Romli dan Juleha



Arsip Cerpen

MUNGKIN JIKA ditanya tentang usia perkawinannya dengan Romli, Juleha tidak bisa langsung ingat. Barulah setelah ia berpikir sebentar, ia dapat menjawab pertanyaan itu. Karena memang usia perkawinan Romli dan Juleha sudah lumayan lama. Kurang lebih telah tujuh tahun setelah dulu mereka menikah di usia muda. Dan sampai saat ini mereka berdua pun tak kunjung dikaruniai seorang anak yang lucu. Namun, jika Juleha ditanya setelah menikah kemana saja Romli pernah mengajaknya berlibur atau sekedar hanya berjalan-jalan saja ke tempat-tempat yang menyenangkan untuk mencari angin, Juleha langsung dapat memberi jawab dengan isyarat gelengan kepala, atau mengangkat bahu. Artinya, tidak ada. Sekalipun!
Makanya hari itu Juleha memaksa Romli untuk mengajaknya berlibur.

“Rom, semenjak kita menikah dulu belum pernah sekalipun engkau mengajak aku jalan-jalan.”
“Yah, apa boleh buat. Keadaan ekonomi pulalah yang tidak mengijinkan.”
“Engkau tidak perlu membawaku ke tempat-tempat rekreasi yang mahal-mahal. Engkau cukup membawaku ke tempat-tempat yang murah. Walaupun hanya sekedar menghirup udara lain selain kesumpekan di rumah ini.”
“Dimanakah tempatnya yang tidak membutuhkan uang? Sekarang dimanapun tempatnya harus pakai uang,” tanya Romli dengan retoris.
“Aku tahu dimanakah tempatnya itu,” kata Juleha dengan mata berbinar-binar.
“Oh ya? Cepat katakanlah kepadaku dimanakah tempatnya yang dapat menyenangkan hatimu.”
“Kita ke pantai saja.”
“Ke pantai?” muka Romli berubah lagi. “Bukankah ke pantai juga membutuhkan uang?”
“Ya, tapi tidak sebanyak ke tempat rekreasi yang lain. Dan percayalah aku tidak akan meminta yang macam-macam.”
“Baiklah. Kamu tentukan saja harinya.” Santai sekali Romli berucap.

HARI YANG ditentukan pun tiba. Atas usulan Juleha, sepasang kekasih ini memilih hari Sabtu. Alasannya, berlibur di pantai pada hari Sabtu tidak dipungut biaya masuk. Berbeda dengan hari Minggu yang biasanya ramai dikunjungi orang . Lagipula Romli pun tidak menginginkan setelah acara berlibur ia kembali diganggu dengan aktifitas kerja yang menunggunya. Maka akan berbeda ketika ia berlibur di hari Sabtu, ia dapat bersantai pada hari Minggunya, bersandar di kursi malas di bawah pohon yang rindang, sambil tertidur dan berangan-angan hingga tiba hari mulai sore.
Sedangkan bagi Juleha, Sabtu pagi itu menjadi hari yang paling bersemangat baginya. Sekaligus menjadi hari yang bersejarah, yakni untuk pertama kalinya Romli mengajaknya berlibur setelah perkawinan mereka. Terbayanglah ia akan berjalan-jalan atau berlari-larian di atas pasir putih. Berkejar-kejaran seperti anak kecil. Juleha berlari sedangkan Romli mengejarnya. Kemudian tentu saja Romli berhasil mendapatkan Juleha. Akhirnya mereka pun berguling-gulingan di pantai. Sambil tertawa-tawa riang. Sesekali deburan ombak membasahi kaki dan badan mereka berdua. Dan semilirnya angin laut membelai rambutnya yang basah. O alangkah menyenangkan.
Sambil mematut-matut diri di cermin Juleha tertawa-tawa.
Sementara Romli menunggunya sambil bersandar di kursi malas di bawah pohon yang rindang. Dengan sebatang rokok terselip di tangannya tentu.
“Kita berangkat Rom.”
“Sekarang?”
“Ya. Jendela pintu semua telah kukunci.”
 “Baiklah. Jangan sampai ada yang tertinggal.” Sambil mematikan rokonya yang belum habis.
“Beres. Aku tidak membawa apa-apa kok,”
Romli dan Juleha sengaja tidak membawa apa-apa. Mereka tidak mau ada sesuatu yang dapat mengganggu acara libur mereka. Dan lagi –katanya-mereka telah siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Walau kelaparan sekalipun.
