Hitam Putih Kehidupan
Dalam setiap hal selalu ada dua sisi. Ada hitam dan putih, positif
dan negatif, baik dan buruk, dan sebagainya. Begitu pula perlakuan/penilaian
terhadap kondisi tersebut, juga terdapat sisi yang berlainan. Hanya saja dalam
memberikan perlakuan tersebut kita sering tidak sadar. Tidak sadar bahwa kita
tidak adil. Lantas dimanakah letak ketidakadilan tersebut?
Kita ambil contoh
yang kongkrit. Ketika kita melihat seorang anak yang dalam kesehariannya baik,
maka yang akan nampak jelas adalah keburukannya. Walaupun yang buruk itu hanya
sedikit saja. Sebagaimana kata pepatah: “Karena nila setitik rusak susu
sebelanga”.
“Dia adalah anak yang baik. Rajin beribadah dan juga rajin mengaji. Tapi kemarin dia tidak hadir dalam kerja bakti.”
Kata “tapi” seolah-olah telah memberikan penekanan akan keburukannya
dan menghancurkan kebaikannya.
Dalam diri seorang
anak yang baik selalu ada semacam tuntutan untuk selalu baik, perfect
dalam segala hal, tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Seorang anak yang baik
akan selalu dijadikan sebagai parameter tindakan yang patut untuk dijadikan
sebagai teladan sehingga kesalahan sedikit saja bisa membalikkan keadaan
menjadi sebaliknya.
Dalam contoh di
atas dapat kita lihat bagaimana seorang anak yang baik dianggap telah melakukan
kesalahan hanya karena tidak hadir dalam kerja bakti. Padahal belum jelas
sebab-sebab ketidakhadirannya. Dalam hal ini anak yang baik tersebut dianggap
dianggap buruk dalam segi sosialnya. Dianggap tidak pandai berbaur di dalam
masyarakat.
Dalam contoh yang
lain misalnya seorang anak yang berpredikat sebagai siswa teladan rasanya tidak
pantas jika datang terlambat. Atau pada saat ketika ia ketahuan tidak sempat
mengerjakan PR. Atas hal ini akan muncul perkataan: “Siswa teladan kok
datangnya terlambat dan tidak mengerjakan PR.”
Sebaliknya ketika
kita melihat seorang anak yang dalam kesehariannya buruk, maka yang akan nampak
jelas adalah kebaikannya. Walaupun yang baik itu hanya sedikit saja. Kata
pepatah: “sekecil-kecil ikan teri, masih ada juga dagingnya yang dapat dimakan”.
“Dia adalah anak yang buruk perangainya. Sering mabok dan berjudi. Tapi kulihat kemarin dia mau pergi ke masjid shalat berjamaah lho.”
Dalam diri seorang
anak yang dianggap buruk akan ada semacam harapan untuk menjadi baik. Dan
harapan ini akan terus ada jika memang dikehendaki suatu tatanan yang baik dan
rapi. Anak semacam ini akan senantiasa didambakan kapan ia akan
“bertobat” jadi baik. Dan kalaupun harapan itu lama atau sulit sekali terwujud
maka yang akan keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang memaklumi keadaan
tersebut dan anggapan kewajaran.
Dalam contoh di
atas kita lihat bagaimana seorang anak yang kesehariannya buruk, gemar mabok
dan berjudi dapat memberikan kebanggaan dan kebahagiaan ketika anak tersebut
hadir untuk shalat berjamaah.
Padahal seandainya
pun anak tersebut tidak mau pergi ke masjid untuk shalat berjamaah maka tidak
akan menjadi masalah. Orang-orang tidak akan terlalu peduli. Keadaan tersebut
akan dapat dengan mudah dimaklumi. Wajar saja jika anak yang suka mabok tidak
mau shalat berjamaah.
Ada semacam
perbedaan perlakuan antara anak yang dianggap baik dan buruk tersebut. Beban
yang ditanggung oleh keduanya akan berbeda. Jika suatu ketika anak yang baik
tersebut lebih unggul dalam hal prestasi atau akhlaq misalnya, maka akan
dianggap biasa, wajar, tidak istimewa, dan memang seperti itulah keadaan yang
seharusnya terjadi.
Namun, ketika anak
yang dianggap baik tersebut ternyata kalah dalam hal prestasi misalnya, maka
akan menjadi beban yang berat untuk anak yang baik tersebut. Beban yang
ditanggung oleh anak yang baik ini menjadi berlipat-lipat karena kalah dari
anak yang berperangai buruk.
Contoh lain dalam
kehidupan sehari-hari misalnya dalam masyarakat Jawa mengenal basa krama.
Basa krama ini adalah bahasa yang digunakan untuk bercakap dengan orang yang
lebih tua daripada kita atau kepada orang yang dituakan. Misalnya kepada orang
tua, guru, ulama, dan sebagainya. Seorang anak yang dalam kesehariannya baik
ini akan sangat tidak pantas dan memalukan manakala tidak menerapkan bahasa
tersebut kepada orang tuanya. Sedangkan di satu sisi anak yang kesehariannya
buruk ternyata pandai menggunakan basa krama tersebut.
Lantas kita pilih
yang mana? Menjadi orang yang baik dengan resiko keburukan-keburukan kita yang
menjadi sorotan utama, atau menjadi orang yang tidak baik karena ingin
membuktikan bahwa:
“Buruk-buruk begini saya masih punya kebaikan?"
Jika kita orang
yang bijaksana kita tentu akan memilih menjadi orang baik. Apapun resikonya.
Justru dengan kondisi tersebut akan menjadi tantangan bagi kita untuk terus
memperbaiki diri. Bagaimanapun kita akan merasa bangga manakala kita dapat
menerapkan suatu akhlaq yang baik. Disamping juga menjaga perbuatan-perbuatan
kita di masyarakat yang bersifat praksis. Dan pada akhirnya kita akan menjadi
seorang yang baik dalam hubungan yang bersifat vertikal ke atas dan hubungan
horizontal dengan masyarakat sekitar.
Selain itu dengan
kondisi tersebut justru akan menjadi suatu kontrol bagi kita untuk menghindari
perbuatan-perbuatan yang buruk. Kita akan semakin berhati-hati dalam setiap
gerak–gerik kita. Menghindari seminimal mungkin perbuatan-perbuatan yang tidak
baik, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang plural. Dengan demikian hari
demi hari kita akan semakin dewasa dalam bertindak, berpikir dan bersikap. Kita
tentu masih ingat: “Semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin
yang menerpa." [] MRF
_
_