Masing-Masing Memiliki Ceritanya Sendiri

Sekadar Catatan Buat Cerpen Fajar Nur Arifin --;  Dia Minta Aku Menikahinya
Oleh M. Rifan Fajrin


BUKAN MAIN GEMBIRANYA Indah menemukan sosok Wan yang – terjaga dari mimpi – kemudian bersedia menjadi Bapak dari anaknya. Entah mimpi apa Indah semalam? Sehingga ia ketiban untung semacam itu? Hehe, atau mungkin pertanyaan itu dibalik: mimpi apa Wan dalam tidurnya – di dalam bus itu – sehingga bangun-bangun ia sudah menemukan jodohnya pada perbincangan yang pertama pula?
Namun, bagaimana pun jalan manusia untuk ketemu jodohnya memang bukan bikinan manusia, jalan itu  bikinan Tuhan yang menciptakan manusia. Manusia tinggal melangkah saja di atas jalan itu, lalu jika bertemu dan cocok, saling suka, akhirnya jadilah: beres. Begitu sederhana. Lagipula, tak ada yang tak mungkin bila Tuhan sudah berkehendak – Dia yang menentukan. Sedangkan manusia, betapapun tidak masuk akalnya, ia mampu berbuat apa? Seperti misalnya: Tuhan bisa membikin scenario apapun untuk memberi makan kepada makhluknya yang tidak bekerja sekalipun. Padahal dalam pandangan manusia, bagaimana ia dapat makan sedangkan ia tidak bekerja??? Begitu pun soal cinta. Inilah yang dinamakan jodoh turun dari langit.
Nah, barangkali, ini pulalah yang sedang terjadi. Saya jadi teringat akan pernyataan yang intinya begini: “Penulis itu serasa tuhan dalam ceritanya. Ia yang paling tahu yang terjadi di dalam dunia yang disusunnya (tulisannya itu). Tentang kehidupan selanjutnya pun ia yang telah merancang dan menentukan endingnya.”
Adapun “Tuhan” ketika menciptakan dunia dengan bermilyar-milyar juta makhluk, masing-masing makhluk akan diberi jatah cerita kehidupannya sendiri. Terkadang ada satu nafas nyawa yang ia kebagian cerita kehidupan yang buruk, indah, lurus, maupun berliku-liku dan rumit. Masing-masing tak ada yang tak masuk akal. Masing-masing tentu saja akan bisa diterima.

DIA MINTA AKU MENIKAHINYA bagi saya merupakan cerita yang begitu sederhana. Bercerita tentang Wan yang harus menerima kenyataan hidup: Ia harus membesarkan anak istrinya, dan bukan darah dagingnya sendiri. Cukup menarik jika dipandang dari ide cerita. Sayang sekali Fajar Nur Arifin terkesan berlama-lama dan justru banyak kejadian tak perlu yang ia kisahkan. Misalnya pada permulaan cerita. Seharusnya ia tak terlalu panjang mengisahkannya. Ia bisa memadatkan kejadian itu, barangkali secara “mengejutkan” dengan datangnya suara telpon dari ayah mertuanya. Saya kira mungkin justru akan memberikan daya tarik luar biasa.
Berangkat dari ide bagus inilah, cerpen ini seharusnya bisa menjadi cerpen yang dahsyat. Setidaknya sejauh pemahaman saya, ada beberapa catatan terhadap cerpen-cerpen yang bagus:
1.      Mampu mencuatkan ide yang kuat – pada catatan ini cerpen Fajar berhasil.
2.      Menampilkan kejadian unik karakter manusia.
3.      Menyuguhkan deskripsi yang kuat, baik dalam latar setting, karakter itu sendiri, hingga pada suasana hati tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya.

Dari catatan itulah kita dapat memahami mengapa karya-karya berikut sampai sekarang bisa menjadi begitu abadi: Robohnya Surau Kami – AA. Navis, Sepotong Senja Untuk Pacarku – Seno Gumira Ajidarma, Orang-Orang Bloomington – Budi Darma, Malaikat Tak datang Malam Hari – Joni Ariadinata, atau Dilarang Mencintai Bunga-Bunga – Kuntowijoyo. 

Salam. []

Berikut ini adalah cerpen Fajar, Judulnya Dia Minta Aku Menikahinya. 
Selamat Menikmati dan Mengapresiasi.


