Alangkah Banyak Buku yang Belum Kubaca! [Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei]

rifanfajrin.com

Alangkah Banyak Buku yang Belum Kubaca!
[Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei]


Pertama-tama, melalui kiriman ini saya ingin mengucapkan Selamat Hari Buku Nasional. Ya, setiap tanggal 17 Mei di Indonesia akan diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Maka jangan heran apabila di media-media sosial seperti Facebook, Twitter, dan lain-lain, kita mungkin akan mendapati teman-teman kita mengirim ucapan yang bertema buku. 

Sebenarnya, bagaimana sejarah Hari Buku Nasional? Mengapa setiap tanggal 17 Mei selalu diperingati sebagai Hari Buku Nasional? Peristiwa apa yang melatarbelakangi peringatan ini?

Sejarah Hari Buku Nasional 17 Mei

Sejarah Hari Buku Nasional dilatarbelakangi dari peristiwa pada tanggal 17 Mei 1980, yaitu Peresmian Perpustakaan Nasional oleh Menteri Pendidikan Nasional saat itu. Menteri Pendidikan Nasional pada saat itu adalah Bapak Abdul Malik Fajar.

Pemerintah Republik Indonesia rupanya menginginkan masyarakat Indonesia untuk melestarikan budaya baca/meningkatkan budaya membaca, sekaligus juga menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca.

Dengan membaca, maka terbukalah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan itulah modal berharga untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat Indonesia.

Maka, sejak saat itulah setiap tanggal 17 Mei selalu diperingati sebagai Hari Buku Nasional.

FYI, selain Hari Buku Nasional, kita juga mengenal Hari Buku Sedunia (World Book Day). Hari Buku Sedunia baru bermula pada tahun 1995, tepatnya pada tanggal 23 April 1995. 

Hari Buku Sedunia dicetuskan oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) atau Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Jika tanggal penetapan Hari Buku Nasional dilatarbelakangi peresmian Perpustakaan Nasional, Hari Buku Sedunia diambil dari tanggal meninggalnya seorang pengarang besar Spanyol, Miguel de Cervantes--yang terkenal dengan kisah "Petualangan Don Quixote". Miguel de Cervantes meninggal ada 23 April 1616.

Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei 2017

Pada kesempatan ini pula, izinkan saya sedikit berbagi refleksi saya mengenai buku. Mungkin ini akan lebih pas disebut sebagai curhat. Semoga Anda berkenan membacanya.

Masa Kecil Saya dengan Buku

Masa kecil saya bisa dibilang tidak banyak membaca buku, selain buku pelajaran sekolah. Seingat saya, hanya beberapa judul buku yang saya baca pada masa-masa saya duduk di sekolah dasar. Itu pun, hanya ketika Ibu saya yang kebetulan mengajar di sebuah sekolah dasar negeri di Bawen, membawakan buku-buku dari perpustakaan sekolahnya ke rumah. Sampai di rumah, saya, kembaran saya Rifai, dan adik saya Yunita, akan berbagi dan bergiliran membaca buku-buku yang dibawakan tersebut.

Bisa dibilang, saya tidak pernah membaca buku-buku di perpustakaan sekolah saya, Madrasah Ibtidaiyah Kupang Ambarawa.

Selain buku, lebih banyak kami membaca majalah. Ibu saya sesekali membelikan kami majalah bekas, seingat saya cuma Majalah Bobo atau Majalah INA. Meskipun majalah tersebut tidak baru, saya senang membacanya. 

rifanfajrin.com

Masa Remaja (Usia SMP), saya mulai menyewa buku atau komik

Memasuki usia remaja, pada tahun 1999 saya masuk bangku SMP. Hampir sama seperti ketika waktu SD, nyaris saya tidak pernah membaca buku di perpustakaan sekolah. Hanya satu buku yang saya baca di Perpustakaan SMP Negeri 2 Ambarawa, yaitu kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma. Judulnya adalah "Iblis Tidak Pernah Mati". Membaca kumpulan cerpen tersebut, saya ngeri membaca cerita tersebut. 

Di bangku SMP, dimana pergaulan saya sedikit luas daripada waktu SD, saya berkenalan dengan buku-buku dan komik yang dibawa atau diceritakan oleh teman-teman. Beberapa seri komik yang menjadi favorit saya adalah Detektif Conan karya Aoyama Gosho, Dragon Ball karya Akira Toriyama, dan tentu saja Doraemon karya Fujiko F. Fujio. 

Sementara untuk buku-buku cerita, saya suka seri Goosebumps, dan LUPUS karya Hilman Hariwijaya. Buku yang terakhir inilah yang paling saya suka. Saking senangnya sama seri Lupus, waktu itu saya suka membayangkan betapa indahnya masa-masa SMA. Sempat kepikiran juga untuk mencari pacar. Tapi, alhamdulillah, untung saja tampang saya ini pas-pasan, dan postur tubuh saya ini juga pendek, jadi saya tetap jomblo. Hehehe. Aslinya sih karena saya tidak percaya diri aja untuk bilang suka ke teman cewek.

Sayangnya, pada masa-masa saya masih remaja, saya merasa uang saku saya tidak sebanyak uang saku teman-teman. Saya tidak punya banyak kesempatan untuk menyewa buku-buku atau komik. Saya sadar, mungkin orang tua saya sedang fokus untuk memperbaiki rumah, untuk membangun rumah sehingga menjadi cukup bagus sekarang ini.

