Tamu si Parmin



Arsip Cerpen

Dingin menyergap. Langit mendengkur. Lampu-lampu menyala tak terlalu menyilaukan mata, sesekali. Ada satu dua. Serangga bernyanyi-nyanyi. Tra lala lala. Kabut menggelayut berhamburan menepiskan seonggok daging-daging yang tersudut melingkar. Parmin juga. Segelas teh, tlah dingin, sedari tadi. “Buatkan lagi yang baru” “Malas!” Ah. Isteri membangkang. Sebentar kemudian rebah lagi. Air liur menetes, tes, tes.
Di jalanan. Seorang wanita tua, dengan langkah kecil-kecil namun cepat menapakinya. Rambutnya kusut. Tapi tak tampak seperti orang gila, barangkali. Beruntung tidak datang di siang hari. Jadi mainan anak-anak, bisa jadi. Diolok, dilempari batu, kotoran, tai kuda, diarak keliling kampung, sambil diteriaki ‘orang gila’, ‘rada miring’, ‘monyet’, ‘sampah’ dsb. Akhirnya sampai juga di rumah Parmin. Mengetuklah ia ke pintu pelan-pelan, hampir tak kedengaran. Dicobanya lebih keras. Parmin terperanjat. Mimpi ketemu bidadari kayangan, buyar sekejap, bidadari itu jadi berlari takut pada manusia. ‘Sialan’ mengumpat. Ketemu lagi dengan isterinya, yang tak lagi jadi bidadari.

Tak sepantasnya bertamu malam-malam, pikirnya. Barangkali tersesat dan tak tahu kemanakah arah tujuannya. Tapi tamu datang membawa berkah, dan pulang menghilangkan dosa, kali ini dicobanya untuk dipercaya. Hiburan di kala sekian lama tak seorang pun singgah. ‘Tamu ini wajib dihormati, dimuliakan seperti raja,’ walau di dalam istana reyot. Tak mengapalah. Dipersilakannya masuk. Isterinya melotot, lagi-lagi tak seperti bidadari. Semakin menjengkelkan, ditambah lagi ketika tidak mau beranjak membuat kopi atau teh, justeru beranjak ke tempat tidur. Parmin sendiri tidak juga merasa enak. Bayangkan yang datang bidadari, itu baru enak. Pikirnya, isterinya tak mungkin curiga, cemburu, dsb. Sedangkan pikiran istrinya, dibiarkannya Parmin menemui tamunya. Tak mungkin macam-macam. Atau kalau mau, silakan saja makan wanita tua. Di sini berlaku, siapa yang bukakan pintu, dialah menjamu. Itulah, kedengarannya memang lucu bin menggelikan bin aneh bin ajaib bin bin seterusnya. Ha.
‘Saya mengganggu?’
‘Menurutmu bagaimana?’
‘Kalau begitu maafkan saya tuan.’ Yah, baru kali ini Parmin dipanggil tuan. Tuan di Istana reyot. Tapi seharusnya tamu adalah tuan. Tidak apalah. Tidak begitu penting. Walaupun begitu, diakui Parmin sempat terkesiap.
Wanita tua ini... Wajah yang cemong-cemong ini, ingatkan Parmin wanita tempoh dulu. Dulu sekali pernah Parmin menolong seorang, beri dia sesuap nasi plus lauknya, tempe bacem. Rantangnya tak kembali, Parmin terpaksa membeli lagi rantang bekas. Istrinya marah-marah.  ‘Lelaki Goblok’ begitulah katanya. Dendamkah Parmin? tidak juga. Yang jadi sebab, Parmin pernah juga ditolong seorang wanita tua, diberi juga sedikit nasi plus lauknya, tahu bacem. Rantangnya? Boleh dibawa Parmin pulang, tak kembali lagi. Dan istrinya kala itu senang bukan main, dapat rantang sebuah. ‘Baguslah,’ kata isterinya dulu. Rantang itulah. Hanya sikap isterinya itu yang buat Parmin empet.
