Pertiwi
Langit semakin merah. Azan maghrib menyilet. Hamidah yang sedang hamil delapan bulan, masuk ke kamarnya. Diambillah mukenanya yang lusuh, lalu dia menggelar sajadah. Ketika dia mau mengucap takbir, dia mendengar pintu rumahnya berderit.
“Midah...”
Terengah-engah.
Hamidah
membatalkan shalatnya. Dia segera keluar kamar dan menemui Yahya, suaminya.
Sekalipun dia sudah berwudhu, dia membiarkan Yahya meraih tangannya.
“Anjing-anjing
itu datang lagi. Mereka membonceng sekutu!” Menggebu.
Hamidah
mengusap dada Yahya. “Siapakah mereka yang kau maksud?”
“NICA,
Belanda.”
“Bukankah
kita sudah merdeka?”
“Kau benar.
Seharusnya, setelah proklamasi tak ada lagi yang boleh menjajah kita! Anjing
NICA berdalih dengan
Perjanjian Sipil!” 1)
Yahya tidak
akan peduli pada perjanjian apa pun yang merugikan bangsanya. Perjanjian itu
dirasakannya benar-benar sebagai penghinaan. Indonesia bukanlah boneka bagi
Barat.
Kecongkakan
orang-orang kulit putih itu pun sudah tak bisa ditoleransi lagi. Mereka
mempersenjatai para tawanan yang telah dibebaskan selama pendudukan Jepang. Di
depan mata, mereka nyata-nyata telah mengabaikan kedaulatan Pemerintah
Indonesia. Di Magelang, mereka justru melucuti senjata para TKR dan membuat
keonaran. Andai bukan karena Bung Karno yang campur tangan, mereka sudah hancur
dikepung TKR di bawah Letkol Sarbini!
Semangat
revolusi harus tetap berkobar. Kemerdekaan yang telah ditebus dengan darah dan
nyawa sekaligus air mata penderitaan, haruslah terus dipertahankan. Bagi Yahya,
satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah: Berjuang Angkat Senjata! Dia
bergabung dengan kawan-kawannya di dalam TKR.
Yahya bergegas.
Dia mencium kening Hamidah dan mengusap perut istrinya itu sebentar.
“Sudah maghrib.
Kau tidak shalat dahulu?” tanya Hamidah.
“Di surau. Kau
jangan kuatir, aku sudah menjadi pengagum Kolonel Sudirman. Aku akan sangat
malu kalau tidak shalat,” jawab Yahya.
“Berhati-hatilah.”
“Baiklah.”
Yahya tersenyum. Hamidah menangkap seperti ada sesuatu yang hendak diucapkan Yahya
tetapi tertahan.
“Adakah pesan
untukku?”
Yahya
menggeleng. “Tidak ada. Aku hanya ingin anak kita bernama Sudirman jika dia
laki-laki.”
Hamidah melepas
suaminya pergi. Dia melambai kepada Yahya yang berjalan begitu cepat. Andai dia
tidak sedang hamil tua, ia pasti akan turut berjuang. Dia cukup cakap untuk
memberikan pertolongan pertama.
***
***
Sebenarnya,
jauh di lubuk hatinya Yahya tidak tega meninggalkan Hamidah. Setelah ibunya meninggal,
perempuan itulah yang kemudian mengisi hati Yahya. Sungguh dia tidak tega
meninggalkannya sendirian di rumah. Dia hanya berharap kepada Kartini, kawan
dekat Hamidah, semoga dia bisa membantu sewaktu-waktu Hamidah butuh
pertolongan.
Malam itu, Yahya
benar-benar tidak bisa lupa kepada istrinya. Dia masih teringat bagaimana ia
merasakan tangannya seperti didorong-dorong dengan halus ketika mengelus perut
Hamidah. Oh sedang apa Hamidah sekarang?
“Istrimu
bagaimana?” tanya Harun tiba-tiba. Oh, pertanyaan Harun itu semakin meremugkan
dada Yahya.
“Dia baik-baik
saja. Dia sangat kuat, Run,” Yahya menjawab singkat.
“Baguslah kalau
begitu.”
“Aku sudah
berpasrah kepada Kartini untuk sesekali menengoknya.”
“Pasrahkanlah
juga kepada Allah, Yahya. Dialah yang akan menengok, bahkan menjaga istrimu
setiap waktu.”
Yahya menatap
mata Harun. Dia mengangguk, menggigit gerahamnya kuat-kuat. Sekuat tenaga Yahya
menahan tangis.
