Satu Lagi Soal NII


Tulisan ini dimuat di Bulletin Express 19 Mei '11
Oleh M. Rifan Fajrin*

Dengar-dengar – waktu saya menulis ini – ada 4 lagi mahasiswa Unnes jadi korban NII. Kabar ini tentu saja membikin kita mau tak mau waspada juga. Ternyata “virus INI” sudah begitu dekat di sekitar kita, atau bahkan malah sudah nempel pada kita.

Ngomong-ngomong soal NII, kawan saya Arya Sutha bilang, jika memang NII itu arah-arahnya untuk mendirikan katakanlah Negara Islam dan menggantikan NKRI (nantinya jadi NII atau bolehah kita sebut NKRII – artinya Negara Kesatuan Republik Islam Indonesia, candanya) jadi ingat lagunya Kantata: BONGKAR! “Membongkar, ndandani, merehab bangunan itu sebetulnya lebih sulit daripada bikin bangunan baru lhoh!” katanya santai.

Nah, dari situ pula saya akhirnya jadi agak ragu juga kalau NII itu arahnya ke situ. Saya justru sepakat dengan pemberitaan awal di Tivi-tivi: Penipuan! Jadi motif sebenarnya adalah untuk kekayaan pribadi atau (mungkin) golongan dengan kedok agama – dogma-dogma, brainwashing soal agama.

Lalu kenapa agama? Sampai di titik ini saya masih percaya bahwa agama masih jadi salah satu tunggangan paling ampuh, cepet, kilat. Sebab, beragama, bertuhan, bagi saya merupakan satu fitrah. Pernah dengar pula kan seorang atheis tulen pun pernah merenung soal tuhan?

Celakanya, dugaan saya, (sekali lagi dugaan lho! Maaf-maaf kalu keliru) korban yang mungkin labil, juga ingin hal yang cepet, kilat, dan instan pula! Membayar sekian-sekian rupiah untuk pertobatan, diampuni dan dibersihkan dari dosa-dosa. Maaf, ini memang sensitif, tapi pemberitaan di media-media memang perlu kita kritisi lagi kok, termasuk tentang ini. Berangkat dari fitrah “keinginan beragama dan bertuhan” itu tadi, menurut saya ini jadi masuk akal. Maka, saya kira bentuk pendampingan-pendampingan kemahasiswaan itu jadi solusi yang pas.

Satu hal yang bikin resah, justru efek dari isu santer perekrutan NII yang basisnya masjid! Konon, banyak ortu yang kemudian melarang anaknya ke masjid. Ini mirip pas zaman-zaman teroris macam Amrozi dan Noordin M. Top, saya dilarang ngaji neko-neko oleh ibu saya. Ini yang bikin sedih sebenarnya. Saya jadi berpikir: Orang tidak mungkin memilih untuk tidak berpakaian hanya gara-gara pakaian itu penuh kutu. Harusnya kan tetap berpakaian, singkirkan kutu-kutu itu! []
close