Pelajaran Pertama Tentang Cinta Buat Kosim

Kosim melongo. Sambil sedikit ngos-ngosan, sesekali ia mengusap wajahnya: minta ampun! Demi Tuhan, ia tak menyangka Jamilah berubah jadi galak. Samber geledhek! Sebuah poster perempuan telanjang menggantung di dinding kamarnya ketawa ngakak. Mengejek Kosim yang urung action, padahal Kosim sudah menyiapkan kamera vidio. Napas menghempas ranjang kapas. Langit-langit kamar mengumpat, dilempar kaos bolong Kosim yang secepat kilat nekat mencelat. Dua ekor cicak menggerutu, sempoyongan tersipu terbirit menjerit. Ia tak sempat mengecek, mata Kosim sudah mulai micek. Lalu Kosim mendengkur. Celananya masih terbuka.

***
Sungguh, tiga bulan lebih melulu sms-an, chatting lewat Facebook, saling nge-wall dan komentar genit, serta sesekali memantau perkembangan lewat foto-foto paling gress, tak cukup buat Kosim! Bagaimanapun Kosim lebih bahagia membelai rambut Jamilah yang wanginya – bagi Kosim – tak habis-habis, daripada sekadar membelainya lewat puisi. Meski begitu, melihat foto Jamilah ternyata membuat hati Kosim bagai tertusuk-tusuk duri dan itu lebih sakit daripada ketika dicubit pinggangnya oleh Jamilah.
Syair Kosim: O, Jamilah! Jika aku kini tengah terluka, maka luka itu semata dari engkau. Aku kini tengah terbaring sakit, sedangkan penyakit adalah virus yang engkau tanam di tubuhku. O, Jamilah, sungguh nyata cinta ini menyapa. Segalanya adalah sakit. Dan engkaulah dokter, obat sekaligus resepnya!

Hahaha! O, Jamilah, mengertilah! Kosim kini tak lagi waras. Tahukah, kau telah sukses membuat hari-hari Kosim menjadi sempurna hambar bagai roti dingin tak tercelup kuah manis, roti tanpa madu, atau teroles mentega? Oh, benar-benar Kosim yang malang!

Maka, Kosim langsung paham apa yang pertama kali harus ia lakukan saat sebentar lagi perjumpaannya dengan Jamilah bukan hanya omong kosong.

“Aku akan menyambutmu dengan gembira, Jamilah, kekasihku, bungaku, permataku, mataku, hatiku, matahatiku, hidungku, telingakuuu....!” Kosim histeris.

“Tapi sepertinya aku hanya akan singgah sebentar, Bang,” suara merdu Jamilah di kuping kanan Kosim.

“Tak apa, Jamilah! Meski sebentar, perjumpaan akan sangat lama membekas, bahkan tak lekang hingga matahari terbit dari barat!” Menggebu.

Ruang pengap menjelma surga. Bidadari malaikat hinggap pada tiap vas bunga, lukisan berwarna, dan pada boneka kesayangan Kosim saat hangat memeluk bayang-bayang Jamilah. Hingga bayang itu menebal dan lantas menjelas nyata, saat derap langkah Jamilah menaiki tangga. Sigap Kosim mendekap. Alam wangi berlari menghampiri. Telaga kautsar gemerincing menyapa dahaga Kosim.

Menjerit. Memaki. Jamilah, lihatlah! Jijik Jamilah serupa melihat neraka: tulang-belulang Kosim. Dada tlah terbuka, segala hormat siap membawamu kemana.

Plak!!! Ruang rindu pucat tersekat.

“Kau!”

“Ada apa? He, kau berubah Jamilah?!”

“Dan kau! Kau masih saja tak berubah!”

Meradang.

“Lihat matamu! Apalah guna dirimu sebagai lelaki! Membungkus harga diri pada selembar cawat banci!”

