Surat Cinta

Surat Cinta

rifanfajrin.com
Ilustrasi


I
Assalamualaikum Wr. Wb.
Semoga ketenangan selalu menyelimuti jiwamu, wahai pemuda yang lembut hatinya. Aku harap akan senantiasa demikianlah adanya keadaanmu ketika engkau membaca rintih hatiku ini.
Pada akhirnya dengan segenap keberanian yang mengumpul aku memutuskan untuk mengirimkan surat ini kepadamu, setelah sekian lama aku bergelut dengan bayang-bayang ketakutan yang sangat.
Bersama surat ini aku sampaikan keadaanku yang berselubung kebimbangan dan air mata. Hingga aku telah lupa bagaimana rasanya tidur yang lelap akhir-akhir ini. Andai kau tahu, setiap pagi kudapati bantal yang selalu menemaniku selalu basah oleh air mata. Bukan karena embun yang engkau selalu bilang bahwa ia adalah lambang kesejukan dan semangat untuk memulai hari-hari. Dan kau pun bilang bahwa air mata itu tak selamanya baik bagi perempuan. Namun, begitulah kesedihan hatiku menyadari keadaan ini.
Semoga saja surat ini telah sampai kepadamu sebelum aku semakin tersiksa oleh kebimbangan dan ketidakrelaan sebab kuatnya memori keindahan yang melekat di benakku. Memori itulah yang kusadari kemudian telah memberiku kekuatan untuk menuliskan surat ini. Memori yang seolah telah menjadi lensa yang melekat erat di mataku, dan tak mau lepas, sehingga apa pun yang kulihat selalu saja menggiringku untuk mengingatmu.
Seuntai kalung pemberianmu ini pun, (kau masih ingat bukan? – kalung yang kita dapatkan waktu berjalan-jalan sore itu?), hingga kini masih setia melekat di leherku. Sesekali memang kulepaskan ia. Namun ia baru kulepas saat aku sangat-sangat merindukanmu, lantas biasanya aku akan erat menggenggamnya, melekatkannya ke dadaku, dan menciumnya dengan sangat lama. Aku tlah bertekad, tak ada yang akan menggantikannya melingkar di leherku, tak kuizinkan!
Dulu kau sendiri juga bilang, “Kalung mungkin tak begitu berarti, namun bila kau suka memakainya, itu akan menjadi sangat berarti bagiku.” Engkau pula dahulu yang memakaikannya untukku. Dan sekarang, aku ingin membuktikan itu. Aku tak percaya bahwa itu hanyalah omong kosong, pernyataan picisan muda-mudi yang tak dapat dipertanggungjawabkan sama sekali, dan hanya butuh beberapa waktu saja untuk menghilangnya pernyataan itu, dan terlupakan, sebagaimana yang kerap didengungkan orang-orang.
Aku ingin kau tahu, sejak saat itu, aku kemudian yakin bahwa kita dilanda satu perasaan yang sama. Perasaan yang kukira hanya ada dalam diriku. Keyakinan itu pun semakin menjadi kala kau pun hanya tersenyum saat kuperlihatkan gambar wajah kita melekat pada dua sisi bandulnya. Kau rela, kau tak menolaknya. Aku merasakan, andai pun kita tak terhalang oleh rasa malu dan oleh sekat bernama kemuliaan dan kesucian, aku bisa membaca, bahasa tubuhmu mengabarkan kepadaku keinginanmu untuk memelukku saat itu….
Oh, cinta. Aku percaya sepenuhnya, bahwa cinta memang suatu anugerah dari Dzat yang jiwa kita berada dalam genggam-Nya. Cinta telah memberiku kekuatan untuk melakukan kebaikan-kebaikan dengan riang. Segalanya menjadi indah bagiku. Benarlah kiranya yang kau katakan, bahwa jika seseorang yang sedang jatuh cinta, maka sesungguhnya ia tengah disayang oleh Tuhan dengan segala sifat pengasih dan penyayang-Nya.
Ya, aku menjadi bersemangat menjalani hari-hari. Kau tahu mengapa demikian? Sebab kau selalu ada dalam anganku. Hingga (aku beristighfar jika memang aku bersalah karena ini), seolah-olah aku selalu kau perhatikan dalam setiap langkah dan perbuatanku. Ketika aku hendak mencuci, membersihkan ruangan, kamar-kamar, saat aku memijit lengan ayah atau menimba air untuk mandi ibu, selalu dalam hatiku berbisik, “Betapa cantiknya dirimu, Ayvia. Dan sungguh pemuda itu akan beruntung mendapatkan engkau!”
Begitulah....
