Merawat Buku Sebagai Jendela Ilmu *

Malaikat Pelindungku yang Menakjubkan karya Kerstin Hermelink


Oleh M. Rifan Fajrin

kekayaanku hanya buku dan bunga
apakah kamu sudah membeli mobil? tanyamu
buku-buku menjerit dari timbangan
bersamaan dengan debu dan akar kembang
....
(Sosiawan Leak, Kekayaanku Hanya Buku dan Bunga)

Buku adalah kekayaan. Barangkali orang akan berkerinyut dan mencibir mendengar ungkapan tersebut: memangnya buku bisa membuatmu kenyang dan bertahan hidup? Ya, secara fisik kenyataannya memang makhluk yang memakan buku adalah rayap. Sedangkan manusia memakan daging dan tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi jangan lupa, manusia terdiri dari jasad/jasmani dan ruhani.
Kebutuhan jasmani manusia dipenuhi dengan adanya sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal). Sedangkan kebutuhan ruhani manusia yang termasuk di dalamnya batin dan pikiran dipenuhi dengan ilmu agama, ilmu pengetahuan, dan seni. Jika kebutuhan jasmani manusia tidak terpenuhi secara layak, kesehatan manusia bisa terganggu dan pada akhirnya bisa berujung pada kematian. Begitu pula pada saat manusia tidak terpenuhi kebutuhan ruhaninya, ini menyebabkan kematian ruhani manusia, dan ini lebih berbahaya. Pada saat itu, manusia akan menjadi “mayat yang berjalan”. Secara fisik dia hidup, tetapi pada hakikatnya dia mati dan tak berguna.
Buku adalah lautan ilmu yang mengantarkan manusia menjalani kehidupan.

Merawat Buku
Menghargai buku adalah menghargai keilmuan. Jika demikian, dengan sendirinya merawat buku-buku itu merupakan wujud nyata kecintaan pada ilmu. Bukan berati kita hanya mementingkan bentuk buku secara fisik tanpa pernah membacanya.
Bisa kita bayangkan, bagaimana buku-buku yang kita baca sudah lusuh dan terlipat-lipat, bahkan terlepas dari jilidannya (Jw: mbrodol). Maka sangat penting bagi kita untuk merawat buku-buku yang ada dan terutama buku yang kita miliki.
Merawat buku bisa kita mulai dengan menyampuli setiap buku yang kita miliki, membuat pembatas buku yang tipis dan tidak merusak buku, jangan melipat halaman buku, tidak membaca buku sambil mengemil agar halaman-halaman buku kita tidak terkena minyak dan cepat kotor, jangan membiarkan buku dalam keadaan terbuka jika tidak sedang dibaca.
Buku yang kita pinjam dari teman, atau perpustakaan umum juga harus kita perlakukan sama. Jangan mentang-mentang bukan buku milik kita, lantas kita abai dalam merawatnya. Jika kita tidak bisa merawat buku, setidaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk tidak merusak buku.
Saya pernah membayangkan ada seorang baik hati yang setiap kali dia meminjam buku yang tidak bersampul di perpustakaan, dia senantiasa mengembalikan buku tersebut dalam keadaan bersampul rapi ke perpustakaan. Yah, kebaikan memang mungkin perlu dimulai dari hal-hal yang kecil-kecil.
Terakhir, mungkin masa sekarang perpustakaan digital mulai marak dan digemari para puskatawan. Ketika semua pustaka beralih ke format digital, kita memang tak perlu lagi ribet menyampul buku. Buku-buku yang dihasilkan pun tidak akan “menghabisi” sumber daya alam yang sekarang ini dicetak di kertas-kertas (paperless).
Akan tetapi, andai buku-buku yang akan datang benar-benar dibuat dalam format digital, dan buku-buku yang ada sekarang ini belum diganti format dalam bentuk digital, buku-buku kertas masih saja berupa kertas; dan kita semestinya merawatnya. Ketika kita tidak mampu merawat buku sepenuh hari, kita cukup merawatnya dengan sepenuh hati.[]


*) M. Rifan Fajrin, Guru di Lab. School Unnes Semarang. Berumah di Ambarawa.
Dimuat di Buletin Pustaka
close