‘Tolonglah saya tuan.’
‘Seandainya saya mampu pastilah.’ singkat. Sambil sesekali menguap. Huah.. Ingin rasanya berbaring lagi, meneruskan ketemu bidadari, bercanda, berlari-larian, di padang rumput dan taman-taman yang hijau, sambil bernyanyi-nyanyi, menari, seperti film India.
‘Manusia memang sudah selayaknya tolong menolong.’
Hening menggerecap. Isterinya telah lama menembus dimensi mimpi, di kebun yang hijau, bunga-bungaan bermekaran warna-warni,di bawahnya sungai-sungai madu, susu, dan arak. Di sana ia jadi wanita tercantik. Tampak mulutnya tersenyum. Parmin terdiam.
‘Bantuan apa? Saya tak ada nasi, uangpun tak ada.’
‘Saya tidak lapar, dan juga tak butuh uang.’
Ha, apa dia bukan orang? Semua orang hidup butuh makan dan butuh uang. Perkara itu pula yang buat Parmin kerap bertengkar dengan isteri. Suami tolol-lah, suami goblok-lah, malas-lah, Entahlah. Mungkin ini juga yang jadi sebab, sampai sekarang iserinya tak mau lagi punya anak. Dulu sekali, sebenarnya isteri Parmin telah pernah mengandung benih milik Parmin, jadilah Parmin junior di dalam perut isterinya. Tapi ternyata Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Parmin junior tidak sempat melihat gemerlapnya dunia. Hanya alam kandung ibunya saja ia rasakan. Dan Parmin tersenyum. Teringatlah ia, andai tidak karena perut isterinya telah terisi Parmin junior, mungkin saja mereka tidak nikah. Kawin dulu sebelum nikah. He he, nakal juga si Parmin. Tapi sekarang tak mau kawin lagi. Isterinya tak lagi seperti bidadari yang lemah lembut. Dan Parmin tak lagi Pangeran dalam perspektif isterinya. Walau sebenarnya Parmin inginkan seperti itu lagi.
‘Tuan tolong saya, dan saya akan tolong tuan.’ Kembali.
Parmin tertawa, apakah ini? Mirip sekali bisnis, kecil-kecilan, kelas teri, Parmin mau jadi business man. Bayangkan berada di kantor, dingin, duduk-duduk, kursi empuk, dikelilingi wanita-wanita cantik, berputar-putar, menghisap rokok kelas atas, bukan cuma teng-we dan berangkat pagi, pulang malam, disambut isteri di rumah, jumlahnya empat. Siapa tak mau? Bosan juga jadi orang miskin terus-terusan.
 ‘Tuan akan jadi kaya raya, dan bisa tinggalkan nenek-nenek itu.’ Isterinya sudah tak mendengar apa-apa lagi. Tapi sesekali ia berteriak-teriak dalam mimpi. Rupanya ia tak ada di kebun yang hijau lagi, tak lagi jadi bidadari. Sekarang rasanya panas, merah dan hitam campur jadi satu, kening dan lehernya berkeringat. Disiksa malaikat dalam mimpi, karena berani kurang ajar sama lelaki. Ketika dikatakan nenek-nenek, tak marah, sebab tak dengar. Parmin terbahak.
‘Ada syaratnya,’ Parmin terkesiap, mendadak terhentilah tawanya. Wajahnya jadi serius. Tunggu apa lagi? Ada gejolak pertarungan dalam dada Parmin. Ada sesuatu yang berbisik, tingalkan saja isterimu, istana yang reyot, dan jadi kaya, secara mendadak.
