POTRET

Potret

Cerpen Lawas M. Rif'an Fajrin

Udara terasa amat panas. Di jalanan yang berdebu, di gang-gang, trotoar pinggir jalan, memperlihatkan wajah-wajah yang gerah, kening dan leher mereka berkeringat. Mendadak sebagian orang rindukan pohon yang rindang sebagai tempat berteduh, ada pula yang memilih untuk berlindung di kedai-kedai mie dan es campur.

”Eit, jangan dibuang kawan!”
Agus mengambil sumpit, membenamkan lalat itu ke dalam es campur. Lantas dengan keterampilannya mencapit perut lalat itu diantara kedua sayapnya.
”Nah, aman diminum sekarang.” Sambil tersenyum, ”di satu sisi sayap lalat ini terdapat penyakit dan sekaligus terdapat penawarnya di sisi yang lainnya.”
Sedangkan lalat itu masih tak bergerak tercepit, lebih menarik perhatian Doni daripada penjelasan Agus. Kemudian Doni mengambil selembar kertas iklan dan sebuah kamera dalam ranselnya.
”Sebentar Gus, ada sesuatu yang menarik pada lalat ini.” Beberapa saat kemudian terlihat Doni memotret lalat tersebut dari berbagai angle. ”Bisa jadi gambar yang menarik. Kebetulan pas dengan tema ’Manusia dan binatang’. Coba baca ini, Gus.” Sambil menyodorkan lembar info lomba kepada Agus.
”Aduh, kenapa baru sekarang kamu ngasih tahu, Don? Wah tinggal empat hari lagi nih.”
”Sori Gus, aku juga baru dapat dua hari yang lalu. Makanya kita mesti cepet-cepet hunting foto. Kita boleh mengirimkan maksimal tiga buah foto. Terus terang aku tertarik, Gus. Nanti foto-foto yang bagus akan dipamerkan di halaman Balai Kota sekalian diumumkan siapa pemenangnya. Asyik kan?”
Agus hanya mengangguk-angguk.
Agus dan Doni, dua sohib karib ini sejak jadi mahasiswa kebetulan memang sangat tertarik dengan dunia fotografi dan kira-kira sudah dua tahun menekuni fotografi. Waktu yang cukup lumayan bagi ukuran mahasiswa. Sering mereka berdua pergi ke tempat-tempat rekreasi, tempat-tempat keramaian, wisata alam, sungai-sungai atau pegunungan hanya untuk mencari foto yang menarik. Mereka juga sesekali mengikuti lomba-lomba foto, baik untuk umum maupun untuk mahasiswa.
”Aduh, tapi kameraku masih dibawa adikku, Don! Dibawa studi tour ke Bali dua minggu yang lalu. Sampai sekarang belum dikembalikan.”
”Adik? Bukannya kamu gak punya adik?”
#

”Namanya Erin...” Agus memulai ceritanya tentang ’adiknya’ itu. Bahwa hubungan Agus dan Erin memang unik. Antara mereka berdua sebenarnya tidak ada hubungan saudara. Namun sejak kecil Agus memang telah dekat dengan Erin. Disebabkan karena selama 5 tahun Agus dulu diasuh oleh ibunya Erin ketika kecil saat bapak dan ibu Agus terlampau sibuk bekerja. Sayang sekali Erin tidak sempat melihat bapaknya yang pergi meninggalkan ibunya setelah ia lahir. Jadilah ia tinggal sendirian bersama ibunya, ditambah Agus yang masih sering dolan ke rumahnya.
Pada saat Erin lahir, Agus baru duduk di bangku Sekolah Dasar kelas satu. Saat itu ia sangat ingin mempunyai seorang adik. Namun ketika ia mengutarakan keinginannya kepada bapaknya, bapak mengatakan tidak boleh dengan alasan Agus belum siap mempunyai seorang adik. ”Seorang kakak harus pandai menyayangi adiknya,” kata bapak dulu. Barulah sekarang Agus mengerti bahwa ibunya tidak mungkin melahirkan kembali setelah rahimnya diangkat oleh dokter setelah melahirkan Agus.
Agus kecil yang ingin menunjukkan kepada bapaknya bahwa ia bisa menyayangi seorang adik, benar-benar menunjukkan sayangnya pada Erin. Siang menjelang dzuhur sepulang sekolah Agus selalu ke rumah Erin yang berjarak beberapa ratus meter dari rumahnya, tanpa mengganti seragam sekolah dan juga makan siang terlebih dahulu. Agus seakan tak ada bosan memandang wajah bayi Erin yang lucu dan menggemaskan. Bapak dan Ibunya Agus hanya membiarkan anaknya itu bahagia dengan menganggap Erin sebagai adiknya.
Kebahagiaan Agus semakin bertambah ketika Erin mulai bisa berjalan dan berlari serta kemudian masuk bangku sekolah. Sejak saat itu Agus dapat mengajak Erin yang lincah bermain-main. Kadang mereka bermain congklak, petak umpet, atau berkejar-kejaran. Kadang Agus kadang mengajak Erin bermain bola atau permainan anak laki-laki yang lainnya. Kadang juga sebaliknya, Agus yang dipaksa bermain lompat tali oleh Erin.
Begitulah. Namun, sejak Agus melanjutkan ke SMA di luar kota, ia sudah tidak banyak lagi punya waktu untuk bertemu dan bercanda dengan Erin. Apalagi ketika Agus melanjutkan kuliah, Agus merasa kehilangan kesempatan untuk membagi kebahagiaan dengan Erin. Maka setiap kali Erin meminta sesuatu kepada Agus, Agus selalu berusaha memenuhinya untuk mengganti atau menebus kebersamaannya dengan Erin yang hilang. Termasuk ketika Erin datang kepada Agus meminjam kameranya untuk studi wisata ke pulau dewata selama lima hari, Agus dengan senang hati meminjamkannya.
”Nah, maka aku harus pulang ke rumah mengambil kameraku dulu yang sampai saat ini belum dikembalikan. Setelah itu kita hunting bareng. Kita berlomba, siapa yang lebih baik!”
”Baik. Aku setuju.” Sahut Doni mantap.
#