Akhirnya dua sejoli itupun segera berangkat sambil bergandengan tangan. Mesra sekali.

“AKU SEPERTI muda kembali Rom,” kata Juleha sambil memandang ke lepas pantai.
“Memangnya kamu sudah tua?” balas Romli dengan bergurau.
Juleha tidak tersinggung. Mereka pun tersenyum.
Langit cerah membiru. Burung-burung di kejauhan, nampak kecil. Pasir  lembut dan basah. Siluet batu karang, indah sekali.
Romli dan Juleha pun berjalan-jalan lagi menyusuri pantai. Mereka biarkan telapak kaki mereka tersapu buih-buih yang gemerlap terbias sinar matahari pagi. Sedangkan tangan mereka tetap erat bergandengan tangan. Mereka tidak peduli lagi dengan pandangan orang-orang. Ya, walaupun tak seramai hari Minggu, pada hari Sabtu ini telah banyak pula orang-orang yang berdatangan. Dan kebanyakan dari mereka adalah muda-mudi yang lagi senang-senangnya berkasih-kasihan.
Tak terasa, seolah-olah takjub, Juleha lupa akan apa yang mesti ia perbuat bersama Romli untuk mengisi hari libur mereka. Dari tadi mereka hanya berjalan-jalan saja. Dan bisa ditebak, setelah berjalan sekian lama kebosanan mulai menyerang mereka.
“Rom. Katakanlah sesuatu kepadaku,” Juleha memulai.
Romli terdiam dan seolah tersadar. Bahwa sungguh dia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia pun tidak tahu apa yang hendak ia lakukan ketika berlibur ke pantai bersama istri tercintanya itu selain hanya berjalan-jalan menyusuri pantai yang basah. Ia tidak mampu merancang sesuatu yang menyenangkan.
“Ayolah. Katakanlah sesuatu.”
Kemudian mata Romli menyambar sepasang muda-mudi yang sedang berkasih-kasihan. Dalam pikirnya, mereka lebih berpengalaman dalam hal ini, berlibur bersama kekasih. Dilihatnya gadis itu menyandarkan dirinya di dada pemuda itu. Sedangkan tangan pemuda itu terlihat menunjuk ke lepas pantai. Lantas terlihatlah mereka berdua tertawa bersama. Bahagia sekali, pikir Romli. Tapi apa yang diucapkan pemuda itu sehingga gadis itu tertawa begitu bahagianya?
“Lihatlah,” kata Romli akhirnya kepada Juleha. Tangannya menunjuk ke lepas pantai.
“Ada apa di sana Romli?” Mata Juleha mengikuti arah yang ditunjuk oleh Romli.
Namun sayangnya Romli kembali kebingungan ada apakah disana, pada arah yang telah ditunjukkannya kepada Juleha. Ia tadinya asal menunjuk saja ke lepas pantai, seperti pemuda itu membuat tertawa pada si gadis. Romli pun rasanya tidak kuasa mengucapkan kata-kata cinta kepada Juleha.
“Lihatlah, perahu-perahu itu begitu kecilnya berada di laut yang luas,” kata Romli akhirnya.
“Maksudmu?”
“Tahukah engkau? Padahal perahu itu sesungguhnya tidak kecil benar. Perahu itu sesungguhnya besar.”
Juleha terdiam. Masih tidak mengerti kata-kata Romli.
“Perahu itu adalah ibarat kesusahan dan kesukaran dalam hidup. Dan lautan itu adalah ibarat hati manusia.”
“Kesukaran yang begitu sulit dihadapi akan nampak kecil pada hati yang lapang.”
Juleha mulai mengerti. Namun nampaknya ia belum puas. Ia ingin sekali mendengar kata-kata manis terucap dari mulut Romli. Kata-kata yang dapat meluluhkan hatinya seperti dulu. Bukan sekedar kata-kata seperti nasihat.
“Aku mengerti Rom. Namun kuminta ucapkanlah sesuatu kepadaku lagi Rom.”
“Bukankah aku telah mengatakan sesuatu kepadamu?”
“Aku ingin sekali mendengar sesuatu yang manis darimu. Hati ini sangat ingin mendengarnya, Rom.”
