Bertengkar dengan Damai


Cerpen Lawas M. Rifan Fajrin

Aku sangat mencintai kedamaian. Aku menyukai ketenangan. Namun, bila ada yang mengusikku, itu soal lain. Dan aku tak mengerti apa yang terjadi pada diriku. Mengapa orang yang berprinsip damai sepertiku justru mendapat banyak kesempatan untuk melanggar prinsip itu. Dari sana kemudian aku menjadi paham bahwa prinsip memang tak boleh mengekang. Ia akan menjadi sangat lentur menyesuaikan keadaan.
Seumur hidup entah berapa kali aku pernah berkelahi – atau, hanya satu yang aku ingat persis apa sebabnya, barangkali itulah untuk pertama kalinya aku berkelahi. Perkelahian itu terjadi waktu aku masih kecil, aku baru berumur belasan saat itu–. Aku ingat, perkelahian yang kulihat justru lebih sering disebabkan oleh perkara-perkara yang sepele dan kesalahpahaman, atau diawali dengan canda yang sungguh keterlaluan.
Dulu aku berkelahi di wc sekolah karena seorang temanku – namanya Harry –  yang entah dengan sengaja atau tidak, menyiramkan air kencingnya ke punggungku yang terang saja kemudian menjadi berbau sangat menjijikkan. Aku tidak mengerti mengapa ia melakukannya padaku. Jika pun aku dapat menduga sebabnya, tak lain adalah karena Ema lebih memilih mencintaiku daripada dia. Padahal semua orang tahu, ia sangat menginginkan Ema. Sedangkan aku, rasanya aku tak terlalu menginginkan Ema.
Kupikir bukanlah satu tindakan yang konyol jika aku harus berkelahi dengan Harry saat itu. Bagiku perkelahian itu bukan soal persaingan untuk mendapatkan Ema, melainkan sebab Harry tak pandai menjaga kemaluan dan telah bersikap kurang ajar dengan kencingnya. Maka, saat menghantam kemaluannya adalah sesuatu yang menyenangkan.
Tapi Harry, aku sungguh menyesal telah melakukan itu, maafkan aku. Hanya saja jadikanlah itu sebagai pelajaran moral yang berharga sebagai bekalmu menuju dewasa untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku!
Sejak perkelahian itu, Ema pun menjadi lebih menyukaiku. Ema pula yang dengan susah payah mencuci bajuku, mengeringkannya, dan memberinya parfum, meski sebenarnya aku telah mencegahnya. Sebenarnya aku lebih menginginkan Harry yang melakukannya. Namun aku mengalah. Tidaklah mungkin Harry membersihkan pakaianku sedangkan ia tengah terlentang di ruang perawatan dan menangisi keadaannya sendiri yang buruk.