Di dalam kamar Agus, Doni sedang membolak-balik majalah sambil tidur-tiduran di atas karpet. Walaupun tangannya memegang majalah, namun pikiran Doni mengembara kemana-mana. Maka tak lama majalah itupun dilemparkannya begitu saja ke atas kasur. Untuk mengusir kebosanannya, ia kemudian menyalakan komputer. Namun, tiba-tiba Agus datang sambil terengah-engah.
”Aduh, gawat Don! Ada sesuatu yang tidak beres!”
”Tenang. Tenang dulu, Gus. Duduk dulu,” Doni mencoba menenangkan Agus, memberinya segelas air putih.
”Nah, sekarang baru kamu cerita apa yang terjadi..”
”Kameraku hilang, Don!”
”Hilang?”
”Barusan ketika aku ke rumah Erin, ibunya mengatakan sudah sebulan Erin pergi dari rumah. Dan dia mengatakan, Erin tidak pernah pergi ke Bali. Dulu ketika kabur dari rumah, Erin mengatakan ingin mencari bapak.”
”Jadi, dia telah bohong padamu?”
”Tepat. Aku masih tidak percaya bagaimana ini bisa terjadi. Apa yang terjadi dengan Erin? Saat ini aku belum berpikir tentang kameraku. Namun, tadi ibu Erin cerita sambil nangis bahwa hari-hari belakangan ini banyak teman-teman Erin yang datang ke rumah menanyakan HP mereka, baju dan celana mereka, perhiasan, jam tangan, pokoknya macam-macam-lah yang kata mereka dipinjam oleh Erin! Namun ibunya tidak tahu kalau Erin juga membawa kameraku. Jangan sampai dia tahu, hal ini akan semakin menyiksa dirinya.” Agus bercerita sambil geleng-geleng kepala.
”Ibu merasa telah gagal mendidik Erin.”
”Sabar, Gus. Mudah-mudahan yang sesungguhnya terjadi tidak seburuk yang kita bayangkan.”
”Aku tahu itu, Don.”
Sebenarnya Agus masih tidak percaya bahwa Erin telah berubah. Namun ketika diingatnya kabar yang didengarnya dari tetangga kanan kiri Erin, Agus sedikit-demi sedikit tlah percaya bahwa Erin benar-benar telah berubah. Kabar itu dirasakan Agus bagai pisau yang menusuk dalam hatinya. Agus masih sangat sulit untuk percaya bahwa Erin telah menjadi anak nakal dan tidak jelas masa depannya.
”Tidak kita coba untuk mencari Erin, Gus?”
”Aku rasa sulit. Kemanakah hendak dicari? Untuk saat ini aku harus melupakan tentang sayembara foto itu, Don.” Doni hanya terdiam sambil membuka gambar-gambar Agus dalam komputer.
Baik Agus maupun Doni terdiam. Pikiran mereka berkecamuk.
Doni yang telah menganggap Agus sebagai sohib terdekatnya sebenarnya sedang berpikir bagaimana caranya ia dapat membantu Agus yang sedang kesusahan itu. Tapi bagaimana caranya?
”Gus, aku punya cukup foto untuk dapat kau pakai dalam lomba itu,” kata Doni sambil terus mengamat-amati gambar-gambar Agus. ”Yah, tidak terlalu banyak memang. Namun kau dapat memilihnya mana yang menurutmu baik. Atau kita hunting dengan satu kamera.”
”Sudahlah Don. Terima kasih.”
”Tapi setidaknya kamu dapat mencobanya dulu, Gus.”
Bukannya menjawab, Agus malah membalikkan badannya menghadap ke tembok sambil memeluk guling. Matanya dicobanya untuk terpejam.
”Biasanya kamu yang lebih bersemangat dari aku, Gus.”
Doni tidak berkata-kata lagi. Ia memang tidak menunggu jawaban dari Agus. Ia hanya bisa menghela napas. Ia tahu bagaimana perasaan Agus.
Tiba-tiba mata Doni menangkap gambar yang begitu menarik perhatiannya. Sejenak Doni terdiam dengan ketakjuban yang tidak direka-reka. Gambar seorang gadis kecil yang sedang berjongkok sambil tersenyum geli menyodorkan setangkai mawar merah kepada seekor kucing. Sedangkan kucing itu, dengan kaki depannya yang terangkat seolah ingin menerima bunga itu, sedangkan matanya terlihat begitu ’heran’ dengan pemberian yang luar biasa itu.
”Gus. Siapa gadis kecil ini, Gus?”
Agus masih terdiam.
“Gus, coba lihat ini. Terus terang aku mengatakan gambar ini sangat bagus. Aduh Gus, coba deh lihat!”
Dengan sedikit malas Agus membalikkan badannya menghadap komputer.
”Gadis kecil itulah adikku, Erin.”
”Inikah dia Gus?”
”Gambar itu sempat kuambil ketika dia datang meminjam kameraku. Yah, waktu itu aku coba memberi tahu bagaimana cara memakainya. Sempat pula ia melihat bagaimana memindahkan gambar di kamera itu ke dalam komputer, bila memorinya telah penuh.”
Doni tersenyum.
”Aku kira gambar ini sangat bagus, Gus. Kamu kirimkan saja gambar ini untuk sayembara itu, Gus.”
Agus menggeleng lemah. ”Ah, tidak Don.”
”Ayolah, Gus.”
”Gambar itu buat kamu aja deh Don. Terserah hendak kamu apakan gambar itu.”
Doni mengangguk. ”Baiklah, Gus.” Dalam hatinya Doni berniat mengirimkan gambar itu atas nama Agus, disamping mengirimkan gambar miliknya sendiri dalam lomba foto itu.
#

