-lagi si petani dan anaknya diam saja. Mereka tidak menanggapi omongan tetangganya. Dalam hati si petani dan anaknya, Tuhan pasti telah memberikan jalan yang terbaik buat mereka, dan mereka dengan ikhlas telah menerima semua peristiwa yang menimpanya.

Selang dua minggu semenjak hilangnya kuda si petani, tanpa siapa pun yang menduga, ternyata pada hari itu kuda si petani telah kembali! Keadaan kuda itu masih seperti sediakala, tidak lantas menjadi kurus karena tersesat di hutan. Tentu saja hal ini membuat para tetangga kembali gaduh. Apalagi kembalinya kuda itu tidak sendirian. Kuda si petani kembali dengan membawa beberapa “temannya”. Kuda itu mengajak 4 (empat) ekor kuda liar bersamanya!

Seperti yang sudah-sudah, para tetangga pun berdatangan kepada si petani dan anaknya itu. Mereka berdecak kagum, geleng-geleng kepala seolah tak percaya pada peristiwa ajaib yang dialami petani. Mereka berkata, nasib baik menghinggapi si petani dan anak lelakinya. Kini mereka tidak hanya memiliki seeekor kuda, tetapi kini si petani memiliki lima ekor kuda.

Si petani dan anaknya pun tersenyum dan mengucap syukur. Dalam hati mereka memuji kemurahan Tuhan yang telah menjawab doa-doa mereka. Kini satu tugas menanti si anak lelaki: dia harus melatih empat ekor kuda liar itu agar menjadi jinak dan bisa membantu pekerjaan mereka sehari-hari.

Sayangnya, suatu hari, ketika si anak lelaki tengah melatih seekor kuda yang masih liar itu, si anak lelaki terjatuh. Kakinya cedera, tulang kering anak lelaki si petani sedikit retak.Akibatnya, untuk sementara waktu dia tidak bisa membantu pekerjaan ayahnya.

Dan, sekali lagi, seolah tidak ada bosan-bosannya, ada-ada saja tetangga yang datang kepada si petani. Para tetangga ini seolah-olah telah mengidap penyakit kambuhan, yaitu selalu berkomentar buruk dan selalu mengungkit-ungkit kejadian yang telah berlalu. Mereka masih saja berkata “seandainya” dan “seandainya”. Si petani dan anaknya yang sementara ini sedikit pincang pun diam saja. Dalam hati mereka telah bertekad tidak menyesal terhadap pilihan hidup mereka. Mereka tidak akan pernah berhenti berprasangka baik kepada Tuhan tentang apa yang akan terjadi esok hari, dan akan selalu mensyukuri apa yang dianugarahkan Tuhan kepada mereka.

Kisah ini belum selesai.
Nah, kira-kira bagaimana akhir kisah si petani dan anaknya itu? Sahabat-sahabat sekalian yang sekarang sedang membaca kisah ini, adakah yang mencoba menerka apa yang akan terjadi kemudian? Atau mungkin memiliki akhir kisah yang ideal bagi si petani dan anaknya? Bila ada, monggo lho, saya persilakan untuk sahabat sekalian tuliskan di kotak komentar ya...!? Tidak usah sungkan-sungkan...

Terima kasih. Salam hangat. ^ _ ^
close