KRITIK DAN APRESIASI CERPEN "LUKISAN WIJOYO"


BEBERAPA CATATAN TERHADAP CERPEN “LUKISAN WIJOYO”
Perpusda Ambarawa, 27 April 2013



Kopdar ke-8 Penulis Ambarawa kali ini mengupas cerpen “Lukisan Wijoyo” yang menimbulkan beragam tanggapan, kritik, dan juga pujian, mulai dari tema, gaya bahasa, alur cerita, hingga pertanyaan apakah cerita ini based on true story?
Cerpen ini misterius! Begitulah pendapat Bu Widati (Mutiara Chinta) yang siang itu jauh-jauh datang dari Semarang. Apakah cerpen memang harus semacam itu? Barangkali ungkapan misterius ini mengacu kepada sosok Wijoyo yang bisa melukis wajah seseorang perempuan (Hellen) yang telah lama tidak ditemuinya. Bahkan, dia mampu menggambar wajah seorang bocah, putra Hellen, yang dia sendiri tidak pernah tahu apakah bocah itu nyata ada, ataukah hanya hidup dalam dunia khayalan Wijoyo saja.
Ditinjau dari tema cerita, beberapa anggota yang hadir berpendapat, cerpen ini memiliki daya imajinasi yang tinggi, mampu menyentuh perasaan pembaca, tetapi sekaligus juga sukses membuat pembaca kebingungan dan kehilangan alur cerita. Cerita ini ditulis dengan gaya cerita berbingkai. Di dalam cerita pokok mengenai kegalauan tokoh aku mengungkap cintanya kepada Ratih, diselipkan kisah cinta Wijoyo yang kandas terhadap Hellen.
Mas Agus Surawan, Ketua Penulis Ambarawa, mengaku bisa menikmati cerita ini. Namun, dia belum mendapatkan klimaks dari cerita ini. Saya juga merasa demikian. Saya sendiri tidak puas dengan cerpen ini. Demikian pula Bu Maria Utami, Bu Budiyanti Anggit, Mbak Arinda Shafa, dan kawan-kawan yang lain.
Tentang teknis penulisan dan gaya bahasa, Mbak Arinda menemukan kalimat yang mubazir. Misalnya, Aku kembali terdiam, tak bisa berkata. Bukankah “terdiam” sama dengan “tak bisa berkata”? Sedangkan Bu Budiyanti Anggit menilai cerpen ini cukup memenuhi kriteria penulisan baku bahasa Indonesia. Penulisan tanda titik, koma, petik, dan sebagainya sudah cukup baik.
Pertanyaan-pertanyaan dan tanggapan pun mengalir. Mas Bambang pun urun uneg-uneg. Ia cukup terganggu dengan kalimat penutup/ending cerita yang menurutnya mengandung bahasa gaul anak sekarang (atau kita menyebutnya ‘alay’). Kalimat yang dimaksud adalah; Kegalauan tingkat dewa benar-benar menghajarku. Nah, apakah kalimat atau ungkapan tersebut tidak bisa digantikan dengan kalimat/ungkapan yang lain? Saya sendiri tidak bisa menjawabnya. Seingat saya, dahulu saya hanya ingin menuliskan kalimat itu saja. Menurut saya itu benar-benar pas untuk menggambarkan deritanya seorang yang lehernya tercekat tidak bisa ungkapkan cinta. :) Untung saja Bu Utami mendukung saya. Beliau mengatakan ending cerita ini cukup bagus. Nyess!
Untuk menjawab beberapa pertanyaan kawan-kawan tersebut, saya terpaksa mengungkapkan bagaimana gambaran cerita yang ada di batok kepala saya. Sesuatu yang sebenarnya saya hindari. Saya sebenarnya sudah monggo saja, bagaimana cerita ini diinterpretasi, ditafsirkan, bahkan dinilai baik atau buruk, cukup atau kurang.
Namun, sebagaimana nasihat yang saya terima sore itu, saya tersadar bagaimana itu sah-sah saja demi proses pembelajaran bersama. Saya juga bisa mengukur kecakapan saya berkisah, dan kawan-kawan juga bisa belajar menginterpretasi. Samakah interpretasi itu dengan maksud yang ingin disampaikan pengarang? Kalau menurut saya lebih tepat begini, seberapa jauh perbedaan perbandingan interpretasi pembaca itu dengan maksud pengarang. Sebab, bagimana pun interpretasi pasti lebih kaya dari pada maksud tunggal penulis. Bukan begitu?
Akhirnya, saya terpaksa berkisah tentang kawan saya cinta mati kepada seorang gadis tetapi dia tidak tahu siapa sebenarnya lelaki yang mengisi hati gadis itu. Suatu ketika sang gadis berkata, “Kalau engkau ingin tahu siapa lelaki yang kucintai, datanglah pada perayaan wisudaku!” Dan kawan saya itu mengalami dilema yang dahsyat. Berat sekali ia mengambil sikap: datang, atau tidak! Datang dan memastikan siapa kekasih hati gadisnya itu, meskipun itu berpotensi besar akan melukainya. Atau tidak datang, dengan konsekuensi dia akan terus berada di dalam teka-teki dan pertanyaan besar. Kisah inilah yang menjadi pondasi dari cerpen ini. Dan inilah satu-satunya bagian yang based on true story.
Lantas, sebenarnya apa amanat dari cerita ini? Bu Anggit sempat mempertanyakan hal itu. Dan saya kembali malas untuk mengungkapnya. Maka saya hanya menjawab, kita harus berani mengambil sikap. Kurang lebih itu saja.
Ternyata, Pandhu yang datang belakangan pun berpendapat yang sama. Bagi saya, sore itu dia seperti Pak Mario Teguh saja. Sebab, dia mengupas tentang amanat dari cerita ini, dan yang keluar darinya tentunya kata-kata nasihat/amanat. Seingat saya dia bilang begini: “Hidup ini penuh dengan risiko yang harus kita ambil dengan berani. Baik dan buruk, keduanya adalah risiko.”
Itulah beberapa catatan yang masih saya ingat. Pastinya, banyak yang tidak tertulis di sini. Dan sepertinya yang tidak tertulis itu adalah bagian yang buruk-buruk. He-he-he.
Salam. [] M. Rifan Fajrin


close