Konser Para Legenda
[Catatan Konser Musik Hijau, Iwan Fals, dkk]
Sabtu malam, 9 Juni 2012, jadwal Piala Eropa mempertemukan Tim Panser Jerman melawan Samba Eropa Portugal, dan partai antara Tim Oranye Belanda dengan Tim Dinamit Denmark yang berada di grup B, grup yang juga dianggap “grup neraka”. Sungguh sayang untuk dilewatkan. Namun, pada hari itu juga beberapa kawan, mereka adalah Johannes Dio, Habib A Abdullah, Yudho Ahong, dan Wisnu Kismoro; datang membawa tiket undangan menonton Konser Musik Hijau di Stadion Pandanarang, Boyolali.
Dilema dan kegalauan sejenak terasa. Mana yang hendak saya pilih: meyaksikan concert Euro 2012 atau menjadi bagian dalam pesta Musik Hijau yang menghadirkan para legenda musik Indonesia? Menyaksikan adu tajam Chistiano Ronaldo dan Mario Gomes, adu kreativitas Luis Nani dan Mesut Oziel, ataukah ikut bernyanyi bersama Ahmad Albar dan Ian Antono, Sawung Jabo dan Sirkus Barock, Totok Tewel, dan Iwan Fals?
Selepas latihan bersama Komunitas Babat Alas, akhirnya saya memilih untuk berangkat ke Boyolali. Toh, hasil akhir bentrok antara Jerman vs Portugal dan gol-gol yang tercipta bisa kulihat di siaran berita televisi. Saya berharap tidak menyesal dengan keputusan tersebut.
Benar saja, saya tidak menyesal sedikit pun. Perjalanan yang memakan waktu berjam-jam dari Ambarawa ke Boyolali yang disebabkan oleh kemacetan pada akhir pekan, dan dinginnya menyibak malam, sama sekali terlupakan. Konser para legenda musik Indonesia terasa begitu hangat.
Mengawali konser, kami berdiri dalam khidmat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Otig Pakis, seniman Bengkel Teater Rendra, mengibarkan bendera kebangsaan Merah Putih mengiringi Indonesia Raya yang berkumandang. Bulu roma kami beserta ribuan penonton yang memadati arena konser bergetar dalam nuansa khidmat dan sakral.
Oppie Andaresta menjadi yang pertama mengisi konser yang bernuansa alam itu. Ia bernyanyi bersama anak-anak kecil menyanyikan lagu tentang alam. Lagu-lagu easy listening yang memikat, berbicara secara jujur dan sederhana tentang pentingnya melestarikan lingkungan dan alam. Meski saya tidak hapal lagu-lagu Oppie, saya merasa asik menyimaknya. Hingga akhirnya saya bisa sedikit mengikuti ketika Oppie membawakan lagu lawasnya zaman saya SD, yang dulu pernah jadi hits dan dikenal anak-anak muda waktu itu: Andai aku jadi orang kaya, andai aku jadi orang kerja.
Setelah Oppie, giliran Elpamas membawakan beberapa tembang andalannya. Suara Riski dan Baruna pada vokalis nampak prima, menyuarakan lagu-lagu yang pada malam itu memang tentang alam dan semesta. Dengan lighting dan sound yang kuat, konser semakin hangat. Beberapa penonton yang nampaknya penggemar musik-musik era 80-an beraliran rock nampak asyik berdendang bersama Elpamas. Penonton semakin bergemuruh ketika Baruna memanggil sang gitaris legendaris Indonesia, Ian Antono, untuk tampil ke atas panggung.
Kehadiran Ian Antono semakin lengkap ketika Ahmad Albar menyusul dan menggebrak lewat lagu Kehidupan. Sontak koor bersama kembali bergema, dan penonton kembali berjingkrak di tengah mendung yang semakin menghitamkan langit malam itu. Selanjutnya penonton sejenak dibuai dalam syahdu lewat “Balada Sejuta Wajah” dan “Syair Kehidupan”. Di saat ini ingin kumencipta lagi/ kan kutuliskan lagu sambil kukenang wajahmu// Malam panjang/ remang-remang/ di dalam gelap aku dengarkan/ syair lagu kehidupan//. Lengkingan suara Ahmad Albar masih terjaga, kala selanjutnya ia membawakan lagu-lagu hits God Bless lainnya: “Semut Hitam” dan “Panggung Sandiwara”.
Malam semakin malam. Langit hitam semakin pekat. Akan tetapi, panggung semakin panas dengan tampilnya Sawung Jabo bersama Sirkus Barock-nya. Bagi saya, Jabo adalah salah satu alasan kuat mengapa saya harus menonton konser malam itu. Seperti yang lainnya, ia membawakan beberapa nomor lagu bernuansa alam juga. Dengan sentuhan musik etnik tradisional, syair yang kuat, dan performa yang tak lantas loyo seiring berjalannya usia, jadilah sajian pertunjukan musik yang hebat.
Kemarin dan esok adalah hari ini. bencana dan keberuntungan sama saja. langit di luar langit di dalam bersatu dalam jiwa. [rendra, 16-5-2008]
Namun, sebenarnya yang ditunggu dari penampilan Sawung Jabo adalah hits-nya yang terkenal: “Hio”. Maka, ketika dengan aransemen anyarnya bersama Sirkus Barock membawakan lagu tersebut, penonton yang sejenak melepas lelah dan duduk, kembali berdiri dan ikut bernyanyi bersama. Aku mau jujur-jujur saja/ bicara apa adanya/ aku tak mau mengingkari hati nurani// Aku hanya tahu/ bahwa orang hidup agar jangan mengingkari hati nurani// Aku tak mau mengingkari hati nurani//.
Pada akhirnya, bagaimanapun puncak dari Konser Musik Hijau “Boyolali Ijo Royo-Royo” yang digelar dalam rangka ulang tahun Kota Boyolali ke-165 sekaligus syukuran keberhasilan Boyolali meraih Adipura tersebut adalah penampilan Iwan Fals. Ia muncul dalam lagu terakhir Sirkus Barock bersama Sawung Jabo: “Kuda Lumping.” Saling menipu sesama penipu/ tidak menipu jadinya tertipu//.
Iwan Fals memang legenda Indonesia. Pada konser tersebut, pelantun musik balada ini total membawakan 12 lagu andalan yang dianggap pas untuk menyuarakan visi dan arah perjuangannya saat ini, yakni masih setia pada kritik problematika sosial bangsa, dan tentang kelestarian alam lingkungan Indonesia. Memang harus diakui, lagu-lagu yang dinyanyikan Iwan sampai saat ini masih relevan, padahal itu merupakan lagu-lagu hits zaman dulu. Oleh sebab itu, hujan pun tak menghalangi histeria penonton yang larut dalam pertunjukan Iwan Fals.
Iwan memulai dengan “Di Mata Air Tak Ada Air Mata" dan “Belum Ada Judul”. Lalu, perlahan langit mulai menangis dan air matanya membasahi bumi. “Setetes hujan turun bersama malaikat. Maka di sini kita ada bersama malaikat!” seru Iwan Fals. Konser berlanjut, dan penonton pun terus bernyanyi dan berjoget dalam lagu: “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, “Pohon Untuk Kehidupan”, “Tanam Siram Tanam”, “Esek-Esek Uduk-Uduk”, “Tikus-Tikus Kantor”, “Surat Untuk Wakil Rakyat”, “Badut”, “Bento”, “Pesawat Tempur”, dan “Lingkaran”.
Di akhir acara, all artist menutup acara dengan bersama menyanyikan lagu: “Rumah Kita.” [MRF]