Ema sendiri tak terlalu peduli keadaan Harry, apalagi bersimpati, meskipun kepada orang yang sedang kesakitan dan menderita. Sebagai gadis remaja seperti Ema, kulihat Ema telah pandai mengambil sikap. Ia telah bisa mengesampingkan perasaan kasihan yang terlalu. Ia bisa melihat siapakah yang berada pada posisi yang salah, dan siapakah yang berada pada posisi yang benar. Dalam pandangan Ema – lepas dari rasa sukanya padaku – akulah pihak yang benar itu. Dan memang demikianlah adanya.
Namun aku sempat terkejut kala Ema berkata, “Aku justru semakin membenci Harry!”
Kuharap semoga perasaan bencinya itu bukan ditimbulkan karena Harry begitu mencintai Ema, yang kemudian ternyata hal itu cukup mengganggu ketenangan Ema. Kuharap Ema membenci Harry sebab memang Harry-lah yang telah bersalah, ia yang memicu pertengkaran denganku. Namun, bukankah kata “semakin” itu pasti memiliki titik awal darimana ia bermula?
Maka, kubilang pada Ema, “Ini sangat tidak adil bagi Harry, Ema! Kau tidak bisa membenci seseorang yang mencintaimu hanya karena perasaan cinta itu tak berbalas!”
Sebenarnya aku ingin menambahkan kepada Ema, “Bukankah kau pun tak ingin aku membencimu sebab aku tak mencintaimu? Membenci bukan lawan dari mencintai, Ema!” Namun, cukuplah. Lain kali saja kusampaikan pada Ema. Aku takut nasihat mengagumkan itu justru akan semakin menambah rasa cinta Ema kepadaku. Dan aku tak ingin itu.
Ya, aku memang baik hati. Aku memang menyukai perdamaian dan kasih sayang. Dan pada akhirnya, meski belum setuju benar dengan kata-kataku, Ema mau kuajak mengunjungi Harry. Namun, dahi Ema sempat berkerinyut, “Kau sungguh-sungguh ingin menengok Harry? Bukankah dia….” “Ya, kita akan menengoknya bersama-sama! Kita berdua akan menengoknya! Dan sepertinya kau perlu mencatat, bahwa aku bukanlah seorang pendendam, Ema!”
Barangkali memang sulit dan bahkan mustahil bagi Ema – dan mungkin juga remaja lain seusiaku – untuk mengambil langkah seperti apa yang kulakukan jika memang tak memiliki jiwa yang besar sepertiku.
Tak ada yang kutakutkan saat bersama-sama dengan Ema untuk mengunjungi Harry. Tak ada yang kupikirkan selain hanya untuk mengurangi rasa geli sekaligus kasihanku saja sebab telah mencederai kemaluan Harry. Kurasa, aku telah melakukan satu hal yang sungguh-sungguh mulia yang belum tentu semua orang akan dapat melakukannya. Dan kurasa itu adalah satu tindakan yang benar, paling tidak hingga saat itu.
Barulah ketika aku dan Ema telah sampai di ruang dimana Harry dirawat, aku menyadari ada sedikit kekeliruan, ada sesuatu yang sedikit tak beres. Kesadaranku mulai terusik ketika aku menatap mata Harry, tatapan matanya kurasakan memang kurang bersahabat. Tapi tatapan mata Harry tersebut tak bisa kuterjemahkan dengan kata-kata: “Kau keterlaluan, Kawan. Bahkan untuk setengah gelas air kencing saja kau sanggup menghajar kemaluanku!” Bukan. Bukan seperti itu yang ingin disampaikan Harry kepadaku! Namun tatapan mata Harry lebih mengatakan: “Kau pikir ini akan berakhir di sini saja? Tunggu saja kelanjutan episode pertengkaran ini! Dan beraninya kau datang menjengukku bersama Ema!”
Aku tersenyum. Rileks saja menyadari begitu menggumpalnya kebencian Harry padaku. Kupikir aku tak akan segan menghajar kemaluannya untuk kedua kalinya. Mungkin ke depan, aku juga ingin menghajar matanya yang sungguh-sungguh tak mencerminkan kesopanan saat menatapku. Kondisi sakit ternyata tak mampu menjinakkan Harry untuk bersikap lebih santun. Apa boleh buat?
Nah, sejak saat itu aku menjadi semakin meyakini bahwa prinsip memang tak boleh mengekang. Ia akan menjadi sangat lentur menyesuaikan keadaan. Sejak Harry keluar dalam keadaan segar bugar, aku menjadi semakin sering berkelahi. Bukan hanya dengan Harry, aku pun harus sedikit repot meladeni teman-teman Harry. Namun tak apa. Kupikir tak hanya Ema saja yang gigih mendukungku dan mencintaiku. Kawan lelakiku juga cukup banyak. Mereka telah siap untuk sekadar berolahraga dan menghangatkan badan, bertinju, atau berlatih dan mengasah tendangan.
Aku pun tak kuatir. Selama lingkungan masih belum menyadari keadaan dan rewel untuk melapor ke polisi, semua bisa diatur. Sementara, bersenang-senanglah dengan damai.
Pada hari ini, setelah aku dewasa, barulah aku merasa, ternyata menjadi dewasa tak melulu menyenangkan. Alangkah ribetnya menjadi dewasa. Bahkan, pertengkaran orang dewasa bisa melebihi batas ruang dan akal.

Kadang ingin kembali menjadi kanak-kanak yang mudah saja termaklumi saat menaruh sisa permen karet, atau melumerkan cairan tipe-ex di kursi agar celana kawannya belepotan, dan akhirnya berkelahi namun tak sampai saling membunuh. Sangat menyenangkan, bukan? Dan lagi, berkelahi saat kanak-kanak bukan berarti kelak ia akan menjadi seorang yang brengsek. Seperti aku ini. Apakah aku seorang yang brengsek? Tidak, kan? []

Awal Januari 2010
close