Sering malam-malam aku mengadukan kepadamu, aku tak dapat tidur. Kau pun kemudian melontarkan kepadaku kata-katamu yang mampu menghiburku, menenangkanku, yang membuatku bisa tertidur nyenyak kemudian, dan pasti berujung pada binar-binar semangat pada diriku untuk menjalani hari-hari esok. Aku menjadi sangat bersemangat. Aku menjadi sangat bergairah dan berharap bisa hidup lama, hingga seribu tahun pun, dengan keadaan yang seperti itu selamanya.
Perasaan cinta telah melanda diriku. Dan celakanya, aku merasa sangat yakin bahwa sesungguhnya kau pun mencintai aku. Kau tak dapat membohongi diriku. Dan kau pun sebaiknya tak membohongi dirimu sendiri.
Maka kini, dengan segala kerendahan hati dan dengan mengenyahkan jauh-jauh perasaan malu dan hina dina, aku ingin benar-benar tahu, bagaimanakah sesungguhnya perasaanmu kepadaku? Di manakah sesungguhnya aku kau letakkan? Apakah aku benar-benar kau tempatkan dalam kedalaman hati yang sunyi dan terindah?
Emmm. Mungkin akan coba kuingatkan kembali betapa sayangnya kau padaku. Mengingat itu, aku seakan mendapatkan bukti yang nyata bahwa perasaanku tak salah. Dulu, waktu aku terjerembab dan keranjang berisi belanjaan pun jatuh berserakan, kau ingat, bukan? Kakiku sobek dan berdarah. Tak kuduga kau – yang mengapa selalu kebetulan ada di dekatku – datang dan memarahi aku. Aku memang teledor dan kurang hati-hati waktu itu. Tapi, mengapa kau memarahi aku sedangkan kau yang paling panik dan ribut saat itu untuk menolongku? Berteriak minta cepat diambilkan P3K, kau sendiri yang melumuri lukaku dengan obat merah, lalu membalut luka di kakiku sambil terus mengomel? Sadarkah, jika kuperhatikan wajahmu terus-menerus saat itu? Kau begitu romantis, membalut luka bukannya menghibur dan menenangkan, menanyakan kesakitanku atau tidak, melainkan dengan terus menceracau?!
Oh, hari-hari setelah itu, kau pun yang selalu menanyakan perihal kakiku. Mengajakku berjalan-jalan kembali seperti anak-anak dan remaja. Tak sadarkah kau calon ustad?
Indah....
***
Wahai pemuda....
Begitulah cinta yang menggebu dalam hatiku.
Namun mengapa secara tiba-tiba kau semacam membikin jarak? Bahkan jauh sebelum kita sama-sama mengetahui perjodohan yang tak dapat kuelakkan? Aku bertanya-tanya, apakah mungkin kau telah mengetahuinya jauh sebelum aku tahu? Aku sempat punya prasangka buruk, jangan-jangan kau pula yang memiliki rencana akan perjodohanku itu?
Tahukah, betapa terpukulnya aku. Remuk redam hatiku.
Aku benci!!!
Aku benci pada ketakberdayaan!!!
Aku benci pada ketidaktahuanku memahami semua ini!!! Mengapa semua ini harus terjadi?
Apakah neraka telah bocor dan masuk ke dalam kehidupanku? Kau tahu, aku sangat menderita. Sosok ayah dan ibu yang kukagumi, berubah menjadi sosok yang begitu menakutkan dan menyebalkan. Namun aku bisa berbuat apa?
Aku terkurung dalam kebisuan. Di dalam kamar yang tak ubahnya dinding penjara yang angkuh mengejek pesakitan sepertiku.
Kala angin berhembus masuk melalui jendela kamarku yang menjadi sering terbuka, dan melalui jendela itu pula terhampar di mataku langit yang cerah dengan awan-awan putih menawarkan keindahan yang berpadu dengan ketegaran gunung itu, kusaksikan hanya menjadi satu ironi bagiku. Aku menjadi tak berarti. Hari-hari yang nanti menjelang, tentu aku akan memandangnya bersama seorang yang – bahkan pernah terpikirkan pun tidak – tak pernah ada bagiku hasrat untuk mengarungi sisa waktuku bersamanya.
Maka melalui surat ini pula, kumohon kepadamu, bebaskan aku dari bayang-bayang masa depan itu. Hapuskan untukku, untuk kita. Aku masih berharap engkaulah yang nanti berdiri bersamaku di depan jendela itu.
Sekali lagi kumohon. Jadilah engkau laki-laki sejati! Jadilah kau ksatria!!! Ksatria yang dapat mengubah segalanya yang telah tersusun nyaris tanpa cela ini, dimana hari pernikahan itu telah semakin dekat. Segalanya kini bergantung padamu.
Peluk dan cium dariku yang selalu merindukanmu,
Lara Ayvia