‘Tidak mau, saya pergi,’ Ah. Kurang ajar benar ! Tak beri kesempatan Parmin mikir sejenak dan lebih lama, sambil berdiri. Parmin serta merta mengangguk. ‘Katakan saja.’ Tamu wanita tua tetap berdiri, menuju pintu kemudian membukanya, lalu keluar. Parmin serta merta berdiri. Serta merta dijangkaunya pundak wanita tua itu, serta merta menoleh. Serta merta mereka berpandangan.
‘Ikut aku.’
‘Bagaimana isteriku?’
‘Dia tak akan bangun sampai kau kembali.’ wanita tua kemudian berucap lagi : ‘Tenang saja. Kalau tak mau, aku bisa tinggal kamu dan cari yang mau saja.’ Sampai di sini tak ada lagi kata ‘Tuan’ atau ‘saya’, berganti ‘kamu’ atau ‘aku’ saja.
‘Ya, ya.’ ‘Kemana?’
‘Diam saja.’
Malam pekat, rembulan tak lagi nampak. Daun-daun di ranting-ranting bergoyang. Daun-daun berserakan ditimpa angin semilir, agak kencang. Parmin merinding. Balik lagi. ‘Kemana?’ ‘Aku ambil dulu sarung dan sweater.’ ‘Tak perlu, kamu tidak lihat aku?’ Menghardik. Membuat Parmin urung. Wanita tua itu saja tak kedinginan. Padahal tak pakai baju tebal. ‘Tapi terserah, asal kamu bisa menyusulku.’ Menantang. ‘Kemana?’ ‘Diam saja kalau begitu.’ Parmin akhirnya menurut. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Wanita tua pegang kendali.
Ia berjalan terus. Di jalanan yang berliku. Langkahnya kecil-kecil tapi cepat sekali. Tak sekalipun ia menoleh. Parmin agak tergopoh. ‘Tunggu,’ ‘Diam saja. kalau tak mau aku tinggal.’ Agak ketus, merasa menang. ‘ya, ya.’ Parmin meneliti, kaki wanita tua itu. Tak terlihat. Tertutup kainnya yang kepanjangan. Betisnya tersingkap. Dan Parmin terkesiap. Darahnya berdesir.
‘Aku ajak kamu menemui seseorang.’
‘Siapa,’
‘Diam saja,’
Ah, kalau begitu jangan ajak bicara ! Dalam batin Parmin.
‘Apa katamu ?’ Kata wanita tua. ‘Ah tidak.’
‘Kamu nanti akan kaya. Kamu tolong aku, dan aku tolong kamu jadi kaya, tinggalkan saja isterimu.’
Parmin tak tahu, seberapa lama ia berjalan. Ia berjalan saja. Pikirannya berkecamuk. Apa yang dimauinya? Tak tahulah. Tapi ia teringat lagi isterinya. Ah, masa bodoh nenek-nenek ! Hingga sampailah mereka di sebuah rumah kecil, mirip istana Parmin yang reyot. Parmin sejenak jadi ragu. Tak beda jauh keadaannya dengan Parmin, apanya yang kaya kalau begini? ‘Kamu tidak percaya?’ Seolah mengerti. ‘Ya sudah kalau begitu.’ ‘Ya, ya, maafkan aku.’ kata Parmin gugup, tak mungkin lepaskan hidangan di depan mata, apalagi ia telah susah payah. Tanggung, pikirnya.
‘Tunggu saja di sini, aku akan bukakan pintu.’ Parmin berdiri di depan pintu. Wanita tua itu kemudian berjalan ke arah samping. Tak lama kemudian, pintu itu berderit, terbuka. Seorang bocah laki-laki, ia yang membuka pintu. Kurus sekali dia, rambutnya lurus namun kusut, panjang kira-kira sebahu dan maju ke depan, memakai baju dan celana yang serba putih, warna aslinya. Tapi kelihatan sudah agak kecoklatan sekarang. Tersenyum dan mempersilakan Parmin masuk. Parmin tertegun. Ia seperti pernah melihat bocah itu, atau mungkin juga pernah mengenalnya. Bahkan ada perasaan Parmin pernah dekat dengan bocah itu. Bocah itu segera menggandeng tangan Parmin. Ia menarik Parmin untuk masuk ke dalam rumah. Tak ragu.