Romli terdiam kembali. Ia berpikir tidaklah mungkin ia mengatakan sesuatu yang gombal seperti sepasang muda-mudi itu. Ia tidak mungkin berkata bahwa dunia adalah milik mereka berdua. Atau mengatakan laut itu dapat mereka miliki jika saja Juleha begitu menginginkannya. Atau mengatakan bahwa sesungguhnya matahari dan awan-awan yang menghiasinya itu sedang tersenyum kepada mereka berdua seolah menjadi saksi dari tali kasih dan cinta putih diantara mereka. Lagipula Romli malu untuk berkata seperti itu kepada Juleha. Berbeda ketika dulu ia meluluhkan hati Juleha dengan serbuan kata-kata cintanya yang begitu menggetarkan. Tapi sekarang apa yang mesti ia katakan kepada Juleha? Seakan lidahnya begitu kelu.
“Setiap kata-kata kosong yang terucap itu tidak akan membawa kita pada suatu perubahan Juleha. Tak satu pun.”
“Namun kata-kata telah nyata mampu menjadikan semua begitu indah. Oleh kata-kata yang terucap nyata telah mampu membuat dunia ini menjadi indah. Dan setiap kata-kata yang terucap selalu akan terkandung sebuah makna di dalamnya. Ucapkanlah kepadaku, sekedar untuk membasahi kehausanku akan ketulusan cintamu yang engkau lambangkan pada kata-kata yang terukir dari bibirmu.”
“Mengertilah melatiku. Sungguh aku tak mampu lagi membuat puisi atau kata-kata yang indah, Juleha. Aku tak sanggup.”
“Apa yang kamu ucapkan Rom?” penuh selidik. “Ucapkanlah sekali lagi kepadaku!”
Romli nampak terdiam. Ia berpikir apakah ada yang salah dari perkataannya barusan. Sehingga membuat hati Juleha tergores dan terluka.
“Maafkan aku Juleha. Aku tidak mampu lagi menyusun kata-kata yang indah.”
“Bukan itu maksudku. Aku tidak bertanya tentang itu.”
Romli menjadi bingung.
“Kamu tadi telah memanggilku dengan sesuatu yang indah. Ucapkanlah sekali lagi Rom.”
“Aku tidak mengerti maksudmu, Juleha.”
“Huh.” Juleha sedikit kesal. Mengapa Romli kekasihnya menjadi begini bloon? Kemanakah perginya Romli yang romantis dulu? Romli yang pandai merangkai kata-kata yang indah yang dialamatkan kepadanya. Sebaris kata-kata yang senantiasa ia kirimkan kepadanya melalui jendela kamarnya di setiap malam, sebagai pengantar Juleha terlelap dan terbuai dalam tidurnya? Juleha sangat ingin Romli mengatakan ‘melatiku’ terhadap dirinya. Kata-kata yang hanya beberapa detik yang lalu terucap dari mulut Romli. Namun apa boleh buat, Romli tidak mengerti maksud hatinya.
Juleha memandang ke sekeliling. Dilihatnya pula sepasang muda-mudi sedang berjalan perlahan-lahan dari pinggir pantai hingga sedikit ke tengah. Dengan hati-hati pula si pemuda menggandeng tangan kekasihnya, yang entah sungguh-sungguh atau tidak, tersirat sedikit rasa takut di wajah cantiknya. Dan ketika deburan ombak kecil datang, si gadis menjerit pelan. Memberi kesempatan kepada si pemuda untuk sejenak berperan layaknya seorang pahlawan. Diraihlah gadis itu dalam dekapannya, seolah–olah melindungi si gadis dari marabahaya apapun. Dan si gadis membiarkan dirinya dipeluk, memasrahkan diri sepenuhnya, seolah-olah sedang berada ketakutan yang amat sangat. Manja sekali ia bergelayut di dada pemuda itu. Dan ketika ombak menghilang, nampaklah si pemuda mengajak si gadis lebih menuju ke tengah. Si gadis awalnya menolak. Namun agaknya ia luluh juga, ketika si pemuda meyakinkannya bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dicemaskan. Lagaknya dewasa sekali pemuda itu, sambil membelai-belai rambut kekasihnya itu. Seakan ia pun berkata bahwa ia akan mampu melindungi si gadis senantiasa, dan semuanya dipastikan akan berakhir baik-baik saja.
Juleha menjadi iri memandangnya. Ia membayangkan seandainya Romli bisa bersikap seperti itu kepada dirinya untuk saat ini.
“Lihatlah Rom. Menurutmu di seberang sana adakah pulau untuk kita singgahi, yang menjadi tempat persinggahan kita memadu kasih.”
“Mungkin saja ada pulau yang indah di seberang sana. Namun aku tidak cukup yakin kita dapat bepergian ke sana,” ungkap Romli begitu pesimistik.
