Pengantar Jenazah
Cerpen M. Rifan Fajrin
“Sudahlah! Lebih baik
kamu dzikir kalimat toyibah atau diam! Lagipula, suasana berkabung nggak cocok
buat mengumpat-umpat, nanti saja setelah pemakaman!” sergah Kusnadi.
“Tapi apakah mereka
memang tak punya rasa? Kalau mereka
pakai hati, seharusnya mereka tidak begitu, minimal mereka datang ke sini!
Sekarang kalau kau juga mikir, Kus, sebutkan satu saja alasan untuk membenci
Kang Mamik!”
Kusnadi terdiam
sejenak. Meski ia sudah sangat karib dengan Amin, terkadang ia masih merasa
repot menghadapi orang model Amin. Amin ceplas-ceplos,
acap ngawur. Akan tetapi secara sportif Kusnadi mengakui, apa yang Amin bilang
tak jarang betul juga. Biasanya Kusnadi merasa omongan Amin betul ketika dia
tak bisa begitu saja menimpali ocehannya. Biasanya Kusnadi akan sejenak seperti
saat ini ketika Amin bertanya, “Lalu, apa alasan orang-orang membenci Kang
Mamik, sehingga hari ini—pada hari kematian Kang Mamik—orang-orang yang datang
melayat dan membantu proses pemakaman nyaris bisa dihitung dengan jari tangan
dan jari kaki? Itu pun tanpa jempol!”
Kusnadi diam saja. Dia
mengalah.
Di pusara Kang Mamik,
Kusnadi dan Amin tafakur. Khusyuk sekali mereka mendoakan Kang Mamik. Tak lupa
mereka melempar-lemparkan bulatan-bulatan kecil tanah ke gundukan yang masih
basah itu, seperti yang diajarkan Ustad Dulhadi. Mereka hanya melempar, tidak
tahu apa doanya.
“Kini kau sudah sudah
sampai pada awal perjalanan abadi, Kang Mamik,” kata Amin. Diam-diam matanya
sedikit basah. Dia kemudian bangkit.
“Paling tidak
orang-orang sekampung tidak dosa, Min. Sebab kata Ustad Dulhadi, hukumnya cuma fardhu kifayah. Dan sekarang kita nggak
usah ribut, pemakaman sudah selesai.” Nada bicara Kusnadi agak melunak. “Kita bodho, tidak tahu apa-apa, mending mengerjakan
apa yang bisa kita kerjakan, dan jangan usil mengganggu atau merugikan orang
lain. Gitu aja ta?”
Serius sekali Amin
menyimak kata-kata Kusnadi, sobat karibnya sejak bayi. Dahi Amin berkerinyut.
Keringat sisa-sisa tenaganya selepas menguburkan jenazah Kang Mamik mengalir di
antara kerinyut-kerinyut dahinya, menyentuh mata dan hidung, lalu menjadi
tetes-tetes yang menggantung di ujung janggut tipisnya. Meski manggut-manggut,
nampaknya Amin tak puas. “Justru itu, Kus. Orang-orang bodoh seharusnya tak
banyak mikir!” Amin berseru sambil menunjuk dahinya sendiri berkali-kali.
***
Sepeninggal Kang Mamik,
semacam kekhawatiran merayapi dada Amin dan Kusnadi. Bagi mereka, yang dikenal
sebagai pengikut setia Kang Mamik, pertanyaan Amin tempo hari—apa yang paling
logis dan masuk akal untuk membenci Kang Mamik—mudah terjawab, yaitu kebiasaan
orang-orang yang tak terlalu suka mendengarkan dan meresapi dahulu ayat-ayat,
memaknai dengan jujur pula bahwa meskipun yang disampaikan itu benar, acap memerahkan
telinga. Orang-orang itu tak suka dinasihati. Nasihat itu memang seperti puyer,
pahit sekali diminum saat badan sakit.
“Lo, padahal Kang Mamik
tidak pernah memaksa, Kus?” sergah Amin.