II

ÉÇ ÉOŠÏm§9$# `»uH÷q§9$# «!$# Oó¡Î0
Assalamualaikum Wr. Wb
Adalah hal tersulit dalam hidupku saat aku harus membalas surat darimu, Lara. Semua yang kau ceritakan dalam suratmu hanya membuatku merasa lemah. Dan tak ada kelemahan bagiku melainkan satu hal yang cukup sulit untuk dipulihkan andai tak benar-benar memiliki tenaga yang cukup besar.
Lara, kiranya saat inilah waktu yang tepat pula bagiku untuk berkata yang sebenarnya. Kupikir tak akan ada waktu atau kesempatan lagi untuk mengungkap keburaman ini. Lalu tiba-tiba datanglah suratmu itu. Maka sekaranglah saatnya yang paling tepat. Bahwa benarlah apa yang kau rasakan, apa yang kau duga selama ini mengenai perasaanku terhadap dirimu. Aku benar-benar tak menyangka bahwa kita dilanda satu perasaan yang sama, meski tanda-tanda telah berbicara cukup lantang dan jelas.
Sebagaimana kalung yang masih melekat di lehermu, pisau yang kau berikan pun masih tersimpan baik padaku. Kujaga ia agar tak berkarat dan akan tetap berkilat-kilat sebagai tanda tajamnya naluri dan perasaan kita berdua yang sama mengenai cinta.
Mengenai cerita-ceritamu, aku masih sangat mengingatnya.
Aku tahu. Ini sangat terlambat. Entah terlambat bagimu, atau terlambat bagiku sendiri. Dan keterlambatan selalu berkait soal waktu. Namun, percayalah, tak ada yang patut dipersalahkan mengenai ini. Tak pula soal waktu. Waktu tak pernah bisa dipersalahkan. Justru dengan waktu semoga menjadikan kita semakin dewasa, Lara.
Waktu jugalah yang akhirnya membuat kita terhenyak bahwa pada akhirnya engkau tiba pada suatu saat yang memaksamu menatap masa depan. Engkau harus menjalankan tugasmu sebagai seorang wanita. Dan tak ada yang berhak merasa paling benar mengenai perjodohan itu, Lara.
Jika pun engkau sekarang memaksaku untuk menjadi laki-laki yang sejati, yang mampu merubah segalanya, maka aku takut itu hanya akan menjadikan kita sebagai seorang yang tersesat pada keyakinan diri sendiri. Padahal keyakinan itu sendiri belumlah kita pahami benar-benar, bahwa keyakinan itu benar-benar benar.
Aku tak sanggup Lara. Maafkan aku. Aku tak mampu melakukan ini, bukan oleh sebab aku tak hendak memperjuangkan cita-cita cinta, bukan pula telah lenyap perasaan cintaku padamu. Namun, sekali lagi, siapakah yang paling mengerti mengenai jodoh seseorang?
Andai kau tahu, aku pun sama remuk redamnya dengan dirimu.
Tapi, ingatlah akan kebaikan-kebaikan, bagaimana pun seorang gadis yang belum dimiliki, maka baktinya adalah bagi Tuhannya, Rasulnya, dan bagi kedua orang tuanya. Maka bahagiakanlah ayah dan ibumu. Tak percayakah kau bahwa mereka sangat menyayangimu?
Kini, tak usahlah kau merasa bersalah. Tak usahlah kau merasa sedih dan menderita. Jika kau merasa bersalah, tataplah bintang-bintang. Dan jika kau merasa bersedih, maka bakarlah bayang-bayang. Kau tahu, bagaimana membakar bayang-bayang, bukan?
Lagipula, kita tak punya kemampuan untuk menerawang masa depan. Apa yang kau bayangkan saat ini sebagai satu penderitaan, bukan satu kepastian bahwa kelak yang terjadi adalah memang demikian. Mungkin saja sebaliknya yang terjadi. Siapa tahu, justru kau akan menemukan satu kebahagiaan bersama suamimu kelak, andai kau benar-benar tahu tugas dan posisimu sebagai seorang wanita yang baik, dan itu semua kau jalankan dengan benar-benar tulus dan ikhlas.
Sekali lagi, sikap ini kuambil bukan sebagai tanda keputusasaanku, atau kepura-puraanku saja untuk sok bijaksana memberimu nasihat-nasihat soal kehidupan.
Aku sangat bahagia andai kita menemukan jalan kita masing-masing. Toh kenangan itu adalah sesuatu yang telah kita jalani bersama dan telah kita nikmati keindahannya dengan bersama-sama pula....

Salam,

Sufyan Harits
close