Dia Minta Aku Menikahinya
Oleh Fajar Nur Arifin

Mega-mega dibalik kaca jendela menggumpal membentuk cendawan raksasa. Menghitam kian pekat. Sundoro Sumbing di kiri kanan adalah pelabuhan lamunanku setiap kali aku melewati jalan ini. Kali ini mereka tampak hanya kaki-kakinya. Hujan belum turun, tapi disini dingin adalah kesatuan.

Laju bus yang aku tumpangi tak sejalan dengan hasratku untuk segera bertemu dia, perempuan yang tiga bulan lalu aku nikahi. Dia aku sebut perempuan karna dia memang pantas aku sebut seperti itu. Pada bola matanya ada gubug tua tempat berteduh anak-anak manusia.
Memancing di sungai-sungai yang sepi telah menjadi bagian dari hidup, setidaknya itu bagiku. Kesunyian yang kudapat saat memancing adalah ruang subur bagiku untuk berkhayal. Dan dari khayalan aku menulis.

Tadi, saat aku sedang bermesraan dengan khayalan di sungai belakang kosku. Temanku datang menyusulku, dia tersenyum.

“Wan, dari tadi HPmu bunyi terus. Aku bawa ke sini siapa tau ada sesuatu yang penting. Sudah dapat berapa ikannya?”

“Wah, makasih, Mi. Ni baru dapat Satu.”

Saat handphone itu kuterima, deringya sudah berhenti. Di layarnya tertera tujuh panggilan tak terjawab. Saat kubuka buka ternyata istriku yang memanggil. Dan belum sempat aku memanggil balik, handphoneku kembali berbunyi. Segera aku angkat telfon itu, tetapi aneh, suara yang aku tangkap bukan suara manja istriku. Tapi suara bariton milik ayah mertuaku.

“Nak, cepat pulang. Indah mau melahirkan. Ini sudah dirumah sakit, tapi kata Bidan, Indah mesti menunggu beberapa jam lagi untuk melahirkan. Kantung air ketubannya belum pecah.”

“Iya pak, aku segera pulang. Indah baik-baik saja kan pak?

“Dia baik-baik saja. Yang penting kamu segera pulang. Pesan istrimu kamu pulang jangan naik sepeda motor.”

“Iya pak.”

Disaat seperti ini pun istriku masih memikirkan diriku. Dia sepenuhnya tau, aku lelaki yang mudah panik. Aku tak ingin membuatnya kecewa, Si perempuan perasa. Segera aku telfon agen trevel langgananku. Tapi mereka mengatakan dua jam lagi baru berangkat. Mengetahui hal itu, temanku yang dari tadi mendengarkan semua percakapanku, menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Tapi aku tau, untuk mengantarku pulang pulang, dia mesti membatalkan janji wawancara kerja dengan perusahaan yang selama ini ia tunggu. Aku pun dengan halus menolaknya. Lalu aku memintanya mengantarku ke tempat agen bus tujuan Semarang-Purwokerto. Tak beberapa lama kubalas lambaian tangannya seiring bus yang perlahan melaju.
***

Hatiku kian memburu, tiap jengkal waktu jalin-menjalin menutupi sabarku. Cendawan pun akhinya tumpah. Menawarkan aroma tanah. Lima tanjakan lagi, dikiri jalan, pada rumah sakit tempat istriku menunggu. Aku turun.

Saat aku telah sampai pada menatap wajah istriku. Sebentuk cinta belum menyapa dari pintu rahimnya. Kuraih tawaran jemarinya, kugenggam, berharap dia tahu betapa derasnya dukunganku. Kuleburkan kata pada gerak dan tatap mata.

Lama aku di samping istriku. Membasuh peluhnya. Ibu mertuaku tak henti-hentinya mengayunkan kipas. Membelaikan angin pada anak sulungnya. Hingga akhirnya awal pun tiba. Aku tetap di sampingnya, menahan genggam erat dari jemarinya. Jerit menggema, desah nafasnya serupa debur ombak yang menerjang karang-karang hatiku. Aku tak kuasa melihatnya begitu menderita, sampai akhirnya kegetiran pun bermuara di sudut mata. Jatuh. Dia menatapku.
Disela desah nafasnya dia berucap lirih.

“Mas, terimakasih.”

Di saat seperti ini aku hanya lelaki bisu, yang hanya dengan mataku aku mampu berbahasa.
Lama bertaruh, desah dan jerit tak juga berganti nyanyian Si mungil buah cinta. Rona wajah Bu Bidan tampak berubah. Sepertinya persalinan bakal terjadi tak sebagaimana mestinya.

