Mencari Ayah
Anakku sering bertanya, “Dimanakah ayah
kini?”
Saban hari, saat ia mulai membuka mata, atau ketika ia hendak terlelap menembus dimensi mimpi yang didamba akan mempertemukannya dengan ayahnya. Senantiasa ia
berharap dalam mimpinya, dengan
riang ayahnya akan membawanya berlari-larian,
berkejar-kejaran, atau sekadar berjalan-jalan melintasi tempat-tempat yang
selamanya indah. Kemudian jika lelah, ia akan dibawa singgah di sebuah tempat
yang tenang dan nyaman, merebahkan badan, menerawang langit-langit yang tetap
berwarna biru. Dan jika ia lapar dan dahaga, akan dijumpainya sungai-sungai
arak, susu, atau madu yang jernih mengalir deras dan menyejukkan. Atau
tiba-tiba saja datanglah pelayan-pelayan remaja yang berparas sungguh tampan
dan jelita dengan jubah-jubah yang gemerlap, membawakannya nampan-nampan emas
dan perak berisi rupa-rupa makanan yang lezat, menawarkan sejuta kenikmatan.
Namun, setiap kali ia terjaga dari
tidurnya yang gelisah, dengan raut kecewa anakku selalu bertanya, “Dimanakah
ayah kini?”
Dan aku tetap senantiasa memeluknya dan
berbisik, bahwa saat ini ayah sedang tidur lama dan suatu ketika ia akan
terbangun.
Dan jika anakku bertanya, “Bagaimana ayah
akan mengenaliku jika ia tlah tertidur sejak aku lahir?”
Aku jawab, “Ayah pasti mengenalmu, sebab
ia selalu memimpikanmu bahkan sejak sebelum tidur!”[1]
Mendengar penjelasanku, anakku selalu menangis kemudian. Sambil terisak ia lalu bercerita tentang teman-temannya, bocah-bocah kecil yang di matanya telah beroleh segala kesenangan. Teman-teman yang dilihatnya selalu riang.
Dan selalu saja aku diam. Hanya
kuperhatikan wajah anakku bercerita, dengan seksama hingga
ia selesai bercerita. Aku dapat menangkap sinar kerinduannya
akan kehadiran sosok ayahnya. Sosok yang terpatri di benaknya sebagai seorang
yang gagah dan tampan namun berhati lembut dan penyayang, yang akan sanggup
menjaga dan menentramkannya di dalam kondisi apapun.
Ah, Anakku andai engkau tahu, siapakah
sesungguhnya ayahmu, dan dimanakah ia kini...
***
Suatu hari aku terkejut saat anakku
bertanya, “Ibu, apakah aku seperti Isa yang lahir tanpa seorang ayah?”
“Mengapa engkau bertanya demikian?”
“Jawab, Ibu! Apakah aku seperti Isa yang
lahir tanpa seorang ayah?”
Aku terduduk. Aku tak mengerti dari mana
anakku, anak sekecil itu mengenal Isa, mengenal Maryam? Sebersit perasaan yang
tak kumengerti menyelinap di relung-relung kedalaman jiwaku. Hatiku bergetar
dan darahku berdesir pelan.
“Kamu tidak seperti Isa, Anakku,” kataku
pelan.
Entah mendengar atau tidak, anakku
terdiam. Lantas ia berkata.
“Jika aku seperti Isa, maka aku
bertekad, tak akan kubiarkan semua orang yang kita jumpai mengolok-olok kita,
Ibu! Isa terlahir dalam kesucian. Begitu pula Maryam, dia adalah perempuan yang
selamanya suci, tak bernoda, dan tak ada kenistaan sedikitpun padanya.”