Agus tengah bersiap untuk istirahat sepulang dari kampus ketika ponselnya berdering.
”Dari Doni,” gumamnya.
”Assalamualaikum. Ada apa Don?”
”Bisa. Memangnya kenapa?”
”Benarkah?”
”Ya udah. Tunggu aku di kampus. Aku ganti pakaian dulu. Aku segera kesana.”
”Iya, waalaikumsalam.”
#

Dengan wajah yang berseri-seri dan senyum yang selalu menghias bibirnya, Doni mengajak Agus ke Balai Kota. Di sana akan dipajang foto-foto hasil karya dua dimensi yang menjadi pemenang lomba dan yang masuk sebagai nominasi.
Sesampainya di Balai Kota, Doni langsung menyeret Agus ke foto yang dinobatkan sebagai pemenang.
”Aduh Don, pelan-pelan dong. Aku mau lihat foto-foto itu urut dari sebelah sini dulu.”
”Sudaaah. Ayo ikut aku, aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu,” Doni begitu bersemangat menyeret Agus.
Agus terperangah ketika dilihatnya gambarnya terpampang di deretan tiga besar para pemenang lomba foto tersebut. Di bawah foto itu tertulis judul gambar: ”Hadiah yang Tulus untuk Seekor Kucing” karya Agus Ramdhan. Doni membiarkan Agus terkejut untuk beberapa saat.
”Don, gambar itu...”
”Iya, gambar itu milikmu. Aku yang mengirimkannya atas namamu,” sambil tersenyum melirik Agus yang seolah masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
”Foto kamu meraih juara dua dan berhak atas uang tunai 5 juta rupiah plus sebuah kamera.”
”Bagaimana dengan gambar milikmu Don?”
”Ada di posisi ketiga, Gus. Aku memang harus terus belajar padamu, Gus. Kamu masih saja selalu setingkat di atas aku.” Doni menunjuk foto di sebelah foto milik Agus.
”Gadis Kecil Bermata Indah Menari Bersama Kupu-Kupu,” Agus mengeja judul gambar milik Doni. ”Hm, cukup manis Don.”
Doni memeluk Agus. Ia merasa begitu bahagia telah dapat sedikit memberikan sesuatu kepada sahabatnya, Agus.
Doni melepas pelukannya, ”Gus, akhirnya kamu mendapatkan sebuah kamera yang lebih bagus sebagai ganti kameramu yang hilang.”

Namun Agus justeru terdiam. Seakan teringat sesuatu, perlahan ia berucap, ”Apakah aku masih bisa mendapatkan kembali Erin yang hilang, Don?” ***

Baca Juga Cerpen Lawas Lainnya: Esok Masih Ada Matahari  dan Kotak Ajaib :) Hihihi
close