Pandangan tentang Konflik Sosial dan Politik

Konflik bukan merupakan suatu hal yang asing dalam kehidupan manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa konflik sudah ada sebelum manusia ada. Salah satu contoh adalah dalam sejarah kenabian Islam. Di situ dikisahkan awal penciptaan manusia oleh Tuhan yang didahului dengan konflik antara Tuhan dan Iblis (Syahputra 2006: 1).


 
Sejarah mencatat bahwasanya konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia, sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil untuk menghilangkan konflik di muka bumi ini, baik itu konflik antarindividu maupun antarkelompok. Jika konflik antara perorangan tidak bisa diatasi secara adil dan proposional, maka hal itu dapat berakhir dengan konflik antarkelompok. Dengan kata lain, munculnya sebuah konflik tidak lain karena bersinggungannya pihak satu dengan yang lain.

Konflik merupakan suatu gejala yang tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, konflik dengan sederhana dimaknai sebagai suatu yang bersifat alamiah dan naluriah. Artinya, konflik merupakan fenomena kemanusiaan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Konflik merupakan kodrat bagi manusia. Konflik bersifat given dalam kehidupan manusia. Karena itu, tidak heran bila kemudian kita menyaksikan ada kalanya konflik sengaja dipilih manusia secara sadar untuk menyelesaikan masalahnya.

Salert (dalam Syahputra 2006: 11) mendefinisikan konflik sebagai benturan struktur dalam masyarakat yang dinamis antara struktur yang dominan dan struktur yang minimal. Motifnya adalah penguasaan sumber daya dalam masyarakat, baik sumber daya politik maupun ekonomi.

Senada dengan Salert, Freud (dalam Syahputra 2006: 12) menyatakan bahwa konflik adalah pertentangan antara dua kekuatan lebih, yang mengandung agresivitas dan diekspresikan. Dalam hal ini, konflik dimaknai sebagai tindakan saling serang dan mengandung unsur kesengajaan. Unsur kesengajaan ini dipicu karena adanya dorongan untuk saling menjatuhkan dan adannya keinginan untuk saling menguasai.

Dalam prespektif secara umum, konflik diartikan sebagai pertikaian, pertentangan atau perselisihan yang diidentikkan dengan kekerasan. Anggapan tentang konflik yang identik dengan kekerasan tersebut berawal dari pemikiran yang menganggap bahwa konflik hanya mencakup konflik fisik, seperti kerusuhan politik, pemberontakan, revolusi, dan perang antarbangsa. Dalam hal ini, konflik berarti dilibatkannya benda-benda fisik dalam menyelesaikan perbedaan tersebut.

Anggapan tersebut tidaklah salah dan juga tidak mutlak kebenarannya. Sebab ada konflik selain fisik yaitu konflik lisan. Konflik lisan terjadi bila pertentangan atau perbedaan tersebut belum sampai pada penggunaan benda-benda fisik. Konflik lisan dapat berupa debat, polemik, perbedaan pendapat, dan lain sebagainya yang hanya terbatas pada saling menyerang dengan kata-kata. Dalam konteks ini, konflik dapat dipahami sebagai pertarungan memperebutkan wacana sosial, bukan memperebutkan kepentingan praktis. Syahputra (2006: 6) meyatakan bahwa konflik bukan saja terjadi di lapangan secara tajam, tetapi juga terjadi dalam ranah wacana alam pikiran publik. Setiap kelompok selalu berinteraksi, saling timpa, dan tumpang tindih memperebutkan dominasi terhadap publik.



close