Diam. Dan kau terbangkan dirimu saat aku hendak menciummu, Jamilah! Kosim merutuk.

***
Bukanlah salah Jamilah memilih niat suci ingin mandiri. Mengantongi selembar kertas sakti, ijazah university, Jamilah memilih mengabdi. Tak kurang tiga bulan sudah, Jamilah mengajar siswa-siswi, membimbing anak-anak negeri ini berlatih berdiri. Hanya saja, Jamilah juga sempat ngeri. Ia menyadari, sejak saat itu, di sini, terpatri sebuah harga mati: hubungan dua orang “saling mencintai”, selain suami-istri oleh Pak Kepala tak dikehendaki! Oo, Wahai Kosim, sang pemilik hati, mengertilah keadaan ini! Aku mencintai kamu dengan sembunyi.

“Anda mengerti. Anak-anak adalah perekam, pembelajar paling sempurna.” Pak Kepala sungguh berwibawa.

“Ya, saya mengerti konsekuensi.” Jamilah berkeringat. Pak Kepala, apakah Anda belum beristri, sehingga untuk perkara remeh ini Anda perlu iri? Membatin. Jamilah pernah kepergok membonceng satpam. Berdua kena semprot. Sekadar membonceng, sebatas itu dianggap melenceng?

“Namun Anda tak perlu kuatir. Lembaga ini tak pernah berjalan dengan setengah hati. Anda sepakat dengan gaji tinggi, itu pun telah kami beri. Dan lagi, disini silakan, Anda bebas gunakan setiap teknologi. Kami sangat menghargai profesi!”

“Baik, Pak Kepala. Saya mengerti.”

Sementara, mendung menggayut. Langit mulai cengeng. Rintik-rintik air meleleh. Bagi Satipan, satpam penjaga sekolah, itu sih sudah biasa!

***
Demi Tuhan! Panas bertahun-tahun dihapus hujan sehari. Kisah cinta Kosim-Jamilah yang pedas, akhirnya kandas. Demi setan, Kosim kalap menghajar sweet memories-nya bersama Jamilah. Sungguh alangkah, Kosim menyapu semua tentang Jamilah dengan pahitnya ludah!

Kini, tak ada lagi puisi indah buat Jamilah. Tak ada lagi romantisnya kisah. Barangkali jika melihat wajah Kosim saat itu, orang akan menyangka Kosim pernah sejenak singgah di neraka yang tak ramah: artinya Kosim benar-benar marah!

Kosim mendengus. Status Hubungan di Facebook pun tegas ia ganti: bercerai! Mendengar nama Jamilah, mendadak ia begitu benci. Penolakan Jamilah baginya sama saja membanting harga diri. Belum lagi, kata-kata Jamilah: “Apalah guna dirimu sebagai lelaki! Membungkus harga diri pada selembar cawat banci!”, membikin semua ini harus diakhiri.

Kosim menyetel kaset. Satu penggal syair lagu memberi dia inspirasi: Daripada ribut-ribut terus nggak sempat make love, mestinya memang lebih baik kita pisah saja dulu!(1)

Asyik-masyuk. Handphonenya berdering. Kosim tak sadar, itu panggilan dari Jamilah. Ia sama sekali tak tahu kalau Jamilah sedianya ingin minta maaf sebab telah menolaknya tanpa berikan satu alasan atau kepastian. Tapi, Kosim telah terburu muak dan benci.

Maka setelah handphone-nya berhenti meraung, tanpa kata sayangku, kekasihku, bungaku, permataku, mataku, hatiku, matahatiku, de-el-el, begitu bernafsu ia mengetik pesan singkat buat Jamilah: Kita putus, Jamilah! Kamu tidak hamil, kan? []

*(1) Diambil dari lirik lagu Slank, Pisah Saja Dulu, Album Generasi Biroe, tahun 1994.
Ditulis pada Jumat Malam 16/10/2010, Kamar Berisik dini hari.

_
close