“Iya, betul. Tapi
ingat, Min, bagaimana cara Kang Mamik bekerja. Kang Mamik seolah tak pernah
lelah. Kadang aku juga mikir, Kang Mamik seolah lahir untuk kerja seperti itu
saja, berkeliling dan bertemu orang-orang.”
“Justru itu....”
“Kamu ini sejak kemarin
justru itu-justru itu terus-terusan,” Kusnadi protes.
“Asem kowe Kus!”
“Sekarang, justru apa?
Nyaris di semua jalan di kampung ini ada bekas tapak kaki Kang Mamik. Tak ada
jalan yang tak pernah dia lalui! Hmmm...” Kusnadi berdehem, lalu terkekeh
melihat Amin yang melongo. Lanjut dia, “Kang Mamik seperti salesman, dan mungkin salesman yang njengkeli bagi orang-orang. Ibaratnya sudah tahu tak ada orang tertarik
dengan apa yang dia tawarkan, Kang Mamik malah semakin getol menemui
orang-orang? Kalau begitu apa tidak edan?”
Mereka seketika ingat,
bagaimana suatu sore Pakde Sulimin tiba-tiba mencak-mencak ketika Kang Mamik
bertandang ke rumahnya. Penyebabnya, Kang Mamik yang cuma lulusan STM dan seumur-umur
tidak pernah mondok di pesantren tetapi selalu omong perkara akherat. Saklek betul! Dan, Pakde Sulimin yang
tahun ini hendak naik haji merasa digurui anak kemarin sore. Beliau jelas tidak
berkenan. “Aku lebih tahu akherat daripada kamu, Mik!” Pakdhe Sulimin muntab.
“Nah! Justru itu, Kus,”
dengan cepat Amin langsung menyambung agar tidak diprotes Kusnadi, “Seperti yang
kubilang kemarin, orang-orang sudah picek!
Nggak mungkin Kang Mamik menawarkan perkara sampah! Yang dia sampaikan
pasti bernilai. Paling tidak seperti itu yang kita rasakan, bukan?”
Kali ini, mereka sama-sama
diam. Hanya desir-desir angin—yang tak
mereka rasakan—sebagai backsound, nyanyian
sunyi. Lalu, ketika perlahan-lahan angin mendingin, perlahan gigil semakin
merayap dalam hati mereka.
“Lalu, kita bagaimana?
Apakah kita akan seperti Kang Mamik? Sanggupkah menjadi orang asing di kampung
kelahiran?”
***
Cakrawala memancar
cahaya. Sementara kerisauan merayap di dinding hati Amin dan Kusnadi,
kehangatan menjalar dari warung-warung kopi, dapur-dapur masakan, jalan-jalan
dan persimpangan, di tiap-tiap nafas, tiap jengkal tanah, dan seluruh dimensi
ruang di kampung itu.
Sayup terdengar azan
maghrib, Tompel takjub. Gelak tawa Tompel tiba-tiba terhenti. Ada getaran halus
merayapi lengannya, terus sampai ke dadanya yang kerempeng. Dia sedang
nongkrong di warung kopi Yu Kesmi bersama Komplong, Topeng, dan Gembus.
Tompel menyeruput kopi.
“Aku merasa tak punya alasan untuk datang ke pemakaman Kang Mamik. Aku merasa
bukan bagiannya! Mereka yang datang, jauh dari aku! Aku tidak sama dengan
mereka!”
“Kamu sudah siap tobat?”
serius sekali Komplong bertanya. Biasanya dia cengengesan.
“Kalau kalian iya, aku
juga iya,” Topeng menyahut, lalu katanya, “Edan, aku tiba-tiba merinding! Kang
Mamik kira-kira sekarang sedang ngapain ya di dalam kuburan? Hiii!”
“Kupikir-pikir Mamik itu
orang baik, nggak mungkin dia
gentayangan!” Gembus menukas, seolah-olah yakin betul apa yang sedang
dipikirkan itu juga sedang dipikirkan kawan-kawannya.
“Ndhasmu! Sing ngomong Kang Mamik gentayangan sapa?” Tompel
mendorong kepala Gembus.
Yu Kesmi cuma
senyum-senyum genit mendengar celoteh para pemuda, yang kata orang-orang tak
punya masa depan cerah itu. “Mbok sudah
sana, ke masjid! Katanya mau tobat, ternyata gombal! Hihihi....”