Malam itu Yahya
benar-benar merasa tentram.
***
Kolonel Isdiman
gugur! Dia terkena serangan bom sekutu di kelurahan, Jambu, saat menuju
Ambarawa. Salam hormat untukmu, Kolonel!
Atas peristiwa
itu, Kolonel Sudirman turun tangan. Dia membagi pasukan dan mengatur strategi
perang yang disebut “Supit Urang”. Kolonel membagi pasukan menjadi beberapa kelompok.
Kelompok pertama sebagai “tubuh udang”, mereka adalah ujung tombak, induk
pasukan dengan jumlah kekuatan terbesar yakni empat batalyon. Masing-masing
batalyon dipimpin oleh Mayor Soeharto, Mayor Sardjono, Mayor Adrongi, dan
Sugeng Tirtosewoyo.
Kelompok II
menempati posisi “kaki udang”. Mereka dipimpin Letkol Bambang Sugeng dari
resimen 14 Temanggung dan Letkol Kun Kamdani dari resimen 14/devisi V
Purworejo. Pasukan ini berada di kaki kiri. Sebagian dari mereka bergerak dari
Jambu ke Bandungan dan Baran. Sebagian lagi lewat Brongkol sampai ke Banyubiru.
Pada akhrinya mereka akan menyerang Sekutu dan lambung pasukan di sektor
tenggara.
Kelompok III
sebagai supit juga terbagi dua, menduduki posisi kanan dan kiri. Kelompok IV
yang menempati ekor udang kebanyakan terdiri atas laskar dan pasukan rakyat
yang membantu induk pasukan bila terdesak. Sesuai rencana, penyerangan
dilakukan serentak pukul 04.30, ketika
mata orang Belanda semuanya buta! 2)
Yahya bersama Harun
bergabung di kelompok IV.
Pertempuran
pecah! Meskipun dari segi persenjataan kalah, selama tiga hari pasukan rakyat berhasil
mendesak NICA. Strategi Kolonel Sudirman benar-benar jitu. Anjing-anjing
Belanda itu harus angkat kaki dari Ambarawa!
Dor!!! Yahya
tertembak di dada kirinya. Tubuhnya roboh. Harun yang melihat Yahya tertembak,
segera menyongsongnya.
“Yahya!”
Yahya memandang
wajah sobat karibnya itu dengan nanar. Namun, di bibirnya berulas senyum.
Perlahan dia mengucap kalimat: Laa ilaha
illallah, Allahu Akbar! Ternyata kalimat itulah yang terakhir kali
diucapkannya. Sedangkan yang terakhir kali ditatapnya adalah wajah sahabatnya,
Harun, sesaat sebelum pandangan matanya telah berganti menjadi taman-taman
syurga.
Sementara itu,
NICA semakin terdesak dan terbirit menuju ke Semarang.
***
Limabelas
Desember. Hamidah melahirkan. Kartini setia menemani Hamidah di sampingnya, pada
semua proses persalinan Hamidah.
Mereka
tersenyum, ketika tangis bayi memecah ketegangan.
“Alhamdulillah!
Bayi yang cantik!”
Kartini membopong bidadari kecil itu. Setitik
air matanya menggantung, lalu perlahan mulai menetes meski bibirnya mengukir
senyum.
“Dia sangat
cantik, Midah,” katanya.
Hamidah
tersenyum lemah.
“Apa nama yang
hendak kau berikan untuknya?”
Hamidah
menggeleng. Belum ada nama yang dia persiapkan jika bayinya lahir perempuan.
“Aku menunggu
Yahya. Dia memberiku nama: Sudirman,” Hamidah menjawab perlahan. Jawaban yang
membikin air mata Kartini membanjir.
Kartini
mengusap pipinya. “Yahya telah menyerahkan padamu untuk memberi nama kepada
anakmu yang cantik.”
“Oh...
Benarkah?” Hamidah berbinar. “Kalau begitu, namanya Harum Pertiwi.”
__
1) Civil Affairs Aggreement atau
Perjanjian Sipil adalah perjanjian antara pemerintah Inggris dengan Belanda
pada 24 Agustus 1945. Perjanjian
ini mengatur pemindahan kekuasaan di Indonesia dari British Military
Administration kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
2) Dari tulisan Muhammad Rifai Fajrin: “Skema
Pertempuran ‘Supit Udang’ Jendral Sudirman”.
*) Ilustrasi karya Sam Widanto