Rasa Aman

Apa yang dapat diperbuat oleh Abu Bakar As-Shidiq saat menemani Nabi saw bersembunyi dari kejaran orang-orang kafir di Gua Tsur? Seorang Abu Bakar, yang kita tahu ketinggian iman dan akhlak beliau, baik di mata Allah dan Rasul-Nya maupun di mata orang-orang, bagaimana pun juga, dalam situasi tertentu bisa saja masih memiliki rasa cemas. Betapa tidak? Ancaman yang sungguh nyata terhampar di depan mata, dibunuh! Maka saat itu, beliau gemetar dan memeluk Nabi.

Rasulullah yang memahami betul Abu Bakar, kemudian berkata, ”Tenanglah wahai Abu Bakar! Innallaha ma’ana, Sesungguhnya Allah bersama kita!” Dan ajaib, seketika tenanglah diri Abu Bakar. Beliau begitu percaya dan yakin sejak awal apapun kata Nabi.
Begitulah. Adalah suatu perkara yang begitu mudah dan sepele bagi Allah untuk memberikan rasa aman pada diri manusia. Dengan tanpa berkurang sedikit pun ketinggian ataupun kekuatan-Nya, Allah menyelamatkan seseorang dari ancaman bahaya, dan dari keselamatan itu kemudian muncullah rasa aman. Atau mungkin juga, seseorang telah merasakan ketenangan, rasa aman telah menyelimuti hatinya, padahal belum pasti ia akan terselamat dari bahaya yang sedang mengancamnya.
***
Perkataan Nabi, ”Sesungguhnya Allah bersama kita,” dapat menenangkan Abu Bakar sehingga sirnalah dalam sekejap kecemasan Abu Bakar, padahal saat itu kaum kafir sangatlah dekat.
Dalam pikiran kita – atau mungkin hanya dalam pikiran saya –, muncul pertanyaan, apakah yang menjadikan Abu Bakar begitu tenang setelah Nabi berkata demikian? Begitu mudahnya, hanya dengan sebuah ucapan menjadikan Abu Bakar tenang dan merasa aman.
Beberapa waktu saya mencoba mencari jawab atas hal ini. Saya secara sederhana kemudian coba membandingkannya dengan kehidupan sehari-hari yang mana rasa aman terkadang menghilang dari dalam diri saya. Begini, suatu kali bersama teman saya pergi ke Solo dengan sepeda motor. Teman saya, Rendra, yang memang lebih punya ”jam terbang” lebih tinggi dari saya dalam mengemudikan motor, duduk di depan. Pokoknya, reputasinya dalam bermotor sudah tidak diragukan lagi-lah.
Namun, ternyata dalam perjalanannya, tetap saja saya masih merasa was-was. Bagaimana tidak? Dengan kecepatan tinggi kami meliuk-liuk diantara truk-truk dan mobil-mobil besar. Tak terbayangkan, apa jadinya jika tiba-tiba saja kami mengantuk, misalnya, atau kami kehilangan kendali, dan sebagainya.
Saya bilang, ”Pelan-pelan saja, kawan.”
Rendra menjawab, ”Tenang. Pegangan saja erat-erat.”
Tahukah kawan, kata-kata itu tetap belum dapat membuat saya tenang. Saya masih sangat was-was waktu itu.
***
Akhirnya, saya menangkap ketenangan Abu Bakar paling tidak karena dua hal. Pertama, adanya jaminan dari siapa yang berkata, dalam hal ini yang berkata adalah Nabi yang semua perkataannya adalah kebenaran belaka. Sedangkan Abu Bakar, sangatlah percaya atas semua perkataan Nabi, baik dalam keadaannya sebagai sahabat karib maupun dalam kapasitasnya sebagai umat Nabi. Kedua, siapa yang dihadirkan, dalam hal ini Nabi menghadirkan Allah sebagai penenang dalam diri Abu Bakar. Kehadiran Allah bersama mereka sangatlah lebih dari cukup untuk sebuah rasa aman.
Kiranya dari kedua hal tersebut, hal yang kedualah yang dapat kita upayakan untuk sebuah rasa aman. Kita tak ada ada yang mampu menjamin keamanan dan keselamatan diri kita. Namun, berusahalah kita menghadirkan Allah sebagai pelindung langkah kita.
Wallahu alam.*

Semarang, 16 Januari 2009
close