Lukisan Wijoyo
Cerita Pendek M. Rifan Fajrin
Aku
tengah mengalami cerita cinta yang aneh. Aku jatuh cinta kepada Ratih, gadis
yang telah kukenal sejak kecil. Hingga kini, entahlah, aku tak yakin apakah
Ratih mengerti dan merasakan jika aku mencintainya. Aku belum menyatakan
perasaanku pada Ratih. Aku hanya berpikir bahwa aku belum menemukan cara dan
waktu yang tepat saja. Kegalauan tingkat dewa benar-benar menghajarku.
Hanya
saja, bukan soal kegalauanku yang kemudian menghambat pernyataan cintaku kepada
Ratih yang kuanggap aneh. Kupikir, adalah hal yang wajar jika seorang lelaki sejenak
kehilangan akal untuk nyatakan cinta kepada seorang gadis, meskipun gadis itu
telah ia kenal sangat lama lebih dari separuh perjalanan hidupnya.
Namun,
keanehan itu adalah, ketika dalam beberapa malam terakhir, aku benar-benar
terbadai oleh kerinduanku kepada Ratih. Maka, sebelum tidur aku selalu berdoa
agar aku bisa bertemu dengan Ratih di alam lima dimensi mimpi. Akan tetapi,
yang terjadi, aku selalu bermimpi tentang seorang lelaki tua dan lukisan-lukisannya.
Dan
inilah yang sebenarnya akan kuceritakan.
Lelaki
tua itu bernama Wijoyo. Rambutnya panjang dan sebagian besar telah memutih. Ia
tinggal seorang diri di sebuah rumah di pojok selatan kampungku. Setiap hari
yang dilakukannya hanyalah melukis. Dari kabar yang kudengar, ia tak pernah
menikah.
Pada
awalnya, dari mimpi-mimpiku aku sempat berkesimpulan, mungkin aku harus
menyatakan cinta kepada Ratih dengan memberinya lukisan yang indah. Namun, ketika
suatu hari kuputuskan untuk mengunjungi lelaki tua itu, dan hal itu berlanjut
hingga berbulan-bulan aku sering duduk mengobrol dan menemaninya melukis,
barulah aku mengerti jika ternyata kesimpulanku salah. Benar-benar salah.
***
“Wajah
siapakah yang sedang kau lukis, Kakek?” tanyaku pada suatu hari.
Dari
lukisan-lukisan yang pernah kulihat di rumah Wijoyo, semuanya adalah lukisan
wajah manusia.
“Seseorang yang ada di dalam kepalaku,” jawab
Wijoyo. Singkat. Memang kulihat Wijoyo menyapukan kuasnya begitu saja di atas
kanvas tanpa melihat sebuah gambar atau foto wajah seseorang.
Pelan
namun pasti. Aku melihat raut
kesungguhan Wijoyo, dan begitu nyata wajah yang ia lukiskan. Wajah itu,
di mataku adalah wajah seorang perempuan tua. Aku menyadari, agak lama aku
mengamati wajah dalam kanvas itu. Ia adalah wajah perempuan Eropa. Aku
benar-benar takjub saat wajah itu terlihat seolah bernyawa, dan ia tengah
menyapa Wijoyo.
Aku
tertegun, “Kau melukis wajah perempuan Eropa.”
Wijoyo
diam saja.
“Siapakah
dia? Namanya? Oya! Ngomong-ngomong, kapan terakhir kali engkau bertemu
dengannya? Atau barangkali, kapan kau menerima surat dan kiriman foto ini
darinya?”
“Sudah
kubilang, aku hanya melukiskan wajah seseorang yang ada di dalam benakku. Aku
hanya memperturutkan gerak tanganku,” jawab Wijoyo, “bahkan, mungkin aku bisa
melukisnya meskipun kau tutup mataku.”
“Hmm...
Baiklah. Lalu, siapakah namanya?”
“Namanya
Hellen.”
Lalu,
dengan cepat ia menyambung kata-katanya, “Ia seorang Belanda.”
***
Suatu
malam, aku kembali datang ke rumah Wijoyo. Aku sengaja membawa bubuk kopi dan
beberapa potong roti bakar yang kubeli di dekat rumah. Seperti yang
sudah-sudah, ia sedang duduk melukis. Aku segera menuju dapur untuk menyeduh
dua gelas kopi dan mengambil piring untuk menaruh roti.