“Mas, istri sampeyan mesti dioperasi. Posisi bayinya sungsang. Sebaiknya secepatnya kita bawa ke ruang operasi. Saya akan menghubungi dokter.”

“Iya Bu, sebaiknya secepatnya dioperasi saja. Kasihan anak saya,” jawab ibu mertuaku dengan panik.
“Bila itu yang terbaik, saya nurut Bu Bidan saja. Bagaimana Ndah?”

“Iya Mas,” pesrah jawab istriku disela nafasnya yang memacu.


***

Pagi tampak begitu cerah. Langit biru. Kuhisap rokok kretek yang sudah tinggal setengah di sela-sela jariku. Suasana bising, di terminal yang rapi. Nikmat benar sungguh suasana. Tapi belum habis rokok yang kuhisap, kondektur sudah berteriak-teriak memberitahu bus ekonomi tujuan Purwokerto-Semarang akan berangkat. Kubuang rokok di tanganku, cepat-cepat aku naik.
Penumpang masih sepi, tak lama setelah bus melaju, aku tidur. Tadi malam tak sempat aku terlelap. Di dalam bus ekonomi tujuan Purwokerto-Semarang, tidur tak pernah bisa bertahan lama. Sesekali aku terjaga, dibangunkan suara pengamen dan pedagang yang menjadi pasti adanya. Mereka yang kadang kurindukan. Dan saat aku kembali terjaga, entah untuk yang keberapa kalinya. Kulihat keluar jendela, sundoro tampak megah menjulang. Kutengok sampimgku, ternyata ada gadis indah yang begitu aku mengamatinya dia tersenyum menyapa. Ah, gadis yang ramah. Mungkin karna senyumnya yang membuatku berani mengawali bertanya.

“Wah, naik dari mana mba?”
“Ah, mas tidur aja si…hehehe. Tadi pas baru masuk Wonosobo. Lha Masnya dari mana?”
“Dari Purwokerto Mba.”
“Iya aku juga dah ngira, ketahuan dari ngapaknya. Hehehehe…”
“Bisa aja ni Mbanya. Hehehehe… Mbanya juga dah ketauan ko kalo dari Wonosobo.”
“Mang ketahuan dari apanya? Perasaan ga ada yang khas lho.”
“Itu keliatan dari ayunya , gadis Wonosobo kan katanya ayu-ayu. Hehehehe…”

Selanjutnya percakapan pun terjadi sepertu kita saling melempar bola. Aku melempar, dia menangkap. Dia melempar dan aku menangkap. Saling bersebut nama. Berbagi cerita-cerita. Ah, gadis yang sederhana.

Apabila tak sengaja kita saling bertatap, jujur aku lemas melihat indah matanya. Bulat seperti mata kucing. Bulu matanya lentik, lentik yang alami. Tapi bukan karna keindahan fisiknya semata yang memikat hati. Dimataku gadis ini begitu mempesona, cara dia bicara, cara dia menatap, cara dia bercanda, cara dia mengelak dari kejahilan kata-kataku, begitu memikat. Dari apa yang dia ceritakan, dari cara dia berfikir, aku tau dia wanita yang mengerti banyak hal. Mungkin banyak buku yang dia baca.

Kita bercerita dengan semakin terbuka. Entah mengapa dia pun sepertinya nyaman denganku. Dia seangkatan denganku, mahasiswi semester enam sebuah universitas negeri di kota Semarang. Universitas yang tidak jauh dari universitas tempatku mengais ilmu. Semakin dia terbuka, semakin aku menagkap kecemasan dan kegelisahan di wajahnya. Memang, sejak pertama melihatnya, pada canda dan senyum ramahnya, terasa ada sesuatu yang ganjil. Senyumnya menyimpan sesuatu. Ada masalah yang sepertinya begitu membebani. Dengan ragu aku mencoba bertanya.

“Aku melihat sepertinya ada sesuatu yang membebanimu. Adakah yang bisa kau ceritakan? Maaf bila aku lancang,” lalu aku diam, mencoba memberi kesempatan padanya, berharap dia mau mengungkapkan. Untuk selang waktu yang hampir lama, dia juga tetap diam. Aku masih menunggu sampai akhirnya dia bercerita.

“Mungkin aku yang akan sangat lancang, tapi akan kucoba mempertanyakan padamu. Semoga tak menjadi beban bagimu. Dan aku tak ingin kau terpaksa karenanya. Ini memang tak wajar. Tolong nikahi aku, Wan.”

