Cerita dari Kedai Kopi
Sebagai seorang sastrawan kadang saya rela menghabiskan banyak waktu untuk sekadar nongkrong di kafe, atau kedai-kedai, hanya untuk mengamati perilaku orang-orang yang terkadang sungguh sangat unik. Bila sedang sepi inspirasi saya bisa berjam-jam mengamatinya. Saya akan mencatat setiap detil perkataan-perkataan seseorang untuk menggali keunikan karakter mereka, kemudian saya simpan dalam memori otak saya untuk saya ciptakan menjadi seorang tokoh dalam sebuah naskah cerpen. Kadang pula saya mesti rela membayar seseorang untuk saya dudukkan dia di hadapan saya, minum teh atau kopi bersama, sambil saya menyuruh dia untuk menceritakan pengalamannya yang sekiranya menarik dan berkesan untuk saya jadikan sebuah naskah fiksi.
Untuk sore ini, saya masuk ke sebuah kedai kopi. Saya sengaja memilih tempat agak ke pinggir agar saya sesekali dapat melihat ke luar ke arah jalan raya, jika sedang tidak saya dapati sesuatu pun yang menarik di dalam kedai kopi. Ketika pelayan datang, saya segera memesan seteko kecil kopi ditambah dua bungkus rokok sekaligus, karena nampaknya akan memakan waktu yang lama saya duduk di kedai ini.
Suasana masih sepi. Biasanya memang kedai ini mulai ramai ketika hari beranjak malam. Namun saya sengaja datang lebih awal agar dapat mengamati kedai hingga menjelang tutup nanti malam. (Mungkin anda bertanya, kapankah waktu saya salat. Percayalah bahwa saya tetap menjaga waktu salat saya. Jika telah datang seruan azan, saya akan memberi tahu kepada pelayan untuk nitip pesanan saya, nanti saya akan datang lagi. Saya tidak peduli berapa uang yang harus saya keluarkan untuk itu). Setidaknya dengan begitu, pengamatan terhadap orang-orang yang berlalu-lalang pun akan lebih banyak saya dapatkan, dan tentunya juga lebih bervariasi.
Tidak berapa lama saya duduk, dari arah timur meluncur sebuah mobil sedan hitam dengan kecepatan sedang. Saat mendekati kedai, sedan tersebut perlahan-lahan menurun kecepatannya. Saya menduga orang di dalam sedan tersebut akan mampir juga ke kedai ini. Benar saja dugaan saya. Sedan itu benar-benar berhenti tepat di depan saya. Petugas parkir dengan cekatan segera mengatur dimanakah sedan hitam tersebut mesti diparkir.
Kemudian seorang lelaki berjas hitam bertubuh agak gemuk turun. Saya sempat mengamati wajahnya. Hingga lelaki tersebut masuk ke dalam kedai, mencari tempat duduk yang pas, saya masih terus saja memperhatikannya. Seorang pelayan datang menghampirinya. Rupanya dia memesan secangkir kopi plus sepiring donat. Kopi di sini memang terkenal nikmat. Maka jangan heran, walaupun hanya untuk secangkir kecil kopi, kita kadang bisa mengeluarkan uang sampai lima belas ribu. Tapi harga sebesar itu rupanya tidaklah menjadi soal bagi orang-orang yang datang ke kedai ini.
Lelaki itu, saya perhatikan sangat nikmat melahap potongan-potongan donat yang dipesannya sambil sesekali menyeruput kopi yang masih panas itu secara perlahan-lahan, kelihatannya sungguh-sungguh nikmat. Saya masih terus memperhatikannya. Ketika lelaki tersebut tengah bersiap memasukkan sepotong donat lagi ke dalam mulutnya, rupanya handphone dalam saku sebelah kanan jasnya bergetar. Serta merta ia mengambil HP-nya dengan tangan kanannya, adapun donat yang semula berada di tangan kanannya ia pindahkan ke tangan kirinya. Tangan kanannya sekarang sibuk memencet-mencet HP-nya, menulis pesan singkat. Ia menulis dengan sesekali menggigit donat di tangan kirinya, sedangkan matanya tetap tertuju pada layar HP-nya.
Saat lelaki itu rupanya telah selesai menulis pesan singkat, sekonyong-konyong ia memuntahkan donat dari dalam mulutnya. Lantai pun menjadi kotor dengan sisa-sisa kunyahan donat tersebut. Namun, nampaknya dia tidak peduli. Lelaki itu tetap bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Atas peristiwa tersebut datanglah pelayan dengan tergopoh-gopoh. Kelihatannya pelayan itu akan meminta maaf kepada lelaki itu dan juga menanyakan ada apakah gerangan yang sedang terjadi. Saya tertarik untuk menyimak pembicaraan mereka. Maka saya pun segera mencari kursi yang agak dekat, supaya saya dapat mendengarkan pembicaraan mereka walaupun mungkin samar-samar.
“Maafkan kami, Tuan. Apakah donat itu sudah tidak baru lagi?”