“Bentar, Yu. Pertobatan ini kan baru rencana. Perlu dibahas dulu secara
masak-masak kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan. Lagian kok sampean nyuruh-nyuruh? Wong sampean sendiri magrib-magrib begini nggak salat,
malah buka warung terus!” Topeng beralasan.
“Oh, aku kan lagi M, hi-hi-hi....”
Yu Kesmi tersipu.
“Males saja ngaku mens!” Topeng bersungut-sungut.
Huuu!
Tidak jauh dari situ,
suara batuk Abah Rasyid memecah risau, menghambur dahak. Sementara Nurjannah,
istri Abah Rasyid, menyeduh kopi pahit. Dia hidangkan kepada Abah Rasyid. Lalu,
dengan lembut ia memijit kaki sang suami. Sejak mendatangi pemakaman Kang Mamik
dua hari lalu, Abah Rasyid belum lagi keluar rumah. Abah Rasyid merasa sungguh
kepayahan. Kedua kakinya dan seluruh persendian tubuh rasanya seperti mau
remuk, mrothol. Lalu, yang membuat
Nurjannah begitu khawatir, Abah Rasyid menjadi tak begitu cerewet seperti
biasanya.
Maka, ketika Abah
Rasyid mulai berkata, “Jannah-ku....”
Nurjannah dengan sigap menjawab, “Ya, Bah!” Sembari terus memijit, ia
berkonsentrasi betul pada apa yang hendak disampaikan sang suami.
“Pemakaman si Mamik
membuatku payah. Baru kali ini aku berdesak-desak melangkah ke kubur. Bahkan
aku tak melihat keranda si Mamik ketika aku menyalati. Mataku seolah tertutup
kabut. Mereka serba putih. Aku tak tahu, dari mana saja kawan-kawan si Mamik
berasal? Menyalati di shaf belakang,
aku terus memikirkan itu. Aku sampai tak memikirkan bacaan-bacaan dalam salat
mayat.”
Tak terasa Nurjannah
berhenti memijit. Dahinya berkerinyut. Mulutnya melongo. Dia mengingat-ingat
siapa-siapa saja yang melayat Kang Mamik kemarin.
Sementara Abah Rasyid
terus bergumam, “Jannah, jannah, jannah-ku....”
[]
Ambarawa, April
2013
________________________________
Catatan:
Picek:
buta
Kalimat toyibah: ungkapan atau kalimat puji-pujian.
Fardhu
kifayah: sunah, tidak wajib dilakukan.
Bodho:
bodoh,
goblok, dungu, bebal, degil, dogol.
“Asem
kowe, Kus!” : makian, asem
penghalusan dari asu, anjing.
Salesman,
penjual.
Njengkeli:
menjengkelkan.
Saklek,
zakelijk, kaku, apa adanya, lugas.
Muntab,
meluap,
kemarahan yang memuncak.
Backsound,
latar
suara.
Ngapain:
untuk
apa, buat apa.
“Ndhasmu!
Sing ngomong Kang Mamik gentayangan sapa?” : “Siapa bilang
roh Kang Mamik gentayangan?”
Mbok:
ibu, emak—dalam konteks ini sebagai kata depan.
Bentar:
sebentar.
Nyuruh-nyuruh:
menyuruh-nyuruh.
Wong:
orang—dalam
konteks ini sebagai kata depan.
Males:
malas.
Mrothol:
lepas,
terlepas.
Shaf:
barisan
(memanjang) dalam salat.
Jannah:
surga.
Terima kasih kepada Kang Putu (Gunawan Budi Susanto) yang berkenan memuat cerpen ini di Cerpen Pilihan Kang Putu Edisi #11, Selasa 21 Mei 2013.
http://www.facebook.com/notes/kang-putu/cerpen-pilihan-edisi-11-tahun-1-selasa-21-mei-2013/392561390857673
.
http://www.facebook.com/notes/kang-putu/cerpen-pilihan-edisi-11-tahun-1-selasa-21-mei-2013/392561390857673
.