Segera
kucomot sepotong roti berselai strawberry.
“Makanlah
dahulu, Kek. Engkau sangat serius terhadap berjuta wajah yang kau ciptakan.”
Wijoyo
berhenti sejenak. Ia menoleh ke arahku. Aku mencoba tersenyum. “Makanlah.”
Tetapi, ia enggan membalas senyumku rupanya. “Oya,” aku mengeluarkan foto Ratih
dari dalam dompetku, “bisakah kau melukis wajahnya untukku? Akan kuberikan
lukisan wajahnya yang indah agar dia menerimaku, rupanya inilah cara yang
memang ditunjukkan Tuhan kepadaku.”
Wijoyo
masih saja terdiam. Aku mencoba bersabar. Sebentar lagi pastilah ia selesai
merampungkan lukisannya. Aku tidak begitu tertarik untuk berkomentar atau
menanyakan siapakah dia ataupun namanya. Kali ini, ia melukis wajah seorang
pemuda seumuranku. Lagi-lagi, ia melukis garis karakter wajah Eropa.
“Atau,
minumlah kopimu selagi masih panas.”
Tak
lama, ia berhenti melukis. Dipandanginya wajah dalam kanvas itu sebentar, lalu
ia duduk di depanku.
“Kau
sangat berlebihan,” katanya, “aku hanya melukis dua raut wajah, bukan sejuta
wajah seperti yang kau bilang.”
Ia
menyeruput kopinya. Aku sempat berhenti mengunyah roti.
Wijoyo
melihat ke sekeliling ruangan. “Lihatlah, aku hanya menggambar dua raut wajah.
Ia adalah Hellen, dan pemuda itu sepertinya adalah anaknya. Tetapi aku tak tahu
siapa namanya,” kata Wijoyo.
Wijoyo
melanjutkan ucapannya, “Aku tak pernah berkenalan dengannya. Aku bahkan tidak
pernah melihat wajahnya. Ia hanya berada di dalam kepalaku saja.”
Aku
tidak berbohong. Sejak awal telah kuceritakan, aku merasakan sesuatu teramat
aneh. Kemudian, setiap kali kutangkap redup tatap mata Wijoyo, hal itu semakin
menegaskan: perasaan aneh semakin menggelayut di dalam dadaku. Seperti ada
sesuatu yang ia simpan pada lebih dari tiga perempat abad usia hidup Wijoyo.
Aku merasa tidak berhak untuk menanyakan rahasia itu, tetapi jujur aku sangat
penasaran dan ingin mengetahui kisahnya.
“Semua
wajah perempuan itu adalah Hellen.” Ia menunjuk. “Itu ketika ia masih muda, dan
di dalam benakku aku dapat melihat wajahnya seperti yang kau lihat saat ini.
Lihatlah dengan seksama, sisa kecantikannya masih lekat di wajah perempuan
itu.”
Kurasakan,
aku menjadi begitu sungkan untuk mengulang permintaanku agar ia melukis wajah
Ratih. Untuk saat ini, aku hanya
bergumam, Wijoyo bukanlah orang biasa.
***
Tak
terasa, sudah berapa bulan aku tak mengingat Ratih. Tiba-tiba aku tersadar,
betapa kerinduan bisa hadir kapan saja tanpa bisa kubendung darimana datangnya.
Acapkali, kerinduan juga hadir, dan mungkin akan sampai pada taraf yang sungguh
parah, ketika secara sengaja menghadirkan Ratih di dalam benakku. Barangkali
pula aku memang memaksa diriku sendiri untuk merindukan Ratih, semata kulakukan
agar perasaan cintaku pada Ratih tidak menguap begitu saja.
Dan
barangkali senja memang diciptakan bagi orang-orang yang sedang dilanda cinta.
Nyaris tak ada perdebatan tentang keindahan pada sebuah senja yang cerah. Aku
membuai diriku dalam hening senja, membiarkan wajah dihembus angin, sembari
memandang laut lepas yang menghampar. Aku berdiri sendiri di pinggir pantai. Kurancang
sebuah setting yang sempurna untuk kerinduanku ini, Oh Ratihku.
Tiba-tiba,
ketika aku hendak memotong senja, aku melihat sosok yang sementara ini telah
sukses menyita perhatianku dari Ratih. Tak kusangka aku melihat Wijoyo, jauh di
sebelah kananku. Seperti aku, ia memandang laut seorang diri. Oh, ia membawa
serta lukisannya, lukisan yang beberapa waktu lalu ia rampungkan.