Anakku, apa yang sedang engkau
bicarakan? Siapakah yang telah menghembuskan tekad sedemikian tinggi itu
kepadamu? Apakah itu semua murni berasal dari engkau, bocah kecil? Yang
bahkan aku pun tak pernah mengajarkan hal semacam itu kepadamu? Bukankah selama
ini senantiasa aku katakan kepadamu bahwa ayah sedang tidur lama dan suatu saat
dia akan terbangun? Selalu
aku katakan bahwa suatu
saat bersama ayah kita akan bersama-sama membangun sebuah
mimpi, sebuah istana kebahagiaan yang akan kita tempati bersama-sama. Yang
kelak hal itu akan datang, Anakku.
“Sekarang katakan, Ibu! Dimanakah ayah
kini?”
“Bukankah telah ibu katakan berkali-kali
kepadamu, bahwa saat ini ayah sedang tidur lama dan suatu ketika ia akan
terbangun?”
Anakku menggeleng, “Ketahuilah Ibu.
Bahwa aku tlah mendengar kicauan orang-orang, dan mereka mengatakan bahwa aku
terlahir tanpa seorang ayah. Mereka mencibir kepadaku, seolah-olah aku ini
begitu menjijikkan, seolah tak pantas aku berada di depan muka-muka mereka!”
“Percayakah engkau pada omongan mereka?”
“Bagaimana aku tidak dapat percaya, Ibu?
Jika setiap orang yang kujumpai senantiasa mengatakan hal yang sama kepadaku.”
“Jadi sekarang engkau lebih mempercayai omongan mereka daripada apa yang ibu katakan?”
“Tidak, Ibu! Ketika aku mendengar mereka berbicara, sekejap berlesatan semua kata-kata
ibu yang selama ini kudengar. Maka aku berontak. Kulempar mereka dengan batu
dan kotoran yang ada di sekelilingku, Ibu. Aku tidak peduli apa yang nantinya akan mereka perbuat kepadaku atas
tindakanku itu!”
“Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Ibu
tak akan pernah bohong kepadamu. Dan Ibu mohon, hentikan perbuatanmu itu!
Tidak usah engkau melawan! Biarkan saja mereka berbicara sesuka mereka! Bagi ibu, cukuplah engkau mempercayai saja apa kata-kata
Ibu.”
“Tapi, dimanakah ayah kini, Ibu?”
***
Engkau berbisik lemah, “Aku sungguh mencintaimu, Nisa! Dan
aku mohon dengan sangat, jangan engkau gugurkan kandunganmu! Apapun yang
terjadi. Berikan hak kepada anak kita untuk melihat dunia! Dia tidak berdosa,
dia lahir dalam kesucian!”
“Baiklah. Baik. Aku telah mendengarmu. Dan saksikan olehmu
bahwa anak kita akan hadir ke dunia ini, walau apapun yang terjadi!”
Aku menangis menatap masa depan. Bagaimana aku akan
membesarkan anak kita, sedangkan engkau meninggalkan aku sendirian? Bahkan
sebelum engkau sempat melihat begitu tampannya anak kita? Tatkala pada suatu
hening subuh engkau melihat malaikat yang datang menghampirimu, dan engkau pun
tak sanggup mengelak saat ia mencekalmu. Mengapa engkau memaksa aku untuk
bertahan, tanpa mengajakku serta? Terkadang ingin aku menyusulmu untuk mengikat
pertalian diantara kita yang tak sempat terangkai sempurna. Pertalian yang
menjadikan segalanya menjadi sakral dan suci.
Namun aku tak pernah menyalahkan garis takdir yang menimpaku.
Terjerembab dalam kenistaan yang tiba-tiba saja datang. Terkadang aku merasa
tak ingin menyesali apa yang telah kuperbuat bersamamu. Aku diajarkan bahwa apa
yang tlah terjadi memang tak selamanya perlu disesali, hanya jadikanlah hal itu
sebagai pelajaran tentang hidup. Bukankah jauh lebih penting memikirkan langkah
apa selanjutnya agar tak terperosok dalam lubang yang sama? Namun, sayang kesempatan
itu tak datang kepadaku. Aku tak diperkenankan menunjukkan penyesalanku, membuktikan
kesungguhanku, dalam memperbaiki diriku untuk melangkah jauh lebih baik, lebih
cermat, dan penuh kehati-hatian.