Juleha pun sadar dan seharusnya sadar bahwasanya ia harus menerima keadaannya dengan Romli. Selama ini, himpitan ekonomi menjadi satu-satunya penghalang mereka berdua untuk menikmati bermacam-macam keindahan dan kesenangan.
”Rom. Aku ingin berenang-renang. Maukah engkau ikut menemaniku?” Kata Juleha sejenak membuyarkan lamunan masing-masing.
“Sesungguhnya aku sangat ingin. Dan itu pula yang dari tadi aku pikirkan. Namun sayang sekali, pada akhirnya aku tidak yakin bahwa aku masih bisa berenang. Bertahun-tahun aku tidak sempat lagi dan rasanya lupa bagaimana rasanya mengapung di atas air.”
“Setidaknya engkau masih mampu melindungi aku sekiranya aku terseret ombak, atau mendadak kehilangan keseimbangan dan tenggelam.”
Romli terdiam. Sedangkan Juleha memaksakan diri.
“Ayolah Rom. Aku yakin engkau masih dapat melakukannya.”
“Lagipula, bukankah kita tidak membawa apa-apa lagi selain yang melekat pada diri kita. Apakah engkau mau kita pulang dalam keadaan yang basah kuyup?”
Sejenak Juleha masih terdiam. Hatinya berdesir, ingin sekali ia menangis. Namun ditahan-tahannya juga perasaannya itu. Bagaimanapun ia masih ingin hari ini menjadi hari yang berbahagia bagi dirinya dan suaminya, Romli. Apalagi ialah yang memaksa Romli untuk pergi berlibur. Ia juga yang telah memilih pantai sebagai tempat mereka bersenang-senang. Juleha lantas berpikir, bagaimana bisa dirinya yang telah merancang sebuah episode kebahagiaan pada hari itu sejak lama, lantas ia sendiri menjadi lupa akan alur skenario yang disusunnya sendiri itu.
Oleh karena itu, Juleha tidak mau keadaan yang tidak menyenangkan itu berlarut-larut. Dan seolah-olah teringat, sekejap ia menjatuhkan diri di pasir dan berpura-pura kesakitan. Sambil berharap Romli akan menolongnya dengan perasaan yang gugup dan panik. Barulah ketika itu ia akan tertawa dengan sekeras-kerasnya, kemudian berlari menjauh dari kejaran Romli yang tentu merasa gemas telah dipermain-mainkan oleh istri tercintanya itu. Kemudian episode kebahagiaan itu pun sampailah, ketika Romli berhasil mendapatkan Juleha lantas mereka berdua akan berguling-gulingan di atas pasir yang basah sambil tertawa-tawa dengan riang. Dan pula bagi Juleha sekaligus ingin membuktikan apakah perasaan cinta Romli kepadanya masih melekat erat di hatinya, ataukah telah meluntur seiring semakin tuanya usia perkawinan mereka.
“Aduh. Romli!” Juleha terjatuh. Ia meringis kesakitan.
Tentu saja Romli menjadi terkejut.
“Apa yang terjadi pada dirimu?”
“Aduh, sakit sekali. Kakiku Rom. Rasanya seperti ada sesuatu yang telah menyengatku,” sahut Juleha dengan begitu lihainya menipu Romli. Dengan berpura-pura menangis dan menahan kesakitan yang amat sangat, semakin menegaskan bahwa alur skenario Juleha hampir berhasil.
“Sakit Rom.”
Romli pun tampaknya termakan dengan kepura-puraan Juleha. Dan ketika mendengar Juleha serasa ada yang menyengat kakinya, Romli langsung menyangka telah ada ubur-ubur yang menyakiti istrinya. Dengan gugup Romli memegang kaki Juleha.
“Tenanglah. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” Mata Romli pun berkeliling seolah ada sesuatu yang sedang dicarinya. Sedangkan napasnya terengah-engah, tanda ia sungguh-sungguh panik.
Adapun Juleha, sempat pula tersenyum di sela-sela ia mengerang kesakitan. Hingga saat ini rencananya berhasil.
Namun, sayang seribu sayang Juleha terlambat, saat ia begitu terpukau akan keberhasilannya sendiri mengelabui Romli. Sesungguhnya saat itu ia telah kehilangan sebuah momen yang paling tepat untuk segera berlari dan membuyarkan kepanikan Romli dan menggantinya dengan kegemasan setelah didapatinya Romli berucap, “Sabar dan tunggulah di sini. Aku akan segera kembali.” Barulah ketika itu Juleha tersadar Romli telah berlari meninggalkannya untuk meminta bantuan kepada warga sekitar.