Aku
berlari menyongsongnya ketika kulihat ia mulai menghanyutkan lukisannya itu ke
laut.
Napasku
tersengal saat sampai di hadapannya. Aku tidak habis pikir, “Mengapa kau
hanyutkan?”
“Biarlah
lukisan itu bercerita kepada segala yang ditemuinya.”
“Lukisan
itu bercerita?” aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala. Sempat aku berpikir,
mungkin saja Wijoyo telah menjadi gila jika sebutan aneh padanya dirasa kurang
tepat melekat.
“Ya,
kelak setiap orang akan mengetahui kisah ini," kata Wijoyo.
“Bagaimana
mungkin?! Sedangkan aku yang selama ini sering bersamamu, bahkan tak sanggup
untuk sekedar menerka,” kataku gusar.
Wijoyo
menarik napas panjang. Sepertinya berat ia hendak berkata.
“Hellen
adalah seseorang yang dahulu kucintai. Sampai kini ia masih kucintai, hingga
kelak laut ini mengering.”
Oh,
betapa egoisnya lelaki tua ini, kupikir.
“Andai
aku datang saat ia coba mengujiku, tepat di hari perpisahan itu. Tapi bahkan
aku tak melihat bayangmu dan mencium wangi rambutmu,” kata Wijoyo. Lalu ia
membalikkan badannya, pergi meninggalkanku.
Hah!
Aku berteriak. Aku tak sadar, aku terus menggeleng-geleng kepala. Kupandang air
laut yang semakin kuning keemasan, mengombang-ambing dua kanvas lukisan:
Hellen, dan anaknya.
Ketika
aku hendak melangkahkan kakiku pulang, pandangku terpaku di atas pasir yang
tadi terinjak Wijoyo. Samar-samar masih bisa kubaca, Wijoyo menggores kata-kata
di pasir itu.
Kau akan tahu siapakah seorang
lelaki yang mencintaiku dan aku pun membalas cintanya. Ia tak akan mungkin
melepasku pergi.
Oh,
benarlah kata Wijoyo! Aku sanggup melihat rangkaian ceritanya, bahwa Wijoyo tak
datang untuk melepas kepergian Hellen pulang ke Belanda dengan kapal laut!
Bahwa, betapa rendah dirinya Wijoyo, hingga ia tak menyangka bahwa sebenarnya
yang dimaksud Hellen sebagai “seorang
lelaki yang mencintaiku dan aku pun membalas cintanya”, tidak lain adalah
Wijoyo sendiri. Tak ada yang lain.
Wijoyo
sendiri setelah ia menghanyutkan lukisannya itu, aku tak tahu kemanakah ia
pergi.
***
Setelah
peristiwa itu, aku menemui Ratih. Ia selalu menyimakku dengan seksama ketika
kuceritakan kisah Wijoyo tersebut kepadanya. Dan, entahlah, barangkali hanya
sebagai alasan saja agar sebisa mungkin aku sering menemuinya,
kupenggal-penggal kisah Wijoyo tersebut dalam beberapa episode cerita.
Dan
sekali lagi, aku harus mengakui bahwa ucapan Wijoyo memang benar adanya, bahwa
kisah Wijoyo sampai pula ke setiap telinga orang di kampungku dan tersebar
luas. Sebab, Ratih selalu membagi cerita ini setiap kali ia selesai mendengar
ceritaku.
Hingga
pada episode terakhir kuceritakan kisah Wijoyo, Ratih menangis. Ia menutup
matanya dengan kedua telapak tangannya. Aku terdiam. Aku tak berani memeluknya.
“Aku
sedih mendengar kisah ini,” katanya. Selanjutnya ia bertanya, “Lalu bagaimana
awalnya kamu berkenalan dengan Wijoyo?”
Ah,
aku tergagap. Aku kembali terdiam, tak bisa berkata. Aku hanya berpikir, apakah
ini memang waktu yang tepat untuk ungkapkan cintaku pada Ratih? Dan apakah
dengan bercerita bahwa sejatinya ingin sekali aku bertemu dengan Ratih di dalam
alam lima dimensi mimpi adalah memang cara yang telah diskenario Tuhan untukku?
Kegalauan
tingkat dewa benar-benar menghajarku.[]
Ambarawa,
Subuh-Subuh,--30 Maret 2012—