Di dekat tungku api, ternyata wanita tadi telah duduk di sana. Meniup-niupnya. Dengan pipinya yang kempot dan berkerut. Bocah kecil tadi berlari mendapatkannya, memeluknya dari belakang, dan menggelayut di punggung wanita tua itu. Bocah itu kemudian membisikkan sesuatu ke telinga wanita tua. Wanita tua mengangguk, sebentar kemudian bocah kecil pergi ke luar dan menutup pintunya. Tinggallah Parmin bersama wanita tua, di dalam rumah, berdua saja. Dengan tidak menoleh, ‘Duduklah di situ.’ ‘Kenapa, kotor?’ ‘Eh, iya baiklah.’ Kemudian mata Parmin melihat-lihat ke langit-langit dan ke dinding-dinding. Nampak sedikit hitam berjelaga. Tak ada yang istimewa. Tak ada hiasan-hiasan. Vas bunga di atas meja, diisi dengan air, bunganya sedikit melengkung ke bawah, dan layu.
Sebentar kemudian asap mengepul dari dalam tungku. Aroma yang aneh tercium oleh hidung Parmin. Jantung Parmin berdebar, menerka-nerka segala kemungkinan yang dapat terjadi. Wanita tua mendekat. Ditatapnya mata Parmin lekat-lekat. ‘Jadi kita lanjutkan?’ Pikiran Parmin menerawang. Ragu kembali merasuk di batinnya, menyergap alam bawah sadar Parmin yang terasa terombang-ambing setelah meninggalkan isterinya tertidur dan berteriak-teriak sendirian.
‘Bagaimana?’
Dan Parmin kembali mengangguk.
‘Baiklah’. ‘Apa yang mesti kulakukan?’
‘Maksudmu untuk apa? Kamu tolong aku dulu, atau supaya kamu cepat jadi kaya?’
‘Dua-duanya. Bukankah itu akan secara otomatis?’
‘Ha-ha, pintar kamu. Tolong kamu pelihara bocahku tadi, dan kamu akan jadi kaya.’ Sambil terkekeh-kekeh. Matanya nampak tertutup karena geli, sedangkan gusinya kelihatan tak satupun gigi menempel.
Parmin terperanjat. Ia tidak mau ada korban atau tumbal yang mesti ada untuk jadi kaya. Meskipun pikirannya ia akan berpisah dengan isterinya, tapi bagaimana nanti dengan keturunannya? Tidak. Parmin tidak mau garisnya terputus. ‘Tidak, aku tidak mau ada korban dalam hal ini.’
‘Kamu kira, bocahku tuyul? atau Anak setan ? Hah ?! Setan kamu !’ Wanita tua naik pitam. Membentak Parmin. Parmin jadi menciut. ‘Maafkan aku. Tapi ..
‘Sekarang kamu pulanglah, dan ajak dia serta !’ Wanita tua bertepuk tangan beberapa kali, isyarat memanggil. Kemudian masuklah bocah kecil tadi ke dalam. kali ini rambutnya telah terpotong hingga di bawah telinga. ‘Aku ingin kamu jaga dia baik-baik ! Aku tidak mau dia terluka sedikitpun juga, karena kamu atau karena isteri kamu!’
‘Katamu, aku akan tinggalkan isteriku?’
‘Ya, kamu tidak akan temui nenek-nenek cerewet itu lagi.’ Wanita tua terkekeh. ‘Dan kamu akan jadi kaya’. ‘Asal kamu jaga dia baik-baik. Mengerti?’ Sambil menunjuk bocah kecil itu.