Dengan kondisi tersebut, walhasil, kalau saya dan teman-teman datang ke persewaan buku, minjam bukunya palingan cuma satu, tapi nongkrongnya di sana yang lama banget. Bisa habis satu atau dua buku komik, barulah kami memilih satu buku untuk disewa selama tiga hari.

Saya lulus SMP pada tahun 2002.

Masa-Masa SMA saya dengan buku, saya mulai berkenalan dengan ROMAN Klasik Indonesia

Menginjak usia SMA, saya punya teman karib yang kebetulan juga satu sekolah waktu SD. Namanya Noor Aziz Kurniawan, yang sekarang sudah jadi bos. Pada saat istirahat pertama, kami sering nongkrong di perpustakaan sekolah.

SMA tempat saya sekolah memiliki perpustakaan yang lumayan tertata, rapi, dan banyak koleksi. Entah apa motivasinya, saya lupa. Yang jelas bukan karena uang saku. Saya masih kuat jajan soto karena waktu SMA saya tidak perlu keluar ongkos transport. Saya jalan kaki ke sekolah. Tahu-tahu saja saya dan Aziz suka baca buku. Oh, sedikit ralat, Aziz sukanya majalah Horizon yang ada rubrik puisi-puisi dan rubrik Kakilangit untuk anak-anak SMA. Ya, saat itu dia lagi keranjingan bikin puisi. Ditujukan kepada siapa puisi tersebut, rahasia yaa. Hehehe.

Sementara saya pada waktu itu lebih sering meminjam Novel atau Roman Klasik Indonesia. Saya telah habis membaca buku-buku "penting" tersebut, seperti Azab dan Sengsara (karya Merari Siregar), Sengsara Membawa Nikmat (karya Tulis Sutan Sati), Layar Terkembang (Karya Sutan Takdir Alisjahbana), Neraka Dunia (Karya Nur Sutan Iskandar), Katak Hendak Jadi Lembu (Karya Nur Sutan Iskandar), Si Cebol Rindukan Bulan (Karya Aman Datuk Madjoindo), dan banyak lagi.

Meskipun pada akhirnya saya masuk jurusan IPA--mungkin karena saya dianggap cukup cerdas, dan anak cerdas itu selalu masuk IPA--tapi sepertinya jiwa saya senang pada sastra. Setelah lulus SMA pada tahun 2005, saya pun kuliah dan masuk di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Masa-Masa Kuliah saya mulai membeli buku, dan Masa Sekarang

Ketika masuk kuliah, ternyata kesenangan membaca roman dan novel saat SMA itu banyak membantu saya untuk mengikuti perkuliahan yang diberikan oleh para dosen saya.

Awal-awal masuk kuliah, selain membaca buku, saya juga mulai belajar menulis cerpen. Dan saya ingat betul, barulah saat kuliah itulah saya rela menyisihkan uang guna membeli buku untuk pertama kalinya! 

Kebanyakan buku yang saya beli adalah buku-buku cerita, baik itu novel maupun kumpulan cerpen.

Kesukaan membeli buku itu masih berlanjut hingga sekarang, dan kebetulan istri saya juga senang membaca buku. Bahkan kecepatan membaca istri saya lebih baik daripada saya. Dia pun bisa menceritakan, menyampaikan kesan, dan memberikan "kritikan" tentang apa yang dia baca meskipun dia tak pernah mau menuliskannya.

Di rumah saya, dengan persetujuan istri saya, saya pun membuat semacam "perpustakaan pribadi", meskipun masih dalam tahap rintisan dan kecil-kecilan sih. Saya tidak tahu, dan tidak pernah menghitung berapa koleksi buku di perpustakaan tersebut. Taksiran saya sih belum ada 1000 (seribu) judul buku yang kami koleksi.

Nah, tepat pada moment Hari Buku Nasional inilah, saya kok tiba-tiba ingat (atau seolah diingatkan)  dan menyadari bahwa kira-kira 60%--bahkan lebih--dari buku-buku itu yang BELUM SAYA BACA.

Tiba-tiba saya merasa seperti seekor keledai yang membawa tumpukan buku di punggungnya. Buku-buku tersebut tidak memberikannya manfaat sama sekali. Sebuah kenyataan yang menyedihkan. Di tengah "kecerewetan" saya untuk memotivasi anak-anak didik saya di sekolah untuk membaca buku.

Rupanya semangat saya untuk membeli buku atau menambah koleksi, belum sepadan dengan semangat saya untuk membaca buku. Alasannya saya sih buku-buku tersebut akan saya baca besok pada saat saya berkesempatan untuk membacanya. Lagipula, bukankah bagaimana pun kelak buku-buku tersebut pun akan ada gunanya juga?

Lantas, apakah alasan ini merupakan alasan yang dibuat-buat? Ataukah merupakan alasan yang bisa diterima? Boro-boro mau menuliskannya--seperti keluhan saya pada istri saya tadi yang mau membaca tapi tidak mau (tidak sempat) menuliskannya--sementara membaca buku saja saya (sok) tidak memiliki cukup waktu?

Akhir kata, Selamat Merayakan Hari Buku Nasional. Mari Membaca!
close