Resensi Buku Bukavu Karya Helvy Tiana Rosa
Delapan belas cerpen yang digarap dalam rentang tahun 1992-2005 disajikan dengan bagus oleh Helvy dalam kumpulan ini. Cerpen-cerpen tersebut sebagian diantaranya pernah dimuat di berbagai media atau mendapatkan penghargaan. “Jaring-Jaring Merah” sebagai contoh, terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik majalah Horison dalam satu dekade (1990-2000). “Lelaki Kabut dan Boneka”, mendapat penghargaan Pena Award sebagai Kumpulan Cerpen Terpuji (2002). Tidak diragukan lagi, Helvy memang seorang yang piawai memotret fenomena sosial di sekitar menjadi sebuah karya yang bagus.
Beragam tema dipaparkan dalam kumpulan cerpen ini. Dari semuanya
itu, rupanya tema kemanusiaan dengan kompleksitas permasalahannyalah yang lebih
mendominasi. Peperangan, konflik antar etnis, tragedi kemanusiaan, masalah bencana,
dan sebagainya. Di tangan Helvy, tema yang “sulit” dan sensitif seperti masalah
disintegrasi, konflik antar etnis dapat diselesaikan dengan bijak, sebagian
diselesaikan dengan metafor yang cerdas.
“Ze Akan Mati Ditembak” misalnya, dikisahkan seorang pemuda pribumi
Lorosae yang resah dan gelisah oleh bermacam bentuk kerusuhan di tanah
kelahiran yang dicintainya. Cerita ini berlatar saat warga Timor-Timur terpecah
menjadi dua: pro integrasi dengan Indonesia, dan pro kemerdekaan. Pada masa itu
digambarkan banyak sekali pertumpahan darah, Timor menjadi Ombak Merah! Hanya ada
dua pilihan yang ditawarkan: mengungsi atau tetap bertahan. Bagi pemuda kampung
delapan belas tahun seperti Ze, harusnya Lorosae dibelah menjadi dua, dia hanya
tak ingin melihat darah tumpah. Ia hanya menginginkan kebenaran, keadilan, dan
kedamaian. Bukan perpecahan, kepedihan, atau kekacauan.
Akhir kisah Ze, pada saat kekacauan telah mencapai puncaknya, saat
mulai berdatangan tentara kulit putih INTERFET, melintaslah para pahlawan
Lorosae yang menyanyikan mars-mars perjuangan di bayang-bayang Ze. Hanya
bayangan, dan suara-suara yang perlahan sirna. Ze sendiri akhirnya tewas
tertembak tentara kulit putih. Namun, pada saat terakhirnya itu, Ze justru
merasakan kedamaian, kenyamanan. Ia merasa Lorosae mendekapnya begitu erat.
“Aku Ze. Akulah Lorosae!” teriaknya.
Sedangkan dalam “Kivu Bukavu”, semakin menunjukkan kepiawaian Helvy
sebagai seorang pendongeng ulung. Cerpen ini mengangkat pertikaian
berkepanjangan antara suku Tutsi –yang berasal dari Rwanda- dan suku Hutu. Dengan
metafor sebuah danau yang indah, yang bahkan begitu dipuji-puji oleh Hemingway
tahun 1957, dan perlahan keindahan itu mulai sirna berganti menjadi sesuatu
yang begitu kotor, banyak tubuh-tubuh kaku yang sakit dan lapar di sekitarnya,
puluhan orang tewas menenggelamkan diri di dalamnya karena tak kuat menahan
derita, sampah-sampah kotor yang mengambang, dan sebagainya; keresahan kivu
pada dasarnya adalah keresahan umat manusia yang mempunyai nurani. Dalam diri
manusia yang terdalam, pastilah menginginkan kedamaian. Hingga saat kivu
menjerit, “Tak bisakah Suku Tutsi dan
Hutu bersahabat sebagaimana persahabatanku dengan mentari, rembulan dan awan?
Hidup dalam damai seperti kedamaian yang kurasakan bersama pepohonan dan para
satwa di sekitarku?”
Selain dua cerita di atas, masih banyak lagi cerita yang tak kalah
berbobot, misalnya: Lelaki Kabut dan
Boneka, Peri Biru, Lorong Kematian, atau
Jaring-Jaring Merah. Satu cerita lagi disajikan dalam bentuk naskah drama
adalah Mencari Senyum.
Mengenai para tokoh yang bermain dalam cerpen, kebanyakan mengambil
pusat pengisahan (focus of naration)
sebagai seorang perempuan. Namun, perempuan yang biasanya merupakan simbol dari
kepasrahan terhadap otoritas di lingkungannya, menjadi sosok yang penuh
vitalitas di dalam cerita-cerita Helvy. Lihatlah tokoh yang bermain dalam Darah Hitam, Hingga Batu Bicara, Ketika
Cinta Menemukanmu, atau Jaring-Jaring
Merah. “Semangat hidup para tokoh sangat terasa dalam cerpen,” begitulah
kata Alm. Kuntowijoyo.
Satu lagi kelebihan Helvy, adalah pemilihan diksi yang
diperhitungkan dengan cermat dalam setiap cerpennya. Kalimat prosais yang biasa
disampaikan secara lebih
longgar dan bebas, disampaikan dalam bentuk kata-kata yang puitis. Hingga Putu Wijaya mengatakan, “Cerpen, tak sanggup membatalkan
Helvy Tiana Rosa, dari seorang penyair.” Kita lihat pada penggalan cerpen “Kivu
Bukavu” berikut ini.
Kivu, kau yang terindah
Bisik Hemingway
Aku ingin menangis
Namun danau tak dapat menangis
Secara keseluruhan, kumpulan cerpen ini cukup bagus dan layak untuk
dikoleksi bagi para penggemar sastra.*
____________________________________________________________
Judul Buku : Bukavu
____________________________________________________________
Judul Buku : Bukavu
Penulis :
Helvy Tiana Rosa
Penerbit :
Lingkar Pena Publishing House
Terbit :
April 2008, Cetakan Pertama
Tebal Buku :
219 Halaman