Mengasingkan Diri, Bagian 2

RIFANFAJRIN.COM - Mengasingkan Diri, Bagian 2


Baca cerita sebelumnya; Mengasingkan Diri, Bagian 1

Mengasingkan Diri, Bagian 2

Burung-burung melintas di atas, menuju persawahan.

Fallev dan Maria memandanginya, takjub. Alangkah bebasnya burung itu terbang. Adakah burung yang mengalami kesempitan dalam hidupnya?

“Lihatlah burung yang terbang itu, Fallev!”

“Ya, aku melihatnya.”

Dan tangan Maria terus menunjuk mengikuti arah burung itu terbang, hingga menghilang.

“Burung telah mendapat karunia seluas-luasnya dari Tuhan dengan diberikannya kebebasan terbang melayang di udara. Burung-burung juga telah meraih fitrahnya sebagai makhluk hidup dengan kemampuan mereka berkembang biak.”

“Sabarlah, Maria. Tak ada gunanya merasa iri pada burung-burung. Semua itu adalah suatu keputusan! Jangan lagi kau persalahkan Tuhan, justru sekaranglah saatnya merapat kepada-Nya!”

“Memang aku bersalah telah mempersalahkan Tuhan!”

Mereka duduk sejenak di bawah rindangnya pepohonan. Angin bertiup perlahan. Bukit-bukit tampak tinggi dan sunyi. Awan-awan putih bersih, berjalan beriringan.

“Fallev,” kata Maria memecah keheningan, “bersalahkah jika seseorang berusaha?”

“Manusia tidak pernah bersalah menggunakan akal dan pikiran yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya, sama halnya burung-burung yang tak bersalah jika menggunakan kemampuannya terbang di udara. Justru burung-burung itu akan bersalah jika ia enggan terbang. Begitu pun, akal dan usaha manusia haruslah senantiasa digunakan. Dan itulah ciri kemuliaan manusia, Maria.”

“Meskipun apa yang ia usahakan itu bertentangan dengan takdir?” Maria mendesak.

Fallev mengernyitkan kening. Ia belum memahami arah perkataan Maria. Dan Maria menyadari hal itu.

“Jika kita menentang takdir yang telah menggariskan pada diri kita selamanya tak akan pernah memiliki keturunan?” Maria memperjelas ucapannya.

Bayang-bayang rona wajah Maria mengabarkan kepada Fallev bahwa ia sangat cemas dan tak berdaya.

“Siapakah yang mengerti takdir Maria? Takdir adalah rahasia. Dan sejak awal aku tak ingin memikirkan takdir sedikit pun. Apa yang aku capai adalah semata-mata karena memang kuinginkan dan aku telah berusaha untuk mewujudkannya.”

Cericit burung-burung mengabarkan kedamaian. Maria mulai mengantuk.

“Aku mulai mengantuk, Fallev. Aku ingin merebahkan diriku sebentar saja sebelum memulai semuanya.”

“Baiklah. Kau sebaiknya memang beristirahat dulu sebentar. Aku akan berkeliling memastikan tempat ini adalah tempat yang tepat untuk kita memulai segalanya dari awal.”

Maria rebah. Fallev membentangkan kain untuk alas tidur Maria, dan memberikan sisa kain itu sebagai bantal Maria.

Domba-domba yang dibawanya, ia ikatkan di batang pohon lain tak begitu jauh dari tempat Maria.

Ia lalu berjalan, dibayangkannya Maria yang terlelap akan mendapatkan mimpi indah tentang keajaiban di padang itu. Fallev berjalan sambil terus membayangkan keindahan-keindahan, entah sekadar menghibur diri atau untuk meyakinkan dirinya bahwa Maria akan baik-baik saja ditinggalkannya sejenak terlelap di bawah pohon rindang itu.

Fallev terus berjalan hingga ia mendapati jurang. Jurang itu sangat curam. Namun, dari tempatnya berpijak ia dapat melihat kemilaunya air sungai diterpa cahaya matahari, menandakan kejernihan yang menyenangkan.

Pertama kali melihatnya, Fallev ingin sekali untuk menyentuh airnya yang ia bayangkan sangat sejuk dan dingin. Sebenarnya bukanlah suatu hal yang ajaib bagi Fallev untuk menyentuh air yang kemilau. Sesungguhnya hal itu sudah biasa baginya yang telah mendapatkan segalanya. Namun, seperti ada daya tarik tersendiri bagi Fallev saat memandang air yang tenang mengalir itu. Hingga saat itu, Fallev telah dapat membayangkan adanya kehidupan alami yang akan dilaluinya bersama Maria.

Fallev menuruni jalan setapak menuju sungai itu. Jalan itu tak terlalu sempit dan sulit untuk ditempuh sebenarnya, hanya saja tetaplah perlu untuk berhati-hati menapakinya. Fallev hanya bertangan kosong. Ia tak menyangka ketika beberapa kali harus menyingkirkan ranting-ranting yang menyentuh pundaknya dan menghalangi perjalanannya.

“Hmm, akhirnya sampailah. Kurasa tempat ini sangat cocok untuk memulai segalanya,” batin Fallev.
Fallev segera mendekat. Ia lepaskan terompahnya, membiarkan kakinya menyentuh pasir-pasir sungai yang dingin dan basah. Satu dua daun  kering terapung-apung mengikuti arus air, lalu menghilang. Fallev sampai di pinggir, hinggap di batu yang agak besar. Tangannya mulai menyentuh airnya, mencium bau air sungai jernih itu. Menyegarkan. Ia meminumnya sedikit sekadar untuk membasahi kerongkongannya yang kering, lalu mencipratkan ke mukanya. Dingin. Ia membasahi seluruh wajah dan rambutnya, mengusapkannya hingga ke pori-pori kulit kepalanya.

Maria juga pasti akan sangat gembira merasakannya, pikir Fallev. Ini tak pernah terjadi dan terpikirkan sebelumnya. Air mengalir di mana-mana. Dan Maria pernah merasakannya. Namun kealamian seperti ini mungkin merupakan sesuatu yang baru bagi Maria. Kealamian itulah yang mungkin akan sangat membantu melahirkan semangat yang benar-benar baru dalam hidupnya.

Bersambung ke bagian 3
close