Parmin mengangguk. Wanita tua terkekeh. Sedangkan bocah kecil itu menarik tangan Parmin, isyarat agar Parmin segera membawanya serta pulang ke rumah. Sepertinya tidak sabar. Sedangkan Parmin masih ragu, apa sebenarnya maksud wanita tua, dan apa hubungannya membawa bocah kecil ini dengan kekayaan yang akan dia dapat. Namun tarikan bocah itu ke lengan Parmin, membuat Parmin tidak bisa berpikir lagi. Langkahnya terseret-seret. Wanita tua masih saja terkekeh-kekeh.
Menyusuri jalan berliku lagi. Bocah kecil berkali-kali tersandung dan terjatuh. Melewati jalan yang sama tadi dilewati Parmin dan wanita tua. Terpaksa Parmin memanggulnya hingga sampai di rumah. Bocah kecil tertawa-tawa senang, wajahnya nampak gembira. Parmin kembali merasakan ada sesuatu yang aneh, ia merasa pernah mengenal dan merasa dekat dengan bocah itu. Parmin pun merasa seperti muda kembali, tenaganya jadi kuat, langkahnya jadi cepat. Tidak seperti tadi, yang tergopoh kepayahan menyusul tapak-tapak wanita tua.
Dan Parmin semakin merasa heran dan aneh mendapati Istana reyotnya. Parmin tidak percaya, bimbang, apakah ini benar rumahnya? Oh, rupanya ini yang dijanjikan wanita tua tadi. Ia merasa jadi muda lagi, istananya tak lagi reyot. Dengan langkah mantap, ia masuk. Dan ia dapati isterinya tertidur menghadap ke tembok, tak lagi berteriak-teriak. Tenang sekali kelihatannya. Namun tubuhnya tampak sedikit kurus. Parmin mendekat. Hem. Ia tersenyum, sebentar lagi ia akan berpisah dengan isterinya yang cerewet, pikirnya. Namun kemudian kening Parmin berkerinyut, demi dilihatnya wajah isterinya. Isteri yang dikenalnya dulu, sebelum nikah tapi sudah kawin. Yang seperti bidadari, yang tak cerewet, yang tak pernah marah-marah, yang tidak bawel, yang menurut saja ketika Parmin mengajaknya terbang seperti bidadari, dsb. Melihatnya Parmin urung menceraikannya. Apalagi ketika dilihatnya wajahnya sendiri lewat kaca, dilihatnya Parmin yang bagai Pangeran bagi isterinya, seperti dulu lagi. Bahagianya.
Dan ketika isterinya mendadak terbangun, melihat Parmin menggendong bocah kecil itu, isterinya langsung memeluk dan menciumi bocah itu sepuas-puasnya. Parmin jadi heran, isterinya seperti telah mengenalnya sejak dulu. Kemudian Parmin menarik tangan isterinya, berlari sekencang-kencangnya untuk mendapati wanita tua. Di jalan yang berliku. Namun ketika sampai di sana, Parmin tidak mendapati wanita tua itu. Rumahnya telah lenyap, tinggal kepulan-kepulan asap yang baunya sangat aneh.
Tetapi perlahan telinga Parmin menyentuh sayup-sayup suara wanita tua sambil terkekeh-kekeh. ‘Jaga bocah itu baik-baik. Dan terserah kamu, mau kau beri nama siapa dia. Maaf aku telah meminjamnya sekian lama, sekarang aku kembalikan lagi.’ Sambil terkekeh-kekeh.
Parmin kemudian mengerti siapa bocah itu, rupanya ia adalah Parmin juniornya yang dulu hilang. Si anak hilang itu tlah kembali. Ia pun tersenyum, haru. Di sudut matanya ada buliran-buliran bening yang tertahan untuk menetes. Sedangkan isterinya dibiarkannya tak mengerti. Yang penting sekarang ia kelihatan akrab sekali dengan Parmin junior. Dan kini Parmin merasa telah menemukan kekayaan yang asli.

Selesai.
close