Ketenangan yang Terusik, Bagian 3

rifanfajrin.com - Ketenangan yang Terusik, Bagian 3

rifanfajrin.com


Baca sambungan cerita sebelumnya, Ketenangan yang Terusik #Bagian 2




“Aku bermimpi sangat buruk, Fallev!” kata Maria memulai ceritanya.
“Kau bermimpi...?”
“Ya, aku bermimpi.”
Dengan cepat Maria memotong pertanyaan Fallev. Dalam benak Maria, pertanyaan Fallev itu adalah sebuah pertanyaan keheranan pada mimpi itu sendiri dan pada akibat yang ditimbulkan oleh mimpi itu. Mimpi seperti apakah yang dapat menimbulkan ketakutan pada diri Maria? Di satu sisi, Maria memotong pertanyaan Fallev yang seolah meremehkan, yang seolah hendak mengatakan: kau (hanya) bermimpi? Bukankah itu hanya mimpi? Tak perlu kau risaukan, Maria!
“Mimpi itu sangat buruk, Fallev!” katanya lagi.
“Ceritakan padaku, mimpi itu, Maria. Namun, sesungguhnya kau tak perlu terlalu mencemaskan itu. Bukankah mimpi hanyalah bunga tidur?”
Benarlah dugaan Maria, Fallev hendak meremehkan mimpi itu.
“Aku akan bercerita padamu, tapi kau harus sungguh-sungguh mendengarkannya, Fallev! Dan juga, kau tak akan meremehkannya, atau mengolok mimpiku ini. Janji?”
“Ya, aku berjanji. Sekarang ceritakanlah kepadaku, Maria! Aku akan berusaha menjadi seorang pendengar yang baik!
“Dalam mimpiku, aku diberi tahu kalau kita sebenarnya mempunyai seorang anak, Fallev. Namun, entah mengapa, anak itu menghilang dari rahimku, atau ia sengaja pergi, Fallev. Sayang, siapakah orangnya yang mengabarkan itu kepadaku, aku tak mengenalnya, bahkan aku tak tahu rupa wajah dan wujudnya.”
“Kau mempercayainya, Maria? Kau percaya mimpi itu?” Fallev bertanya.
“Kau telah berjanji akan mendengarkan ceritaku, Fallev. Kau pun telah berjanji tak akan mengolokku. Tahukah, jika aku merasa sebagai seorang yang bodoh telah mempercayai mimpi itu, Fallev. Namun, kuharap kau mengerti, mengapa aku meyakini kebenaran mimpi itu? Aku pun menyadari, keyakinanku pada mimpi itu bukan semata-mata karena keinginanku yang masih sangat tinggi untuk suatu saat kita memiliki seorang anak, dan mimpi itu merupakan pertanda. Namun, aku mempercayai mimpi itu karena mimpi itu tergambar sangat jelas di mataku, Fallev!”
“Seseorang datang kepadaku dalam mimpiku, memberiku seorang anak laki-laki. Tapi, sebentar kemudian diambilnya kembali anak itu dari tanganku sebelum sempat aku memeluknya dan menciuminya. Bahkan wajah anak laki-laki itu masih samar saja, aku masih belum bisa mengingat wajah anak laki-laki itu. Aku masih tak mengerti mengapa ia mengambilnya dariku. Aku bertanya-tanya mengapa,” Maria  tercenung, memandang lurus ke depan. Sesekali ia menatap mata Fallev. Air matanya menetes.
“Hingga belum hilang rasa penasaranku, giliran seorang lelaki tua berpakaian serba hitam datang menghampiri aku, Fallev. Dia datang dengan tergesa. Aku merasakan ada sesuatu yang tak menyenangkan akan terjadi, meski hal itu kusadari hanya ada di dalam mimpi. Kurasa ia datang mengikuti anak kita. Ia hendak mengambilnya pula. Sampai di sini aku bingung, siapakah mereka sebenarnya? Siapakah dia yang mengantarkan anak kita datang kepadaku lantas mengambilnya kembali, dan siapakah lelaki tua itu? Mengapa mereka seolah hendak memperebutkan anak kita, Fallev? Apakah ini sesungguhnya yang sedang terjadi?”
Mendengar cerita Maria, Fallev teringat, ia baru saja telah berjumpa sosok yang juga masih misterius, yang sebentar kemudian juga menghilang. Ia menerka-nerka, bahwa sosok lelaki yang datang dalam mimpi Maria adalah sama dengan sosok yang telah dijumpainya itu. Ya, tak salah lagi. Namun, tujuan apa dia datang? Apakah memang dia datang hendak mengusik ketenangan mereka?
“Dia sempat berkata-kata kepadamu, Maria, lelaki tua yang berpakaian serba hitam itu?” tanya Fallev, mencoba meraba maksud kedatangan lelaki tua itu, lewat perkataannya. Yang dimengerti Fallev saat ini, bahwa lelaki tua itu mencoba untuk melemparnya dengan batu tepat di kepalanya. Dan itu adalah pertanda maksud yang buruk hendak dialamatkan kepadanya.
Maria terdiam dan berpikir sejenak.
“Ya, dia hanya berkata, ‘Di mana anak lelakimu, Maria?’ Dia terus saja bertanya seperti itu kepadaku. Dan aku hanya diam saja. Aku tak dapat menjawab pertanyaannya yang berulang-ulang itu. Lelaki itu, sepertinya cukup serius dengan ucapannya, Fallev. Dan dia terlihat sangat marah saat aku hanya terdiam. Itu yang membuat tidurku sangat gelisah, Fallev. Aku merasa ada sesuatu di luar sana yang tak senang akan kehadiran kita di sini, dan kini dia hendak menghancurkan kita.”
Tes. Sebutir air mata Maria jatuh lagi, membasahi pipinya, mengalir sampai ke dagunya.
“Tenanglah, Maria. Semoga kita dapat bersama-sama menghadapinya. Meski kekuatan di sana sangatlah besar dan kuat. Tetapi aku tak peduli dengan itu semua. Apa pun yang akan terjadi, aku telah siap menghadapinya!” ucap Fallev mencoba menenangkan hati Maria.

Maria membiarkan tubuhnya bersandar di dada Fallev. Membiarkan sejenak kegelisahannya tumpah terbagi di dada itu.

Bersambung ke bagian selanjutnya: TERPURUK
close