“Oh, tidak. Donat itu masih baik kok,” kata lelaki itu santai.
“Lantas mengapa Anda memuntahkannya?”
“Tidak apa-apa. Alasannya kadang terdengar sungguh sepele bagi orang-orang.”
“Alasan yang sepele? Hanya untuk alasan yang sepele Anda memuntahkan donat kami? Cobalah jelaskan kepada kami, Tuan! Bagaimana seandainya orang-orang yang datang ke kedai ini menyangka makanan kami sudah tidak layak dihidangkan? Bukankah itu merugikan kami? Dan setidaknya Anda telah mengotori lantai!” pelayan itu menjadi agak marah setelah mendengar jawaban dari lelaki berjas hitam.
“Dengarkan anak muda yang tak tahu sopan santun! Cobalah untuk tidak keburu emosi. Tugasmu di sini adalah melayani setiap pembeli yang datang dengan sebaik-baiknya.”
“Ya, dan saya sangat mengerti pekerjaan saya. Dan hal ini saya lakukan adalah untuk memberikan kenyamanan bagi para pelanggan yang datang kemari. Sudah saya katakan tadi, bagaimana seandainya kedai ini telah ramai dikunjungi orang, dan orang-orang setelah melihat kelakuan Anda tadi menyangka makanan di sini sudah tidak layak, atau mereka merasa jijik berada di kedai ini setelah melihat makanan yang Anda muntahkan tadi!”
“Cukup! Berapa gaji kamu sebulan? Tanyakan kepada majikan kamu, apa tugas kamu di sini! Apakah kamu ditugaskan di sini untuk memarahi setiap tamu yang datang?”
Lelaki itu nampak kecewa. Sedangkan saya diam saja sambil sesekali menuangkan kopi dalam teko ke dalam cangkir kecil yang saya pesan dan menyeruputnya perlahan-lahan.
“Baiklah, sekarang kamu minta ganti rugi berapa?”
Pelayan itu diam. Dan ketika pelayan itu seperti hendak menjawab, lelaki itu bangkit dan meninggalkan tiga lembar uang seratus ribu di atas meja. Jumlah yang tidak biasa jika hanya untuk sekadar tip.
Lelaki itu pun bergegas menuju mobilnya. Sedangkan pelayan itu masih terpaku. Pada saat itu perhatian saya tidak lagi tertuju kepada pelayan yang masih terpaku itu, atau apa yang hendak dilakukan oleh pelayan tersebut terhadap uang yang ditinggalkan lelaki tadi. Saya tidak tertarik pada hal itu. Saya lebih tertarik untuk menanyakan sesuatu kepada lelaki itu. Apakah sebenarnya alasan dia memuntahkan donat yang dipesannya tadi?
Maka ketika lelaki itu hendak membuka pintu mobilnya, saya segera menghampirinya. Setelah memperkenalkan nama, saya pun menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Mengapa ia tadi memuntahkan donat yang dikunyahnya.
Lelaki itu nampaknya masih agak kesal. Mungkin ia mengira saya adalah salah satu staf pelayan kedai tersebut. Maka saya pun kembali menjelaskan bahwa saya adalah juga seorang pembeli di kedai itu. Melihat kesungguhan saya, rupanya lelaki itu percaya.
“Apa pekerjaan Saudara?”
“Saya seorang penulis dan penyair.”
“Bagus. Seorang penulis harus bisa menjadi pelayan yang baik pula.”
“Maksud Anda?”
“Semua pekerjaan yang ada pada intinya adalah untuk memberikan jasa pelayanan. Tanpa kecuali, mulai dari yang kecil hingga yang terbesar. Mulai dari tukang cukur, tukang masak, tukang cuci, hingga presiden sekalipun adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Presiden harus menjadi pelayan yang baik!”
Saya pun mengangguk-angguk dan sedikit tersenyum.
“Pekerjaan Anda sendiri?”
“Pelayan!”
“Pelayan?” saya tersenyum.
“Ya. Seorang direktur bank mesti bisa memberikan pelayanan yang terbaik kepada nasabahnya.”
Mendengar penuturannya saya lagi-lagi tersenyum sehingga saya tidak menyadari bahwa lelaki itu telah masuk ke dalam mobil sedannya. Sesaat saya tertegun dan lantas tersadar, saya mesti menanyakan satu hal lagi.
“Tuan! Tunggu sebentar! Mengapa Anda tadi memuntahkan donat dari mulut Anda?” saya setengah berteriak.
Mobil pun berhenti sesaat. Lalu dari jendela mobilnya, lelaki itu mengeluarkan kepalanya dan menjawab pertanyaan saya dengan setengah berteriak pula.
“Saya tidak sadar memakannya dengan tangan kiri!”
Saya kembali tertegun. Sesaat kemudian saya lantas bergumam, “Akan sangat menarik jika saya tulis kisah ini dalam cerpen!
[] Semarang, When I Fall in Love