“Romli!” jerit Juleha.
Benar-benar telah terlambat. Romli telah berlari sekencang-kencangnya. Dalam pikirnya, isterinya Juleha tidak boleh terlalu lama dalam penderitaannya. Keselamatan Juleha adalah yang terpenting.
Juleha pun terduduk lesu. Bagaimanapun ia tidak mungkin terus berpura-pura mengerang kesakitan ketika datang bantuan warga sekitar menolongnya. Ia pun tentu akan merasa sangat malu seandainya sandiwaranya terbongkar. Juleha benar-benar menitikkan air mata. Merenungi garis nasibnya.

TAK BERAPA lama datanglah Romli bersama dua orang lelaki dengan tergesa-gesa. Di tangan salah seorang lelaki itu, tergenggam sebotol yang entah berisi ramuan atau minyak yang Romli sendiri tidak tahu. Namun Romli yakin, apa yang ada di dalam botol itu pastilah sesuatu yang dapat mengobati kaki isterinya.
“Cepat, pak,” Kata Romli sambil berjalan ke arah isterinya tadi terkulai dan mengerang kesakitan.
Sedangkan dua orang lelaki itu diam saja. Rupanya mereka telah begitu berpengalaman menghadapi kasus seperti ini.
Namun apa yang terjadi sungguh di luar dugaan Romli. Juleha menghilang. Tidak hanya Romli yang kebingungan, tetapi dua orang lelaki itu pun kebingungan.
“Tadi ada di sini, pak.”
“Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa yang terlalu membahayakan pada isteri anda,” hibur lelaki tua.
“Jangan-jangan ada seseorang yang telah membawanya pergi. Atau menolongnya barangkali.”
“Bapak tetaplah tenang. Kita cari dahulu. Pasti belum terlalu jauh.”
Dan benar saja. Belum jauh Romli dan dua orang lelaki itu berjalan, mereka telah mendapati Juleha terduduk termenung meneteskan air mata di gubuk di tepi pantai. Dan yang membuat Romli heran, walaupun isterinya menangis, tidak tampak padanya bahwa ia sedang menahan rasa sakit yang amat sangat.
“Juleha, kamu tidak apa-apa?” tanya Romli, masih khawatir dan seolah tidak percaya pada apa yang dilihatnya itu.
Juleha hanya menggeleng.
Ketika dua orang lelaki tadi mendekat, Juleha mengangkat mukanya kepada dua orang lelaki itu. “Terima kasih, bapak. Saya tidak apa-apa kok. Bapak boleh pulang sekarang.”
“Juleha?” Romli memegang bahu isterinya.
“Benar. Saya tidak apa-apa. Bapak boleh pulang dan terima kasih atas pertolongan bapak.”
Salah satu lelaki tua itu mengangkat bahu, sebuah isyarat kepada rekannya. Mereka segera meninggalkan tempat itu.
“Maafkan kami pak. Telah merepotkan bapak sekalian,” Romli jadi tidak enak.

DAN SETELAH dua orang lelaki tua itu pergi, dengan tiba-tiba Juleha mengajak Romli pulang saja.
“Kita pulang saja Rom.”
Untuk kesekian kalinya Romli bingung. Sesuatu yang aneh telah dialaminya hari ini. Untuk kesekian kalinya ia tidak mampu memahami Juleha.
“Pulang? Telah puaskah engkau? Apakah engkau tidak ingin menikmati indahnya air laut diterpa sinar matahari yang berkilauan kemerah-merahan saat senja yang sebentar lagi tiba?”
“Tidak Rom. Lebih baik kita pulang saja.”
Romli masih tidak mengerti. Namun digandengnya juga tangan Juleha pulang ke rumah, setelah sempat ia mengecup kening Juleha. Sedangkan Juleha membiarkan saja apa yang dilakukan Romli terhadapnya. Ia sudah tidak bersemangat lagi.  Dalam hati ia tidak mau pergi tamasya ke mana-mana lagi.
Dan akhirnya Juleha tak bereaksi apapun ketika tangan Romli menggengam tangannya erat sekali. Meninggalkan pantai yang telah menjanjikan kepadanya harapan akan datangnya berjuta-juta ton kebahagiaan. Namun, ternyata apa yang telah terjadi.  Sia-sia sajalah adanya. *

[12/09/07-19.00.Ang]
Semarang, September 2007
close