Dirgahayu Komunitas Sastra Lembah Kelelawar
Cerpenku berjudul “Tikus” menjadi buah bibir pada Meja Cerpen #5 Komunitas Sastra Lembah Kelelawar. Hari itu bertepatan pula dengan dirgahayu komunitas itu yang ke tiga, 28 September 2012, Jumat. Tiga tahun sudah mereka berproses dan berkomunitas.
Cerpen
itu sendiri kukirimkan atas permintaan Sulung Pamanggih, cerpenis kawakan IKIP
PGRI Semarang. Aku tidak menyangka, ternyata mereka
membibirkan cerpen itu pada sebuah forum yang—bagiku—cukup unforgotable, pasti.
Sebelumnya, aku pernah hadir dalam Forum Meja Cerpen #2 bersama kawan karib,
Muji Sasmito. Aku pikir, cerpen “Tikus” akan dibibirkan pada forum kecil.
Malam itu aku lumayan puas. Dua pembibir, Izzatul Haniah dan M. Zaenuri, sama-sama mengkritik cerpen itu. Izzatul sendiri, aku pernah berjumpa dengannya saat bersama-sama hadir di Solo, Taman Budaya Jawa Tengah, waktu peluncuran Seri Dokumentasi Sastra TBJT “Tahun-Tahun Penjara”. Izza, begitu aku menyapa dia, dalam antologi tersebut dia menulis “Wasiat”. Sedangkan Zaenuri, dia termasuk sohib yang termasuk awal-awal kukenal semenjak pertama masuk kuliah. Dia satu kelompok denganku waktu makrab di Bumi Perkemahan Bantir Sumowono. Waktu itu, dia pentas pantomim. Ya, dia adalah seniman pantomim, meski sekarang selain mengajar dia juga bangga berprofesi sebagai seorang guru marching band. Pernah suatu ketika aku membantunya sebagai pengisi suara waktu dia pentas pantomim di Laboratorium Teater dan Film Usmar Ismail, atau ruang B1 106. Aku cukup senang waktu itu, sebab Zaenuri adalah seorang yang pengertian, sebagian honornya diberikannya padaku. Aku tidak tahu, waktu itu, siapa yang lebih pantas untuk mengucap terima kasih. Aku rasa, kami berdua sama-sama senang.
Satu
hal yang pertama kali kucatat adalah betapa aku sering membingungkan pembaca
cerpenku. Aku menduga itu tidak lepas dari kepedeanku bahwa aku telah
menjelaskan semua rangkaian peristiwa dan menjelaskan sejelas-jelasnya karakter
yang ada, namun ternyata itu kusinggung sedikit sekali. Ibarat proses
investigasi sebuah kasus, tidaklah cukup bukti untuk mengambil suatu
kesimpulan. Tapi toh aku masih yakin bahwa cerpenku adalah cerpen yang bagus
dan berhasil. Setidaknya, dari sekian banyak hadirin yang mengkritik cerpenku
itu, ada juga pasti yang menaruh apresiasi pada cerpen itu, sembari berkhayal
dan membayangkan “Andai aku yang menulis cerpen itu dan sekarang duduk di depan
sana!” Ha-ha-ha. Ngawur dah, ah!
Yang
jelas malam itu, Mas Zainal Arifin ZA, seniorku jauh di Nuansa yang selepas
dari Wawasan sekarang mengajar sebagai dosen sastra di IKIP, telah memberikan
semangat kepadaku. Ia secara terbuka menanti karya-karyaku yang lain. Ia sempat bertanya padaku, “Seringkah kau membaca Hemingway? Cerpen ini
mengingatkanku pada ‘Cat in The Rain’ milik Hemingway, dengan segala permainan
simboliknya.” Aku membaca cerpen itu setelah diterjemahkan oleh Mas Jimat
Kalimasada, yang juga senior di Nuansa, dengan judul “Kucing yang Kehujanan”, cerpen itu masuk dalam
antologi cerpen Nuansa “Altar Agung” yang diambil dari judul cerpennya Mas
Zainal. Tapi aku menulis “Tikus” sama sekali tidak berpikir tentang cerpen
Hemingway tersebut.
Kupikir,
Mas Zainal tidak main-main dalam memberiku semangat. Sebelum pulang ia
memberiku buku bagus, “Catatan Seorang Demonstran Soe Hok Gie” yang baru saja
dibelinya dari Naga Sukma. []