Resensi Buku Asma Nadia "Cinta Tak Pernah Menari", Kumpulan Cerpen Remaja
RIFANFAJRIN.COM - Resensi Buku Asma Nadia "Cinta Tak Pernah Menari",
Kumpulan Cerpen Remaja
"Cinta Tak Pernah Menari" karya Asma Nadia, hadiah dari sohib kental saya: Irvan Muzaki |
Asma Nadia, penulis bernama asli Asmarani Rosalba ini, kita mengenalnya sebagai salah satu penulis perempuan paling produktif saat ini. Karya-karyanya berupa cerpen, novel, maupun skenario sinetron/film telah banyak kita jumpai. Pada kesempatan kali ini, kita hadirkan sedikit ulasan/resensi buku kumpulan cerpen yang sarat dengan nuansa kehidupan remaja berjudul "Cinta Tak Pernah Menari".
Buku ini memuat sepuluh cerita karya Asma Nadia. Kesepuluh cerita ini mencoba memotret realitas kehidupan para remaja yang sering kita jumpai, bahkan sangat dekat berada di sekitar kita, atau jangan-jangan sadar atau tidak juga kita alami pada masa-masa remaja kita. Di sinilah kejelian, kepekaan, dan kreativitas Asma Nadia dalam meramu cerpen dari sesuatu yang mungkin di mata kita terlalu sepele untuk diceritakan/diangkat ke dalam sebuah cerpen.
Namun begitulah, seperti pada cerita pertama, "Telepon Pinky", bagi saya cerita ini sangatlah sederhana. Berkisah tentang seorang gadis remaja bernama Inne yang tiba-tiba saja teringat kepada seorang pemuda yang dikenalnya pada masa lalu. Romantisme, kenangan, tiba-tiba saja muncul dalam benak dan batin Inne pada seorang pemuda Jawa dari Jogjakarta yang pada pertemuan pertama mereka telah sukses memberikan kesan mendalam kepada Inne. Padahal saat itu Inne masih duduk di bangku SMP, dan kini Inne telah duduk di bangku kuliah. Apa masalah yang selanjutnya muncul pada cerita ini? Yaitu, barangkali rasa rindu Inne kepada pemuda Jogja bernama Anindra Wisnu itu yang telah memuncak, dan membuat Inne begitu ingin menghubunginya kembali setelah sekian lama tidak bertemu, meski mereka sempat sangat akrab. Biasa sekali.
Yang saya catat dari buku ini adalah kecenderungan Asma Nadia meletakkan kejutan, surprise di akhir cerita. Oleh sebab itu, kadang kita harus bersabar membacanya sampai kepada paragraf terakhir. Untungnya, gaya bercerita Asma Nadia dalam buku ini terasa begitu mengalir, lugas, dan tanpa "nyaris" tak basa-basi. Ceplas-ceplos, dan "cas-cis-cus" kata Jujur Prananto dalam endorsmen-nya untuk buku ini. Hal ini mungkin karena memang buku ini secara lebih khusus diperuntukkan bagi para pembaca remaja.
Secara keseluruhan, bagi saya, buku ini cukup menarik. Jikalau saya berkesempatan memilih satu judul cerpen yang menjadi favorit saya dalam buku ini, saya memilih cerita berjudul "Jendela Rara". Cerpen ini dengan begitu detail memotret realitas menyesakkan orang-orang pinggiran di kota besar dengan kehidupan mereka semakin terhimpit. Berkisah tentang keinginan seorang gadis kecil bernama Rara yang menginginkan memiliki jendela di rumahnya, cerpen ini terasa mengusik hati saya, membayankan keinginan seorang gadis kecil yang betapa sederhananya! Betapa sederhana, namun juga betapa sulit untuk diwujudkan. Ngomong-ngomong cerita ini kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul film "Rumah Tanpa Jendela".
Buku ini meraih penghargaan Anugrah Pena 2005 untuk Kategori Kumpulan Cerpen Remaja Terpuji Forum Lingkar Pena.
Beberapa pujian terhadap buku ini
"Tidak banyak penulis cerita pendek Indonesia yang memiliki kesegaran dan kelincahan dalam bercerita. Di dalam buku ini, Asma Nadia mencoba menjembatani antara keterampilan bercerita yang ia kuasai dan tuntutan isi yang mutlak dibutuhkan dalam karya sastra. Beragam tema ia kendalikan dengan baik: dari hal yang rumit, sampai persoalan yang sangat sepele. Asma Nadia seolah-olah hendak membuktikan bahwa sesuatu yang "berat bisa dikemas menjadi sangat sederhana. Tentu saja itu tidak gampang."
[Joni Ariadinata--cerpenis, redaktur Jurnal Cerpen Indonesia]
"Membaca cerpen-cerpen Asma Nadia, ternyata realisme belum mati. Bagi remaja, cerita-cerita keseharian dengan realitas di kelas sosial pinggiran, sangat penting untuk mengasah nurani. Maka bacalah dan hati kita akan terus terjada untuk tetap mengasihi sesama."
[Gola Gong--novelis dan pengelola Pustakaloka Rumah Dunia]
"Setting 'dunia terpinggirkan' senantiasa menarik bagi para penulis cerpen, termasuk Asma Nadia. Tapi dia ternyata juga fasih ketika bercerita tentang kalangan yang sama sekali berbeda, yaitu kalangan 'atas' yang terkesan identik dengan hedonisme. Gaya penulisannya pun variatif, dari pendekatan 'dramatik emosional' yang cenderung serius, sampa ke cas-cis-cus gaya remaja yang segar. Di antara sepuluh cerpen dalam kumpulan ini, yang paling menarik bagi saya ialah 'Ibu Pergi Sebulan', yang ternyata justru terbebas dari gaya-gayaan tadi, tapi kuat dalam keunikan gagasannya. [Jujur Prananto--penulis cerpen dan skenario]
"Buat anak-anak muda yang baca buku ini, 'Im telling you, you are reading the right book!' Pokoknya baca sampai habis, you'll be inspired, and grateful, plus lebih berani untuk mikir dan tampil beda. Lebih maju!" [Dewi Hughes, S.Pd.--presenter]
Identitas Buku
Judul Buku : Cinta Tak Pernah Menari
Penulis : Asma Nadia
Editor : Indah S. Pratidina
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun : 2006 (Cetakan Ketiga)
Tebal Buku : 152 Halaman
Isi Buku
1. Telepon Pinky
2. Jendela Rara
3. Cinta yang Terlalu Indah
4. Sepuluh Juta Rupiah
5. Jhoni the Boss
6. Air Mata Bireuen
7. Ibu Pergi Sebulan
8. Lepas Rasa
9. Koran
10. Jejak Surga