Melatih Anak Berbicara

            Kemampuan berbicara merupakan satu karunia yang tak ternilai harganya dari Tuhan untuk manusia. Dengan kemampuan tersebut manusia dapat mengungkapkan isi hatinya melalui bunyi yang dikeluarkan dari mulutnya. Faktor berbicara ini juga telah membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Seekor anjing dapat menggonggong, seekor kambing dapat mengembik, atau seekor singa dapat mengaum, tetapi mereka tidak mampu menceritakan pengalaman masa kecilnya kepada kawan-kawannya. Dengan kemampuan berbicara tersebut manusia akan mengungkapkan dirinya, mengatur lingkungannya, dan pada akhirnya dapat menciptakan bangunan budaya insani.
            Berbicara merupakan satu bentuk mengekspresikan bahasa melalui bunyi-bunyi ucapan. Kemampuan berbicara perlu dikembangkan sejak dini. Terdapat dua macam teori akuisisi bahasa, teori behaviorisme dan teori mentalis. Teori behaviorisme mengatakan anak terlahir tidak memiliki potensi bahasa. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Sedangkan teori mentalis mengatakan sebaliknya. Teori ini mengasumsikan bahwa perolehan bahasa anak (akuisisi bahasa) merupakan penguasaan yang ada dengan sendirinya, anak sejak lahir telah membawa potensi berbahasa tersebut. Kemudian potensi atau aktifitas berbahasa tersebut akan berkembang apabila kematangan untuk itu telah tiba. Namun dalam teori behaviorisme bahkan kematangan si anak pun bukan merupakan suatu yang menentukan proses perkembangan bahasa.
            Namun, yang perlu diperhatikan di sini adalah ternyata dari kedua tersebut baik teori behavioral maupun mentalis sama-sama memerlukan model pembelajaran berbahasa yang tepat. Model tersebut diharapkan mampu menciptakan satu interaksi yang positif antara guru dan si terdidik melalui proses belajar bahasa yang menarik. Proses belajar tersebut berkaitan dengan strategi, teknik, dan pelaksanaanya, baik dalam proses interaksi di dalam kelas maupun interaksi di luar kelas.
            Di sini guru harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi si terdidik untuk memperoleh pengalaman berbahasa. Yang dalam teori mentalis diartikan sebagai pengembangan atau penelusuran potensi berbahasa yang dimiliki si terdidik. Si terdidik dipandang sebagai seorang yang berpotensi dan harus mengembangkan potensi yang dimilikinya.
            Bertolak dari permasalahan diatas, barangkali suatu model pengajaran berbahasa (berbicara) yang menarik bagi siswa dalam interaksi guru dan siswa di luar kelas adalah model karyawisata. Metode karyawisata adalah metode belajar dengan membawa siswa ke dalam suatu lingkungan yang kongkret yaitu objek wisata. Beberapa keunggulan dari metode ini adalah dapat menerapkan prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran. Selain itu dapat membuat bahan yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat. Model pengajaran ini juga dapat lebih merangsang kreativitas anak.
Dalam kaitannya dengan pengembangan kemampuan berbicara, metode karyawisata dapat digunakan bagi anak-anak usia sekolah (7-14 tahun). Hal ini dilakukan dengan mengambil jalan tengah antara masa bermain anak dengan masa anak mulai kritis dalam berpikir. Diketahui sebelumnya usia 0-7 tahun masa kanak-kanak merupakan masa mulai bermain, berkawan, dan berkomunikasi dengan dunia luar. Sedangkan pada usia 7-14 tahun adalah masa sekolah. Pada usia 12 tahunan biasanya siswa memasuki masa kritis, dimana pendidik harus lebih memperhatikan, memberi pengertian, serta bimbingan kepada mereka.
Berkenaan dengan objek wisata yang dikunjungi, hendaknya objek yang benar-benar relevan dan  dapat menunjang pembelajaran. Misalnya: Museum sebagai penunjang pembelajaran IPS, kebun binatang sebagai penunjang pembelajaran IPA, atau objek wisata alam untuk menstimulus siswa mengekspresikan perasaan mereka. Metode ini hendaknya yang dirancang terlebih dahulu oleh pendidik dan diharapkan siswa membuat laporan dan didiskusikan bersama dengan peserta didik yang lain.
Agar lebih menarik, selama berada di dalam objek wisata dapat pula guru mengkreasi sebuah bentuk permainan yang menarik. Karena kebanyakan anak-anak suka akan permainan. Suasana ceria dalam bermain ini diharapkan mampu dihadirkan anak ketika diminta guru untuk menceritakan kembali pengalaman tersebut nanti setelah usai kegiatan pariwisata tersebut. Dengan bermain anak akan diajari pula pentingnya membina hubungan sosial, mengajari anak mengenal aturan, dan mengajari anak akan kebersamaan.
Adapun sasarannya dalam pengembangan kemampuan berbicara anak adalah setelah mereka menjalani karyawisata tersebut. Setelah mereka melihat obyek-obyek yang didatangi, diadakan suatu forum diskusi. Misalnya di dalam forum tersebut anak dicoba untuk mengekspresikan apa yang dilihatnya selama wisata, atau mengungkapkan perasaan atau pendapatnya secara bebas. Siswa dapat menceritakan binatang apa saja yang dilihatnya di kebun binatang, bagaimana kondisi lingkungannya, atau apa yang dirasakan selama berada di dalam objek wisata. Bahkan siswa pun dapat pula menceritakan bagaimana proses perjalanan menuju ke tempat wisata yang mungkin melalui jalan yang berliku-liku atau melewati tempat-tempat yang menarik. Misalnya melewati kota-kota yang terkenal seperti Jepara yang terkenal dengan ukirannya, atau kota Pekalongan yang terkenal dengan batiknya.
Seandainya pun di dalam forum ternyata tidak berjalan seperti apa yang direncanakan, yaitu tidak adanya anak yang mau mengekpresikan pendapatnya, disinilah guru akan menjalankan perannya. Pada saat itu guru dituntut untuk kreatif menghidupkan forum diskusi. Guru harus mampu mencari suatu permasalahan yang relevan antara obyek wisata dengan pembelajaran dan sekiranya cukup dipahami oleh anak. Guru juga dapat menyiasati kondisi tersebut dengan membagi peserta didik ke dalam beberapa kelompok. Di dalam persaingan antar kelompok inilah diharapkan akan tercipta suasana yang aktif dan komunikatif baik antara guru dengan siswa, atau antara satu siswa dengan siswa yang lain dalam rangka memecahkan permasalahan dari guru tadi. Dengan demikian anak akan saling berlomba-lomba untuk mengambil satu atau beberapa alternatif jawaban untuk menjawab permasalahan tersebut. Implikasinya, hal ini akan mendorong anak untuk berpikir kritis dan mendorong untuk menyumbangkan buah pikirnya untuk memecahkan masalah bersama.
Pemikiran kritis yang bersumber dari semakin berkembangnya sisi kognitif siswa berbanding lurus dengan penguasaan bahasa siswa. Semakin baik segi kognitif siswa, artinya semakin dalam pula penguasaan bahasanya, dan sebaliknya. Adapun keterampilan berbahasa siswa, satu diantaranya adalah kemampuan berbicara. []
close