Memutus Garis Perekrutan Teroris
Belajar
dari berbagai kasus terorisme yang telah lalu, dapat diketahui hasil
identifikasi pelaku teror yang tak jarang memunculkan nama-nama baru. Hal ini
menegaskan kesan bahwa sistem perekrutan dan jaringan terorisme itu telah
tersusun sedemikian rapi. Noordin M. Top, gembong teroris asal Malaysia, santer
diduga jauh-jauh waktu telah menularkan kelihaiannya untuk merekrut anggota
baru. Jadi perekrutan telah dilakukan oleh orang-orang di bawah Noordin, dan
Noordin tinggal merancang skenario pengeboman saja. Dua pelaku pengeboman JW.
Marriot dan Ritz Charlton pada Juli lalu, Nana Maulana (28) dan Dani Dwi
Permana (19), adalah figur yang masuk dalam sistem tersebut.
Terorisme
memang menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Terhitung paling tidak pada
sembilan tahun terakhir, pemerintah sangat gencar memerangi terorisme, meski
terorisme di Indonesia itu sendiri telah ada bahkan sejak era 60-an. Seiring
dengan konflik Islam-Kristen di Poso disertai peristiwa pengeboman malam Natal
di berbagai daerah di Indonesia, berentetan peristiwa pengeboman pun menyusul:
bom Bali I, JW. Marriot, bom Kuningan, Bom Bali II, dan yang teranyar,
pengeboman Hotel JW. Marriot dan Ritz Charlton pada 17 Juli lalu.
Maka untuk
membersihkan bumi Indonesia dari terorisme, pemerintah paling tidak harus
segera memutus garis sistem perekrutan ini. Perekrutan memang menjadi dasar
eksistensi yang sangat vital dalam organisasi. Terlebih organisasi teroris ini,
yang mana kuantitas anggota akan semakin menyusut seiring setiap aksi yang
dilakukan. Setiap aksi akan selalu mengorbankan nyawa anggota karena aksi yang
dilakukan adalah bom bunuh diri.
Upaya
memutus sistem perekrutan, dalam arti menghindarkan masyarakat Indonesia dari
target perekrutan terorisme, dapat diawali dengan penguatan pada ranah
pendidikan/edukasi terutama pada pemantapan ilmu-ilmu agama. Jika dicermati,
langkah ini akan terlihat sedikit kontraproduktif dengan tindakan polisi yang
mengawasi pesantren-pesantren Islam di berbagai daerah. Dengan landasan
identifikasi pelaku teror yang “kebetulan selalu” pernah nyantri di pesantren,
Ngruki Solo, misalnya, dan lain-lain, polisi kemudian seakan mengerucutkan satu
analisis bahwa pesantren merupakan bibit tumbuhnya pelaku teror, maka perlu
diawasi. Justru pesantren inilah yang di samping lembaga/institusi pendidikan
formal memiliki peran penting untuk mencegah meluasnya paham-paham terorisme
agar tidak mendoktrinasi pola pikir masyarakat kita, yakni dengan ilmu
pendidikan tersebut.
Mengenali Sistem Perekrutan
Fakta
menarik yang diinformasikan oleh seorang mantan anggota Jamaah Islamiyah,
perekrutan anggota yang hendak dijadikan sebagai calon pengantin – istilah
untuk para eksekutor pengeboman – biasanya terfokus pada orang-orang terutama pemuda
yang “kurang mapan”, baik dari segi pendidikan maupun dari segi ekonomis.
Artinya para target kurang memiliki masa depan, dengan kehidupan yang kurang
tertata dengan baik. Dengan brain-washing
akan dogma-dogma antibarat dan Amerika yang nyata menginjak-injak Islam,
juga dengan dijanjikan pada kenikmatan surga untuk melepaskan himpitan hidup di
dunia menuju kehidupan yang lapang dan baik di sisi-Nya, jadilah para target
tersebut seorang dengan militansi yang tinggi dan berani mati.
Perekrutan
dan pengamatan calon anggota biasanya dilakukan dengan mengadakan pengajian
(taklim) ke berbagai daerah hingga ke pelosok-pelosok desa. Ciri-ciri seseorang
yang biasanya dijadikan sebagai target pengantin adalah seseorang yang memiliki
semangat tinggi namun kurang cukup menguasai ilmu/landasan agama yang kuat. Di
dalam perdebatan pun ia selalu tak mau kalah. Seseorang yang memiliki
sifat-sifat atau ciri kurang lebih seperti itulah yang kemudian akan
ditindaklanjuti dan direkrut sebagai calon pengantin.
Dari
sini terlihat pentingnya penguatan pada ranah pendidikan/edukasi. Dengan
pembekalan ilmu yang cukup, diharapkan seorang target tak akan dapat dengan
mudah saja terekrut. Seseorang yang memiliki cukup ilmu ketika ditawarkan
“surga” dari para teroris itu, setidaknya akan dapat mempertimbangkan pada satu
sisi rasionalitas, yaitu, apakah dengan cara mengebom bisa dengan mudahnya
masuk surga? Pertimbangan rasionalitas ini juga selanjutnya diikuti perbenturan
pada nilai-nilai kemanusiaan, yakni pada penghilangan hak paling dasar manusia
itu sendiri untuk hidup. Lagipula ilmu akan membimbing seseorang untuk memahami
bahwa agama Islam itu sendiri tak pernah mengajarkan dan membenarkan kekerasan
dalam bentuk apa pun. Bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, rahmat bagi semesta alam. Jika masyarakat kita
dapat menghindari “perangkap” jaringan teroris ini, maka garis perekrutan
teroris telah berhasil diputus. Tentu, selanjutnya pemerintah tetap harus fokus
memburu para teroris yang masih berkeliaran.[]