Bohong
Konon seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, terciptalah sebuah alat pendeteksi kebohongan. Dengan sistem sensor supercermat dan supersensitif pada alat tersebut, dapat diketahui apakah seseorang sedang berbohong atau tidak.
Pastilah soal kebohongan ini adalah sebuah persoalan yang
cukup serius hingga perlu diciptakan alat pendeteksi kebohongan. Berawal dari
sebuah kebohongan, bisa jadi runyamlah sebuah keluarga. Atau dalam skala yang
lebih besar bisa sampai menyebabkan buramnya sejarah sebuah bangsa akibat
pembelokan sejarah, gara-gara cerita bohong.
Sebenarnya ada apa
dengan kebohongan?
Baiklah. Kita awali dengan mengerti makna kata bohong.
Bohong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak sesuai dengan
hal (keadaan dsb) yang sebenarnya. Sedangkan berbohong bermakna menyatakan
sesuatu yang tidak benar.
Lantas apakah kita selamanya harus berkata benar? Adakah
saat-saat tertentu yang membolehkan kita berbohong?
Jika ditinjau dari maknanya, tentu bohong tidak
diperbolehkan karena jelas, wong
kejadiannya begini kok dikatakan
begitu. Itu namanya menyesatkan. Tapi bagaimana jika keadaan tidak memungkinkan
bagi kita untuk berkata benar? Artinya keadaan yang benar-benar darurat, harus
bohong. Jika tidak bohong, justru bisa bahaya. Maka muncullah apa yang
dinamakan retorika, seni berkata-kata. Bohong sih, tapi sebenarnya tidak bohong.
Seorang guru saya pernah bercerita bahwa ada seorang kakek
yang menyelamatkan seorang pemuda dengan “seni bohong”. Dikisahkan seorang
pemuda – yang kita sepakati dulu, dia tidak bersalah lho – sedang dikejar-kejar hendak dibunuh oleh sekelompok orang.
Pemuda itu lantas minta bantuan kepada si kakek untuk bersembunyi di rumah
kakek itu. Saat orang-orang yang mengejar tersebut bertanya pada si kakek, apakah
melihat seorang pemuda yang berlari? Kakek tersebut lantas bergeser beberapa
senti dari tempatnya berdiri dan menjawab, “Sejak aku berdiri di sini, aku tak
melihat seorangpun yang lewat di depanku.” Maka selamatlah si pemuda.
Apa yang dilakukan kakek tersebut adalah sebuah seni
berkata-kata, ia tidak berbohong. Seandainya pun pada saat itu si kakek
berbohong, tindakan itu tetap bisa dibenarkan karena memang keadaan yang
darurat, demi menyelamatkan seseorang yang tak bersalah.
Yang kemudian menjadi soal, apakah sekarang kondisi zaman
sudah begitu “darurat”, memasuki zaman edan-edanan, sing ora edan bisa dadi edan tenan, sehingga harus ada seabrek
kebohongan?
Terlepas dari itu semua ada sebuah cerita yang menarik
mengenai paradoks kebohongan.
Pada abad ke-6 SM, dari Pulau Kreta, Yunani, seorang
penduduk Yunani mengatakan, “Semua penduduk Yunani adalah pembohong.” Apakah ia
mengatakan kebenaran? Jika benar
semua penduduk Yunani adalah pembohong, maka dirinya juga pembohong, sehingga
kata-kata “Semua penduduk Yunani adalah pembohong” adalah pernyataan bohong.
Maka tidak benar bahwa semua penduduk
Yunani adalah pembohong; dan seterusnya.
Teramat banyak kebohongan sekaligus kebenaran bergencetan
saling tumpang tindih di sekitar kita. Begitu rumit dan berbelit-belit dalam
memahami sebuah kebohongan. Batas antara kebohongan dan kebenaran menjadi
sangat rancu. Terkadang kita masih belum dapat memahami bahwa sebenarnya kita
sedang berbohong ataukah sedang berkata benar? [] M. Rifan
Fajrin