Maka aku tak sanggup mengelak saat dalam sekejap berjuta caci
maki datang bertubi-tubi menyerangku. Bahkan berasal dari mereka yang selama
ini amat dekat dan menyayangi aku. Sungguh di mata mereka aku telah mencoreng
jidat mereka dengan lumpur yang kelam. Dan aku, selamanya tak termaafkan oleh
mereka.
“Pergi engkau anak jadah!”
“Di sini tak lagi jadi rumahmu!”[2]
“Kau sudah terhapus dari ingatan kami!”
“Kotor, menjijikkan!”
Sejak itu, jika engkau tahu, aku lantas berjalan sendirian
menyusuri lorong-lorong berdebu. Kubiarkan angin, matahari, bulan, bintang
menuntun langkah kakiku. Tak ada yang menerima keberadaanku. Hingga sampailah
aku di suatu tempat yang bahkan aku pun takut untuk membayangkan jika aku rebah
di tempat itu. Namun, kusadari kemudian bahwa di sanalah satu-satunya yang
sanggup menerimaku dengan sangat-sangat terbuka. Dan andai engkau tahu, di
sanalah hadir anak kita yang senantiasa merindukanmu...
***
Malam menawarkan sejuta keindahan lewat kerlap-kerlip bintang
yang semarak. Seharusnya tenang, seharusnya damai, seharusnya indah. Namun, aku
tersentak dalam untaian doa-doa tahajudku. Tatkala dalam tidurnya yang gelisah
anakku terus berguman, mengigau, dan meneriakkan kata Muhammad!
Aku tak mampu meraba apa yang sesungguhnya telah terjadi pada
anakku. Aku tak berani untuk menerkanya. Dalam benakku hanya terekam dengan
jelas, tatkala ia menanyakan perihal Isa! Dan sekarang, aku khawatir ia akan
bertanya tentang Muhammad, Utusan Allah, manusia terbaik sepanjang masa.
Kuhampiri anakku, kupeluk dan kuciumi wajahnya. Sekejap
basahlah wajahnya oleh air mataku, air mata yang sesungguhnya aku tlah bertekad
tak kan kembali
mengalir sejak aku memulai kehidupanku sendiri. Namun, mulutnya tak juga
berhenti bergumam.
Hingga ia terbangun, dan apa yang kutakutkan pun terjadi
juga, saat anakku bertanya, “Ibu, apakah aku seperti Muhammad yang terlahir tak
pernah melihat wajah ayahnya?”
Aku semakin terisak.
“Jawab, Ibu! Apakah aku seperti Muhammad?”
Kulihat sorot mata anakku yang sangat menginginkan kejelasan
dariku.
“Jika aku seperti Muhammad, lantas mengapa mereka,
orang-orang itu menghina dan mengolok-olok kita, Ibu? Mengapa mereka tak
menerima kita? Bukankah Muhammad dan Aminah berada dalam kebenaran, orang-orang
yang terhindar dari kesalahan?”
“Engkau tidak mengerti, Anakku. Engkau tidak mengerti.”
“Oh, Ibu. Jangan biarkan aku terus-menerus berdiri dalam
kebimbangan.”
“Baiklah, Anakku. Memang engkau bukan Isa. Engkau bukan pula Muhammad.
Dan Ibu, tak seperti Maryam. Tidak pula seperti Aminah. Namun, engkau harus
percaya bahwa Ibu bukanlah seorang pelacur seperti apa yang mereka sangkakan,
Anakku!”
Kulihat mata anakku, ada sorot ketidakpahaman di dalamnya. Namun
tak kubiarkan hal itu berlarut-larut. Kucium bibirnya, dan kupeluk tubuhnya
erat sekali. Sementara malam semakin malam.[]
Selesai
Semarang, 15 Desember 2008
[1] Dari sajak Sosiawan
Leak, Cerita untuk Anak Kita, dari
kumpulan Dunia Bogam Bola (2007), dengan sedikit penyesuaian.