“Hah,” aku terbengong ,menatapnya. Sungguh aku begitu terkujut. Tak kusangka dari bibirnya terucap kalimat seperti itu, dan itu ditujukan padaku. Padahal baru tadi kita saling kenal. Tak tau aku mesti menjawab apa.

“Memang ini gila, tapi tolong dengarkan penjelasanku. Aku hamil, sudah empat bulan, Wan. Ini yang membebaniku. Aku hanya wanita yang putus asa. Sudah berkali-kali aku meminta pertanggungjawaban lelaki setan itu. Tapi dia malah menikah dengan wanita lain sebulan yang lalu. Usia kandungannya lebih tua dariku. Aku sangat berharap anakku ini hidup. Sungguh, meski lelaki bejad itu tak pernah mau bertanggungjawab, tak pernah sedikitpun aku berfikir untuk menggugurkan janin ini. Ini darah dagingku, takan kuhianati kodratku sebagai ibu. Aku ingin bayi ini mempunyai sosok ayah yang akan mampu membimbingnya. Itu kutemukan padamu, Wan. Aku juga memikirkan keluargaku. Aku tak mampu membayangkan akan seberapa menderitanya mereka mengetahua anaknya beranak tanpa suami. Mereka sudah tahu aku hamil, dan itu sudah sangat memebuat mereka tersiksa. Memang aku yang salah. Aku buta menatap cinta. Kadang nafsu begitu sempurnanya berpura-pura menjelma, hingga nafsu dan cinta menjadi samar adanya. Semoga kau mengerti, Wan, aku memintamu, karena saat mulai pertama tadi kita bertatap. Aku melihat kejujuran darimu. Aku nyaman disampingmu. Entah aku pun tak tau karena apa. Tapi jangan kau sangka aku tak memikirkan hakmu. Aku mengerti pasti kau sangat tak menyangka dengan ide gilaku ini. Aku akan menghargai keputusanmu nanti, apa pun itu. Aku ingin kejujuran. Aku hanya mencoba, Wan.”

Aku masih diam. Sejujurnya, aku pun merasakan kenyamanan darinya. Seperti apapun masa lalunya, aku telah terlebih dahulu terpikat. Aku menginginkannya karena aku merasa perlu. Aku memerlukan jiwa dan sosoknya sebagai pelengkapku, mengisi bagianku yang belum terisi. Aku merasa dia yang mampu mengisi bagian itu. Meski perkenalan kita masih begitu singkat, tapi yang kudapat darinya, sesuatu yang tak pernah kudapat dari yang telah terjalin lama. Akan kujawab tapi tidak di dalam bus ini, ada banyak ruang yang mesti ku tembus untuk sekedar menjawab dengan ‘iya’. Akankah kuajak orang tuaku bersama-sama melumuri wajah dengan lumpur kenistaan? Meski mereka orang yang sanggup mengerti. Juga tak kupungkira aku kecewa dia telah berbadan dua. Tapi kusadari, anak di dalam kandungannya itu adalah anak yang memiliki hak untuk bahagia. Berhak mendapat kasih sayang dari siapapan. Bukan untuk dibeda-bedakan.

“Semoga jalan antara aku dan kau, sampai pada yang benar juga dikehendaki. Beri aku waktu untuk kita lebih sama-sama mengerti. Semoga kau paham, Ndah. Kau sudah tahu bagaimana hari-hariku, aku hanya orang pengkhayal yang menafkahi diri dari mimpi yang menjelma huruf-huruf. Belum cukup untuk menghidupimu. Juga entah nanti.”

“Aku begitu berharap kita sampai. berkelanjutan, merajut tali-tali ini.”

***
“Wan, wan, jangan ngalamun terus,” aku terkejut, ada yang menepuk pundakku. Kutatap dan ternyata ayah mertuaku. Lamunan tentang awal perjumpaan dengan istriku pun patah begitu aku tersentak.

“Pak Dokter ingin ketemu kamu. Temui dia di sebelah ruang operasi.”
“Bayinya sudah lahir pak? Bagaimana keadaan indah?”
“Bayinya belum lahir, aku tidak tau keadan Indah. Sebaiknya kamu segera temui dokter itu.”

***
“Mas, semoga anda tabah menghadapi semua cobaan ini. Karena terlalu lama kontraksi yang terjadi lantaran kantung air ketubannya terlambat pecah, juga akibat dari posisi janin yang sungsang dan mesti doiperasi, rahim istri anda mengalami gangguan. Untuk hamil lagi, sepertinya sudah tidak memungkinkan. Maaf kami harus mengatakan kenyataan ini pada anda.”

Semarang, 2011
close